ISIS, Musuh dan Ancaman Bersama

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Tampaknya pemerintah mulai resah menghadapi ancaman ISIS yang berkembang pesat di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir. Dalam sejarahnya, ISIS yang dideklarasikan Al Bagdadi, lahir dari situasi krisis dan instabilitas politik dan agama di Timur Tengah. Ketika gelombang demokrasi sampai ke Suriah, berkecambahlah berbagai kelompok oposisi; sebagian murni merupakan gerakan pro demokrasi. Lebih banyak lagi adalah kelompok-kelompok militan-radikal dengan semangat sektarianisme keagamaan.
Ketika mendeklarasikan berdirinya “Negara Islam” itu, dengan cepat ISIS memiliki pendukung di Indonesia. Berbagai jaringan dan sel-sel terorisme yang berserakan mulai menemukan momentum baru untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatannya, setelah negara (Polri, BNPT, dan lembaga antiteror lainnya) mulai menghadapinya, baik dengan pendekatan lunak maupun dengan pendekatan keras.
Menariknya, di tengah pemerintah memperkuat peran dan langkah-langkah dalam penanggulangan terorisme, pendukung dan anggota ISIS mengalami peningkatan. Bila pada 2014 diperkirakan baru sekitar 60 orang, dengan propaganda politik kekerasan yang mereka lakukan, kini jumlahnya sudah meningkat drastis menjadi lebih dari 600 orang.
Musuh bersama
Di Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan teroris dan mendukung ISIS secara terbuka harus disikapi sebagai musuh bersama. Citra common enemy harus dibangun sebagai bentuk solidaritas sosial yang berdasarkan pada hajat hidup bersama sebagai satu bangsa dan negara yang hidup dengan filosofi Pancasila.Dengan alasan apa pun, tindak-tanduk ISIS jelas-jelas akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Karena itu, Indonesia harus memotong alur dan proses pembenihan kelompok ISIS sejak dini.
Kita menyaksikan bagaimana kesintingan kelompok yang menobatkan diri sebagai khalifah di daerah Syam dan Irak (Sham and Levant) ini ditentang oleh mayoritas umat Islam dunia. Kelompok yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi bersama jaringan organisasi ektremis lain seperti Jabhah Nusrah itu sudah menghancurkan banyak situs sejarah dan peradaban Islam yang pernah lahir di masa-masa kejayaan era Umaiyah di Suriah dan Abbasiyah di Irak.
Makam ulama besar seperti Imam Nawawi di Suriah, masjid bersejarah Hema Kado sisa peninggalan Ottoman di Mosul, dan bahkan makam Nabi Yunus di Mosul, Irak, ikut dihancurkan. Sementara situs-situ tua peradaban Mesopotamia seperti Kota Namrud di Mosul dan situs-situs peninggalan Suryani ikut lenyap di tangan ISIS.
Tindak tanduk dan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh ISIS di atas sudah memberikan justifikasi ihwal ideologi teroris yang telah mencoreng wajah Islam sendiri. Mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan mengatasnamakan Islam justru lambat laun menghabisi sisa-sisa kejayaan sejarah dan peradaban yang pernah dibangun oleh Islam sendiri. Fakta tersebut ialah bukti yang sama sekali tidak dapat dibenarkan atas nama alasan apa pun. Lebih parah lagi, kita jamak menyaksikan bagaimana kelompok ini tak segan-segan membunuh dan memerangi umat Islam lainnya, tidak peduli Sunni ataupun Syiah.
Isu awal yang kencang dikibarkan ISIS (seperti dituturkan sendiri oleh warga Suriah yang menjadi pengungsi di Turki sehingga mendapatkan dukungan dari kelompok pemberontak antipemerintah) ialah untuk melawan kekuatan Syiah di belakang pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Namun dalam perkembangannya, ISIS tidak lagi mengusik dan memerangi pemerintah Suriah. Mereka justru melebar membuat kekacauan demi kekacauan di perbatasan Irak-Suriah dan Turki. ISIS kini menjadi monster yang justru membuldoser dan memutilasi semua umat Islam yang berseberangan dengan kelompoknya.
Akhir-akhir ini, kelompok-kelompok yang awalnya tidak memercayai benih-benih ISIS ditanam dan dibiarkan subur oleh Amerika (disentail dan dilatih) mulai yakin bahwa ISIS ialah ancaman nyata bagi umat Islam di seluruh dunia, dengan memperkeruh wajah Islam itu sendiri. Di samping itu, beberapa analisis dari Steven Kelley dan Randal Howard Paul yang mengatakan bahwa Amerika sengaja membuat perang kotor (dirty war) untuk mengacaukan kawasan Timur Tengah, dengan membuat musuh jejadian (fabricated enemy), mulai terlihat jelas. Bahkan, mantan pegawai CIA seperti Edward Snowden ikut membuka tabir gelap yang dianggap konspirasi ini bahwa intelijen Amerika, Inggris, dan Israel ikut andil melahirkan ISIS. Identitas Al-Baghdadi yang sebelumnya pernah dibocorkan lewat kawat Wikileaks sebagai milisi yang dilatih langsung oleh CIA dan Mossad semakin mendapatkan pembenaran.
Indonesia yang mengemban diri sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia harus benar-benar memberikan contoh bagaimana mengembalikan wajah Islam yang memberi rahmat kepada semua alam. Nilai-nilai toleransi dan multikultural yang dibangun sebagai asas berbangsa dan bernegara harus ditempatkan sebagai falsafah hidup yang harus diperjuangkan setiap waktu. Di samping pemerintah dan intelijen negara harus berinisiatif untuk memotong jaringan ISIS di Indonesia sehingga tidak lagi terulang seperti kasus 16 WNI yang ditangkap di Turki. Masyarakat juga harus dididik secara kritis tentang ancama nyata ISIS dan jaringan-jaringan yang berhaluan sama, karena mereka kelak berpotensi besar memorak-porandakan kehidupan bangsa dan negara Indonesia, seperti Suriah dan Irak sekarang.
Perppu anti-ISIS
Saat ini pemerintah ingin mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menghadapi maraknya warga Indonesia yang memilih bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Tampaknya pemerintah memandang migrasi dan keberangkatan warga Indonesia ke Irak dan Suriah beberapa waktu lalu, menjadi dasar pertimbangan pemerintah; bahwa hal itu sudah dikategorikan kegentingan dan situasi yang dipandang perlu untuk membuat Perppu Anti-ISIS.
Pahadal, mestinya pemerintah memaksimalkan kekuatan nasional dan lembaga-lembaga pemerintah terkait, untuk menghadapi gelombang warga negara yang pindah dan bergabung dengan ISIS. Memang, harus diakui gerakan dan internasionalisasi lembaga ISIS sangat cepat, baik dengan menggunakan jaringan Al-Qaeda atau sel-sel terorisme di kawasan dan dunia yang sudah ada; maupun dengan potensi dunia maya seperti media sosial, media massa, juga jaringan internasional dan nasional yang tersedia.
Sebenarnya, pemerintah memiliki semua potensi strategis dan taktis, dalam menanggulangi ancaman ISIS dan perkembangan terorisme baru (new terrorism) di Tanah Air. Masalahnya, pemerintah kurang dapat mensinergiskan dan menyingkronkan berbagai potensi yang ada. Artinya, peran badan keamanan seperti Densus 88 Polri, BNPT, dan BIN belum memadai untuk menghadapi ancaman terorisme ISIS. Oleh karena implementasi peran dan kerja pemerintah kurang mampu menandingi pertumbuhan ISIS dalam dua tahun terakhir di Indonesia, pemerintah perlu memberdayaan potensi strategis keamanan nasional dari unsur TNI, pemerintah daerah, dan kementerian-kementerian terkait lainnya.
Pendekatan keamanan komprehensif
Salah satu pendekatan pertahanan dan keamanan yang masih problematis di Indonesia saat ini adalah belum adanya strategi, pola, dan sistem keamanan yang dapat menyinergiskan peran serta tugas semua instrumen keamanan nasional. Menghadapi ancaman perang asimetrik yang terjadi seperti ISIS, tidak mungkin dapat diatasi dengan komprehensif tanpa kerja sama dan koordinasi antaraktor dan lembaga keamanan nasional.
Masalahnya, RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang dirancang untuk sinergi dan koordinasi tak kunjung rampung, setelah lebih dari satu dasawarsa dibahas dalam program legislasi nasional. Indonesia mengalami semacam ketakutan menyusun regulasi yang berbau “pendekatan politik keamanan”, sebab pada masa lalu UU Antisubversi yang berlaku pada zaman Orde Baru, digunakan untuk menjerat aktivis dan tokoh politik radikal, yang ketika kita memasuki era demokratisasi dikategorikan sebagai kebijakan yang melanggar HAM dan diskriminasi terhadap warga negara.
Namun, yang dapat dijadikan model adalah negara seperti AS dan beberapa negara di Eropa yang membuat regulasi antiterorisme yang menyerupai UU antisubversi, dan ternyata efektif dalam menghadapi ancaman terorisme di tingkat domestik. Dalam konteks pemerintah ingin membuat Perppu Anti-ISIS itu, mungkin lebih baik dilanjutkan pembahasan RUU Kamnas agar menyempurnakan UU tentang Polri dan TNI yang ada dalam kerangka sistem keamanan yang komprehensif ke depan. Untuk menghadapi ISIS yang mendapat dukungan yang cukup besar dari jaringan kelompok fundamentalisme di Indonesia, perlu dilakukan dialog dan pendekatan kemanusiaan kepada mereka.
Selain itu bila pemerintah dan masyarakat sipil dapat mengatasi secara bersama masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, konflik sosial, dan korupsi, dengan sendirinya akan muncul public trust yang memberi peluang bagi dukungan publik dan harapan terhadap peran negara, dalam membangun masyarakat dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Besar harapan, pemerintahan kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla saat ini perlu memaksimalkan perannya dalam mengatasi masalah-masalah sosial, pembangunan, dan kesejahteraan bangsa yang pada akhirnya akan memberikan efek positif dan konstruktif pada perubahan orientasi masyarakat yang menolak ancaman ISIS.

                                                                                                          ——————- *** ——————

Rate this article!
Tags: