Islam Nusantara sebagai Branding Indonesia

Syaprin ZahidiOleh :
Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam beberapa bulan terakhir ini term “Islam Nusantara” menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini mencuat pertama kali ketika peringatan Israk Mikraj diadakan di Istana Negara pada 15 Mei 2015 dan pembacaan ayat Alqurannya menggunakan langgam nusantara yang dalam peringatan tersebut langgamnya adalah langgam Jawa. Sejak saat itu, pro-kontra mengenai Islam Nusantara yang coba diusung oleh Pemerintah Indonesia menimbulkan perdebatan yang cukup hangat didalam negeri.
Dalam tulisan ini penulis tidak mencoba untuk menyoroti pro kontra mengenai Islam Nusantara tersebut. Namun, hal yang coba penulis amati adalah upaya pemerintah Indonesia untuk mengenalkan kekhasan yang dimiliki oleh Indonesia berkaitan dengan Islam yaitu Islam Nusantara. Dalam perspektif Hubungan Internasional apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini apa lagi diawali pada peringatan Isra’ Mi’raj yang dihadiri oleh para Duta Besar negara-negara sahabat tersebut menjadi upaya state branding yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
State Branding sendiri dapat dimaknai sebagai usaha yang dilakukan oleh suatu negara untuk membangun dan menjaga citranya secara holistik. Pembentukan citra suatu negara baik secara internal maupun eksternal yang berbasis pada nilai yang positif yang dimiliki negara tersebut diharapkan akan membuat negara tersebut memiliki posisi yang baik diantara negara-negara lain didunia. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi sendiri dapat dimaknai sebagai state branding yang berusaha dilakukan oleh Indonesia dengan ciri khasnya yaitu “Islam Nusantara”.
Islam Nusantara ini sendiri diformulasikan oleh pemerintahan Jokowi sebagai suatu usaha dari pemerintahannya untuk melepaskan diri dari semangat ketertutupan yang selama ini dibawa oleh kelompok ekstremisme ke Indonesia.hal tersebut diungkapkan oleh Presiden Jokowi dalam acara pembukaan Munas Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Minggu (14/6). Dalam acara pembukaan tersebut Presiden Jokowi menjabarkan pendapatnya bahwa Islam Nusantara sebenarnya sudah mengakar dalam kehidupan muslim di Indonesia. Islam Nusantara ini sendiri memiliki pengaruh besar pada persatuan dan kesatuan Republik Indonesia disisi lain menurut Presiden Jokowi juga Islam nusantara dapat menjadi kekuatan untuk melawan pengaruh ekstrim dari kelompok-kelompok militan Islam di Indonesia.
Presiden Jokowi juga mengungkapkan bahwa Islam Nusantara memiliki nilai sendiri yaitu “Islam yang ramah, tidak radikal, inklusif dan toleran” ditambahkan lagi oleh Presiden Jokowi bahwa “Islam Nusantara ini didakwahkan dengan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya”.
Dalam pandangan penulis upaya Presiden Jokowi ini merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa sebenarnya dilakukan oleh seorang kepala negara. Kita pasti masih ingat dengan kebijakannya yang sensasional yaitu dalam penolakan pemberian grasi pada para terdakwa “Bali Nine” yang oleh para pengkritiknya ini diprediksi akan mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia-Australia. Namun, pada kenyataannya tidak lama setelah penarikan Duta besarnya Australia melalui perdana menterinya Tonny Abbottpun akhirnya menyebutkan bahwa mereka menghormati hukum yang berlaku di Indonesia dan hal ini menjadi tonggak baru bagi hubungan yang lebih baik diantara kedua negara.
Hal yang menarik dari dua kebijakan pemerintahan Jokowi ini adalah terlihat sekali “kekukuhan” dari pemerintahan ini dalam menjalankan kebijakannya walaupun banyak sekali yang bersebrangan dengan kebijakan yang diambilnya. Terlihat sekali disini ada personifikasi Jokowi dalam setiap pengambilan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Hal yang sama dalam prediksi penulis akan berlaku pada kebijakannya yang berkaitan dengan Islam Nusantara. Walaupun banyak suara sumbang maka kebijakan membranding Indonesia sebagai tempatnya “Islam Nusantara” akan terus dijalankan.
Motif dari kekukuhan untuk mempertahankan kebijakan Islam Nusantara ini menurut penulis sangat jelas diantaranya adalah adanya upaya untuk memperkenalkan kepada masyarakat Internasional bahwa wajah Islam itu bukan hanya wajah Islam di Timur Tengah. Tapi ada wajah lain dari Islam yang itu ada di Indonesia. Kalau dirunut dari sejarah menjadi menarik kajian mengenai Islam Nusantara ini karena sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Sulton Fathoni (Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) bahwa Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari sudah pernah menggambarkan keislaman negeri Jawa diawal abad ke-20. Ia menulis penggambaran mengenai Islam di Jawa ini melalui kitab yang ia tulis yaitu Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah yang menurut Sulthon Fathoni digambarkan sebagai bentuk attitude para ummat muslim di Nusantara waktu itu terutama Jawa.
Hal menarik juga yang disebutkan oleh Sulthon bahwa istilah Jawa sudah dikenal di kalangan ulama timur tengah dan Afrika sejak abad ke 17-19. Para ulama dari Timur Tengah dan Afrika waktu itu sudah “mafhum” dengan kekhasan yang dimiliki oleh ummat Islam dari Nusantara seperti kebiasaan/ mentradisikan ziarah kubur, lalu menempuh jarak beribu-ribu kilometer hanya untuk mencapai ke makam ulama yang dihormati dan lain sebagainya yang itu dalam pandangan penulis menjadi suatu kekhasan yang dimiliki oleh Islam di Nusantara waktu itu.
Jika kembali dirunut lagi maka menjadi suatu hal yang menarik untuk mengamati bagaimana pemerintahan Jokowi berusaha untuk menghidupkan kembali romantika masa lalu dari Indonesia yang Islamnya memiliki “wajah” yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Apa lagi upaya dari pemerintahan Jokowi ini seperti mendapatkan momentumnya ketika salah satu Organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama mendukung kebijakan pemerintah ini dalam bentuk tema munasnya yaitu “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Tujuan yang coba dicapai oleh pemerintahan Jokowi menjadi jelas menurut Penulis untuk menunjukkan kepada masyarakat Internasional bahwa wajah Islam di Indonesia itu berbeda dengan wajah Islam di Timur tengah. Wajah Islam di Indonesia itu memiliki kekhasan yang juga dipengaruhi oleh struktur geografis Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan yang amat banyak. Wajah Islam di Indonesia berusaha dibranding oleh pemerintahan Jokowi menjadi suatu wajah Islam yang memiliki perilaku sosial muslim Indonesia yang moderat, menjaga keseimbangan dan toleransi. Nantinya wajah Islam ini yang akan dipromosikan ke masyarakat Internasional sehingga orang-orang dibelahan dunia lainya menjadi mengerti bahwa ada wajah lain dari Islam sehingga masyarakat internasional tidak hanya mempersepsikan bahwa wajah Islam itu timur tengah.
Akhirnya, menurut Penulis terlepas dari pro dan kontra didalam negeri mengenai term Islam Nusantara ini. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi yang berupaya untuk mempromosikan pada dunia internasional mengenai Islam Nusantara ini menunjukkan upaya dari pemerintahan Jokowi untuk memposisikan Indonesia sebagai negara dengan citra Islam yang moderat berbeda dengan Timur Tengah yang dalam banyak analisis disebutkan sebagai Islam yang radikal ataupun fundamental.

                                                                                                                    ————- *** ————-

Tags: