Istilah PSBB Menjadi PPKM Membuat Bingung

Belakangan ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru terkait pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Kebijakan yang awalnya biasa dikenal oleh masyarakat dengan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kini menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sejatinya, bukan sekali ini saja Pemerintah bermain-main dengan istilah di masa pandemi.

Saat kasus Covid-19 baru mencapai puluhan orang, pada Maret 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak menerapkan lockdown atau karantina wilayah secara total dan lebih memilih PSBB, terus berlanjut dengan istilah New Normal, PSBB transisi, PSBB diperketat dan terakhir PPKM. Istilah-istilah pembatasan sosial selama ini bisa dibilang sangat membingukan publik.

PPKM adalah pembatasan berskala mikro. Dari sisi regulasi, PPKM tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 kepada seluruh kepala daerah di Jawa dan Bali. Selanjutnya, PPKM menyasar pada pembatasan kegiatan masyarakat secara terbatas berbasis pada kota dan kabupaten. Bukan secara keseluruhan provinsi, kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali. Inisiatif kebijakan PPKM ini ada di tangan pemerintah pusat yang selebihnya pemerintah pusat menetapkan kriteria-kriteria tertentu terhadap daerah-daerah untuk melakukan penerapan PPKM.

Kriteria itu antara lain, tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional sebesar 3 persen. Kemudian tingkat kesembuhan di bawah nasional sebesar 82 persen. Selanjutnya, kasus aktif harus di bawah kasus aktif nasional sebesar 14 persen, dan keterisian RS untuk tempat tidur isolasi dan ICU di atas 70 persen. Daerah yang masuk dalam kriteria itu harus menerapkan kebijakan PPKM, (CNBC Indonesia. Com, 9/1)

Penerapan, PPKM itu sebetulnya tidak berbeda jauh dengan PSBB. Sejatinya, negeri ini sudah cukup dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang merujuk dari UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Justru adanya gonta-ganti istilah saat ini seakan membuktikan pemerintah tidak ada pola yang strategis dalam membuat kebijakan dalam penanganan Pandemi Covid-19 ini.

Masyhud
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: