Isu Sektarian Dalam Capres

112765_07084113022014_kursi_ri_1Pencapresan beberapa tokoh harus diwaspadai akan berdampak konflik sosial bernuansa (etnis dan agama). Hal ini disebabkan seorang Capres sudah mulai mewacanakan jabatan Menteri Agama akan diberikan kepada tokoh dari aliran yang sangat minoritas. Walau ke-NKRI-an menjamin pluralitas, namun realita sosial mestilah dipahami dan dijaga keutuhannya dengan tidak menyakiti hati mayoritas.
Beberapa komunitas muslim intelektual di Bandung telah mendeklarasikan suatu aliansi anti-Syiah. Kelompok ini memang bukan dari mayoritas Sunny (nahdliyin, kaum NU). Deklarasi diajukan karena konon Kementerian Agama akan dipimpin oleh pimpinan syiah di Indonesia. Terdapat empat seruan, di antaranya berupa upaya advokasi untuk mencegah penyesatan akidah (yang berbeda) karena dikhawatirkan menjadi sumber konflik.
Butir seruan yang bisa dianggap sebagai anti-syiah adalah (poin ketiga), mendesak pemerintah segera melarang penyebaran paham dan ajaran syiah. Berdasar telaah kitab-kitab syariat (dan fiqih), diketahui syiah memiliki Quran yang berbeda. Konon, Quran yang berbeda itu ditulis oleh sayyidina Ali r.a., berdasar wahyu Allah yang disampaikan kepada sayyidah Fatimah binti Rasul (putri Kanjeng Nabi SAW). Itulah yang dianggap melenceng, karena ada penerima wahyu lain setelah Nabi Muhammad SAW.
Tetapi seluruh gerakan rakyat harus tetap tunduk pada konstitusi dasar. Gerakan anarkhis bisa dianggap melanggar hukum. Konstitusi menjamin hak asasi setiap orang dalam hal beragama. UUD pasal 28E ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Garansi UUD ini memiliki koridor, yakni, asalkan tidak mengganggu hak asasi orang lain.
Namun  seringkali dalam dakwah agama terjadi penistaan terhadap golongan lain yang tidak sepemahaman (satu sekte). Misalnya, kaum nahdliyin sering diolok-olok sebagai bid’ah dan khurafat (mengadakan pemahaman baru). Padahal kaum nahdliyin merupakan mayoritas (65%) total muslim Indonesia. Apa yang terjadi jika kaum mayoritas jengkel (dan marah)?
Itulah yang diantisipasi oleh UUD. Pada pasal 28J ayat (2) dinyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain … yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Olok-olok internal umat beragama seringkali berujung konflik sosial. Sebagaimana sering terjadi di Sampang (Madura). Yakni, antara syiah dengan yang bukan syiah. Bisa dipastikan konflik di Sampang bukan antara syiah dengan N U (sunny). Karena dua pimpinan yang menyebabkan konflik diametral (padahal bersaudara) sebenarnya berasal dari pesantren yang sama, bukan pesantren NU. Bahkan dua bersaudara yang bertikai dikenal sebagai sama-sama anti-NU.
Dus konflik sosial (yang mudah tersulut), harus dicegah oleh semua pihak, termasuk capres. Setidaknya, tidak semakin memanaskan situasi, sebagaimana diamanatkan UUD pasal 28J ayat (2). Pada sisi lain aliansi anti-syiah politik (masuk dalam pemerintahan) juga mesti dilaksanakan sesuai koridor konstitusi. UUD menjamin kesetaraan hak politik. Pada pasal 28D ayat (3) dinyatakan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Seluruh rakyat berhak berpartisipasi untuk negaranya. Pada pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”  Tetapi beberapa visi demokrasi seringkali hanya “indah” dalam tataran teori. Tidak ada negara yang bisa berdemokrasi se-elok teori. Sehingga demokrasi sering disebut sebagai tatanan idiil
Jika dilaksanakan secara idiil, demokrasi seharusnya jujur dan adil. Yakni menghormati mayoritas, sekaligus melindungi minoritas. Harus dijamin, tiada monopoli mayoritas dan tiada tirani minoritas.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: