Izin Operasional Bermasalah, Siswa SMP Mawar Sharoon Ditolak Ikut UN

Para siswa SMP Mawar Sharon beristirahat di ruang perpustakaan SDN Semolowaru II Surabaya saat jeda ujian Paket B,  Kamis (7/5). [adit hananta utama/bhirawa]

Para siswa SMP Mawar Sharon beristirahat di ruang perpustakaan SDN Semolowaru II Surabaya saat jeda ujian Paket B, Kamis (7/5). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Sekolah dengan fasilitas super mewah tak selalu menjamin akan memenuhi hak siswa secara utuh. Kenyataannya memang tidak. Fakta ini terlihat dari penolakan siswa SMP Mawar Sharon oleh Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya dalam keikutsertaannya di Ujian Nasional (UN) SMP formal.
Tahun ini, di sekolah yang terletak di Jl Cempaka M Duriyat Surabaya itu ada 41 siswa kelas 9 yang tidak bisa UN. Mereka pun harus rela pindah jalur pendidikan non formal dan mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket B. Hal ini pun tak urung membuat kecewa sejumlah siswa. Seperti diakui Angela, dia kecewa lantaran tidak dapat ikut UN formal dan mengikuti UNPK bersama dengan anak-anak putus sekolah.
“Inginnya ikut UN yang asli. Tapi, kok kita ikut ujian gini (UNPK). Kayak kita tidak pernah sekolah formal saja,” ungkap Angela,  Kamis (7/5) saat ditemui di lokasi ujian Paket B di SDN Semolowaru II Surabaya.  Menurut Angela, kedua kedua orangtuanya sangat kecewa lantaran tidak adanya ijin ikut UN. Padahal, sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar tersebut tergolong mahal. Satu siswa ditarik Rp 2 juta per bulan. Belum lagi tambahan biaya kegiatan lainnya.
Kendati cukup kecewa karena tidak ikut UN, Angela mengaku tetap senang mengikuti UNPK. Mereka pun tetap bersemangat layaknya menghadapi ujian formal. Saat jam istirahat berlangsung, mereka juga menyempatkan berkumpul bersama untuk belajar di perpustakaan. “Yang penting nanti hasilnya (UNPK) kita tidak kalah dengan siswa yang ikut UN asli,” jelasnya.
Terkait alasan apa sehingga tidak mengikuti UN formal, para siswa ini tidak mengetahui secara detil. Menurut salah satu guru yang tidak mau disebutkan namanya, sekolah tersebut sempat mengalami masalah izin operasional. Hal itu terjadi saat masa transisi antara masa jabatan dari Mantan Kepala Dindik Surabaya Sahudi ke Kepala Dindik Surabaya Ikhsan pada 2012 lalu.  “Ada aturan baru yang membuat siswa angkatan pertama tidak bisa ikut UN. Tapi, adik kelasnya yang angkatan kedua dan ketiga sudah bisa ikut UN tahun depan,” jelas dia.
Para siswa angkatan pertama itu pun lalu dipindahjalurkan ke non formal pada kelas tiga. Mereka masuk sebagai warga belajar Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Nusantara. Namun seluruh proses belajar mengajar tetap dilaksanakan di sekolah asal. Sayang, saat Bhirawa hendak konfirmasi terkait persoalan ini, pihak SMP Mawar Sharoon secara tegas menolak. Pihak keamanan sekolah tersebut menegaskan bahwa SMP Mawar Sharoon tidak bisa menerima kehadiran wartawan. Termasuk untuk konfirmasi terkait izin operasional sekolah.
Tutor PKBM Nusantara Nurul Istiqomah mengaku senang karena menerima pindahan jalur formal ke non formal dari SMP Mawar Sharoon. “Enaknya kita tidak perlu memberi kegiatan proses belajar ke mereka (siswa Mawar Sharoon, red). Mereka langsung ikut UNPK lewat PKBM kami,” jelasnya.
Akan tetapi, lanjut Nurul, pihaknya cukup miris dengan keputusan Dindik Surabaya melarang siswa Mawar Sharoon ikut UN. “Kan bisa diikutkan sekolah penggabung,” tandasnya. Pasalnya, di Surabaya sendiri memang ada 53 lembaga yang ikut menjadi sekolah penggabung. Artinya, siswa ikut UN di sekolah lainnya.
Wali Murid Harus Cermat Pilih Sekolah
Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rahman membenarkan langkah penolakan tersebut. Sebab, sekolah formal kalau tidak ada izinnya berarti sekolah yang bermasalah. Alasan apapun, itu tidak dibenarkan untuk mendaftarkan siswanya mengikuti UN formal. Kalaupun memaksa untuk mendaftar, sistem pendaftaran UN yang akan menolak data dari sekolah yang bermasalah.
“Untuk mendaftarkan siswa masuk ke daftar nominatif itu ada persyaratan seperti izin dan nomor induk sekolah. Kalau tidak ya tidak bisa,” tutur dia. Karena itu menurut Saiful, pilihan untuk memindahkan jalur dari status pendidikan formal ke non formal adalah tepat. Para siswa pun tetap bisa mendapat ijazah negara meski dengan program kesetaraan.
Saiful menyadari hal semacam ini kerap terjadi di Surabaya. Hal ini diakuinya karena masyarakat kerap mendirikan sekolah dengan mencari murid dulu baru mengurus izin operasionalnya. Padahal seharusnya izin operasional dulu diurus baru mencari murid. Karena itu, sekolah jangan pernah meremehkan izin operasional. Sebab, lembaga pendidikan itu harus benar-benar terkontrol secara cermat.
“Makanya, calon wali murid itu kalau mencarikan sekolah anaknya harus benar-benar teliti. Jangan dilihat dari fisiknya saja, tapi izinnya bermasalah. Kalau seperti itu kan merugikan masyarakat namanya,” kata dia. [tam]

Tags: