Jadi Destinasi Wisata di Tengah Kota, Simbol Perjuangan Warga

Monumen Gerbang Maut di Bondowoso berada di tengah kota, saat ini menjadi destinasi wisata baru di daerah itu.

Monumen Gerbang Maut di Bondowoso berada di tengah kota, saat ini menjadi destinasi wisata baru di daerah itu.

Kabupaten Bondowoso, bhirawa
Upaya Pemkab Bondowoso di bawah pimpinan Bupati Amin Said Husni untuk melestarikan Monumen Gerbong Maut yang merupakan simbol perjuangan masyarakat Bondowoso melawan penjajah Belanda berbuat manis.  Pasalnya monumen yang dibangun tepat di depan Kantor Bupati Bondowoso di area Alu-alun Ki Bagus Asra tersebut kini juga menjadi destinasi wisata baru di tengah kota.
Banyak wisatawan lokal, regional dan manca negara yang mendatangi Monumen Gerbong Maut tersebut untuk mengabadikan dalam bentuk foto dan video meski saat ini monumen yang dibangun untuk mengenang  kebiadaban perlakuan Belanda terhadap para pejuang bangsa beberapa tahun silam itu terus dipercantik.
Dengan pembangunan beberapa aksesoris baru berupa air terjun serta penataan pertamanan dan pembaharuan pengecatan membuat monumen semakin indah. Apalagi aksesoris penunjang seperti kereta dan patung para pejuang yang gugur dalam perjuangan yang menggunakan senjata tradisional berupa bambu runcing diperbaiki dan dibuat lebih alami menyerupai aslinya.
Ulfatul Laila (22) salah satu mahasiswa Universitas Jember (Unej)  yang mendatangi Bondowoso hanya untuk melihat Monumen Gerbong Maut mengaku jauh-jauh datang dari Jember untuk melihat langsung keberadaan monumen. Dia juga  foto bersama teman-temannya sebagai bukti sudah mendatangi Bondowoso dan melihat dari dekat Monumen Gerbong Maut yang penuh sejarah.
Setelah tahu sendiri, dia mengaku  terkesan dengan keberadaan monumen di tengah kota. “Meski di tengah kota, monumen ini terawat. Apalagi di sekitar Alun-alun juga disediakan kereta kuda yang dihiasi secara tradisional dan bisa dinaiki dengan ongkos yang terjangkau untuk keliling melihat keindahan kota,” kata wanita kelahiran Ponorogo ini.
Berbeda dengan Ulfatul Laila, Sugianto (35) pengunjung asal Sumenep Madura mengaku jauh-jauh datang ke Bondowoso selain untuk mengunjungi saudaranya juga untuk melihat langsung monumen tersebut, apalagi pendiri Kabupaten Bondowoso yaitu Ki Ronggo atau R Bagus Assra Kertanegara  berasal dari Kabupaten Sumenep.
“Pendiri Bondowoso kan berasal dari Sumenep sehingga sangat sayang kalau saya yang asli Sumenep tidak melihat langsung kota yang didirikan orang Sumenep, apalagi di sini ada monumen perjuangan yang bisa menjadi pelajaran buat kita semua,” katanya.
Sementara itu, Probo Nugroho Kasubag Pengolahan Data dan Informasi (PDI) pada Bagian Humas PDE Pemkab Bondowoso yang ditemui dikantornya mengaku jika selama ini Pemkab Bondowoso memang memberi perhatian cukup serius pada Monumen Gerbong  Maut. Karena selain merupakan simbol perjuangan juga diharapkan diketahui oleh para pemuda Bondowoso jika berdirinya Kabupaten ini juga hasil perjuangan para pejuang yang telah mempertaruhnya nyawanya.
“Setiap tahun Pemkab menganggarkan untuk perawatan, karena monumen  ini merupakan bukti sejarah berdirinya Bondowoso yang menelan nyawa para pejuang,” katanya.
Probo -panggilan akrabnya- menjelaskan gerbong maut  asli yang digunakan untuk mengangkut para pejuang saat ini diabadikan di Museum Brawijaya Malang, namun keberadaan monumen  yang dibangun menyerupai aslinya ini sudah mewakili untuk menunjukkan perjuangan masyarakat Bondowoso kala itu.
“Jadi Monumen Gerbong Maut yang ada di Bondowoso ini hanya replika, tapi dibuat mirip aslinya. Dan gerbong asli yang digunakan untuk mengangkut para  pejuang itu berada di Museum Brawijaya Malang,” katanya.
Dia berharap keberadaan monumen ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang mendatangi Bondowoso, selain keberadaan destinasi wisata alam lain yang dimiliki di antaranya air terjun Tancak Kembar, Kawah Wurung, Kawah Ijen serta megalitikum Batu Solor yang saat ini sedang masif dipromosikan.
Keberadaan monumen ini berawal saat penjajahan dulu. Meski Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada  17 Agustus 1945, namun bangsa penjajah dalam hal ini Belanda dan sekutunya tidak serta merta hengkang dari bumi pertiwi tercinta ini. Di berbagai penjuru nusantara militer Belanda masih bercokol dengan kuatnya. Itu pula yang terjadi di Kota Bondowoso pada 23 November 1947.
Belanda dengan alasan yang tak bisa diterima akal sehat mencoba mengoyak kembali kedaulatan Indonesia. Sebanyak 100 orang tawanan yang berisi para pejuang dipindahkan secara tidak manusiawi dari penjara Bondowoso menuju penjara Bubutan Surabaya. Mereka diangkut dengan menggunakan 3 gerbong kereta barang. Gerbong 1 dan 2 berisi 68 tawanan. Gerbong dalam kondisi tidak baru lagi tapi masih berventilasi ala kadarnya dengan ukuran 10 X 15 cm dan ada celah-celah udara masih bisa masuk ke dalam gerbong. Pada gerbong ketiga dengan nomor GR 10152 diisi 38 tawanan. Keadaan gerbong relatif baru namun tidak dilengkapi ventilasi sama sekali.
Bisa dibayangkan betapa panas dan pengabnya suasana dalam gerbong ketiga yang meski masih baru namun udara segar tidak bisa masuk. Para tawanan yang sebagian juga dari warga biasa itu ibarat dipanggang dalam open. Menurut sejarahnya, selama lebih kurang 20 jam perjalanan kereta api Bondowoso-Surabaya, para tawanan itu tidak diberi makan dan minum oleh militer Belanda meski hanya sedikit. Untuk mempertahankan diri dari rasa haus dan lapar, di antara para tawanan itu ada yang harus meminum air kencingnya sendiri atau dari tawanan lainnya.
Setelah sampai di Stasiun Wonokromo Surabaya akhirnya diketahui kalau korban meninggal sebanyak 46 orang, sakit karena kekurangan oksigen dan lemas  sebanyak 42 orang dan hanya 12 orang tawanan yang masih sehat, itupun kondisinya juga memprihatinkan.
Sebanyak 38 orang tawanan yang berada pada gerbong dengan nomor seri GR 10152 semuanya tewas mengenaskan. Mereka juga tewas terpanggang karena panasnya suhu dalam gerbong tanpa ventilasi. Gerbong asli bernomor GR 10152 itu kini disimpan di Museum Brawijaya Jalan Ijen 25 Malang. Sedangkan yang dilihat di tengah Kota Bondowoso itu adalah replikanya. Sebuah monumen untuk mengenang kembali kekejian Belanda terhadap para pejuang bangsa yang terjadi pada puluhan tahun silam. [samsul]

Tags: