Jaga Ekosistem Esensial

foto ilustrasi

Seluruh daerah terancam banjir dan longsor, bersamaan cuaca ekstrem. Hulu sungai luruh membawa material longsoran, menerjang perkampungan, dan ladang. Longsor yang makin meluas menjadi tanda penyusutan daya dukung lingkungan makin meluas secara masif dan sistemik. Makin terasa pedih karena banyak warga masyarakat menjadi korban jiwa yang tertimbun longsor. Pemerintah perlu menata ulang konsep penguatan ekosistem esensial.

Semakin banyak hutan gundul, karena ditebang dan dibakar. Terjadi alih-fungsi secara masif, dan ilegal Sebagian alih fungsi dimaklumi sebagai mata-nafkah masyarakat, dan tempat tinggal. Namun sebagian besar dilakukan oleh sindikat “kebanditan” bermotif ekonomi. Juga bermotif huru-hara politik nasional. Alih fungsi lahan dan hutan, setidaknya telah rutin terjadi sejak 15 tahun terakhir. Selama itu pula masyarakat menderita, menerima dampak berupa banjir, dan longsor.

Alih fungsi ekosistem esensial paling brutal dilakukan melalui pembakaran hutan dan lahan (Karhutla). BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat kualitas udara di Sumatera dan Kalimantan dalam keadaan berbahaya. Karhutla di Kalimantan Tengah, mencatat jumlah hotspot terbanyak, mencapai 954 titik panas. Disusul Kalimantan Barat, sebanyak 527 titik api. Serta Sumatera Selatan (366), Jambi (222), dan Kalimantan Selatan 119 titik api.

Maka banjir di Kalsel patut diduga disebabkan kerusakan ekosistem esensial. Walau Indonesia yang berada persis di garis edar matahari, memiliki (karunia Ilahi) hutan tropis paling subur di dunia. Tetapi selalu terancam bencana. Musim kemarau kesulitan air. Sedangkan pada musim hujan diterjang banjir bandang dan longsor. Ironis, karena Indonesia memiliki konstitusi yang menjamin lingkungan hidup yang baik. Diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Secara tekstual, Konstitusi (UUD) pasal 28H ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik.” Karena sebagai hak asasi, maka pemerintah berkewajiban (mandatory) meng-audit kondisi lingkungan hidup. Mencegah bencana alam yang disebabkan ulah manusia melalui penegakan disiplin tata ruang.

Secara lex specialist, telah terdapat undang-undang (UU) tentang Lingkungan Hidup. Yakni, UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Dalam pasal 1 angka ke-28, definisi audit lingkungan, dinyatakan, “Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha … terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.”

Audit lingkungan seharusnya menjadi kearifan lokal setia warga negara. Seperti dahulu nenek moyang memiliki cara sistemik melindungi lingkungan. Misalnya melindungi setiap pohon besar dengan aksi nyata (fisik), berupa memberi sarung pada pohon. Juga aksi spiritual melindungi pohon dengan metode “peng-angker-an” kawasan, sehingga tidak terusik.

“Peng-angker-an” kawasan sesungguhnya menjadi metode perlindungan ekosistem esensial. Banyak unsur ekosistem esensial berada di luar kawasan lindung, dan di luar kawasan konservasi. Terutama berbagai pohon tegakan tinggi. Beberapa diataranya kini dalam status dilindungi. Antaralain tanaman endemik pohon gayam, sawo, dan juwet. Seluruhnya bisa menjadi penyimpan air, berfungsi bagai biopori, dan fungsi talut (alamiah) sungai.

Ekosistem esensial terancam secara sistemik. Pohon besar di pekarangan, di pinggir jalan, sampai di perbukitan milik Perhutani sudah ditebangi. Diganti pohon pendek musiman (kopi, teh, palawija, dan sayur-sayuran) dengan akar yang lemah. Tidak terdapat unsur biopori dan fungsi resapan hayati.

Pemerintah (dan daerah) berkewajiban mempertahankan ekosistem esensial secara sistemik. Termasuk memasukkannya dalam revisi UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH. Serta penerbitan Peraturan Daerah tentang perlindungan ekosistem esensial.

——— 000 ———

Rate this article!
Jaga Ekosistem Esensial,5 / 5 ( 1votes )
Tags: