Mental (dan moralitas) Ramadhan, terbukti berhasil menjaga hubungan sosial lebih baik. Namun sebagian juga masih terbawa kebiasaan politik ghibah. Menyebabkan sebagian umat Islam, tidak berhasil “menjaga puasa” dengan perilaku yang mengiringi kewajiban agama. Masih terdapat muslim yang suka memfitnah, dan menggunjing. Bahkan pada pergaulan media sosial (medsos) sangat banyak posting (dan share) ujaran kebencian. Terutama berkait isu penundaan Pemilu (2024), dan jabatan Presiden 3 periode.
Lupa sedang berpuasa. Bahkan banyak tokoh muslim harus berhadapan dengan proses penegakan hukum. Mempertanggungjawabkan pernyataan di depan publik, maupun posting di medsos. Juga tindakan kriminal murni, berbuat menuruti hawa nafsu rendahan. Ada pula yang menebar teror tawur saat sahur, menyebabkan kegaduhan sosial secara masif. Sebagian yang lain menjadi tersangka, berkait Tipikor (tindak pidana korupsi), bersekongkol menyuap auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Realitanya masih banyak umat Islam (terutama kalangan remaja dan pemuda) tidak dapat merayakan Idul Fitri bersama keluarga di rumah. Sebagian berstatus tahanan Kepolisian. Karena membakar mercon besar. Mengakibatkan kerusakan bangunan, dan rumah tetangga. Ledakan besar juga sangat mengganggu lingkungan sekitar. Meng-ganggu kenyamanan, dan mengusik keamanan lingkungan, bukan cermin hasil puasa Ramadhan.
Hasil gemilang puasa Ramadhan, juga harus tercermin setelah Idul Fitri. Selama sebulan puasa, bagai latihan perbaikan perilaku, mental, dan moralitas. Sehingga hampir seluruh paradigma dan kinerja terlaksana dengan “standar” Ramadhan. Disiplin, jujur, serta berucap dengan kata-kata yang baik menyejukkan. Selama sebulan puasa, terasa lebih ramah dengan inner quotient (kecerdasan dari dalam diri). Sukses mengendalikan diri bukan takut terhadap anacaman hukuman. Melainkan tumbuhnya kecerdasan spiritual.
Setiap maksiat merupakan tindakan kriminal yang tumbuh dari kerendahan mental. Sehingga maksiat dan pekat (penyakit masyarakat) juga turut susut, karena situasi sosial yang baik. Antara lain, semakin meningkatnya solidaritas, dan ke-dermawan-an sosial. Semakin banyak kelompok menyediakan bingkisan berbuka puasa di jalan. Begitu pula pemberian THR buruh, hampir tidak bermasalah lagi. Sebagian perusahaan belum dapat memberi THR sesuai peraturan kementerian. Tetapi telah disepakati bersama pekerja. Buruh bisa memaklumi.
Kedermawanan di ujung bulan Ramadhan tergambar pada makin meningkatnya sedekah, dan zakat. Sedekah diberikan kepada sanak keluarga saat mudik lebaran. Berkunjung sambal membagikan uang, terutama kepada anak-anak, dan famili yang masih hidup sengsara. Bank Indonesia (BI) mencatat pada Ramadhan tahun (2022) ini terjadi penarikan (dan penukaran) uang sekitar Rp 180 trilyun. Peredaran uang di masyarakat meningkat tajam.
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menarget perolehan pungutan pada tahun 2022, sekitar Rp 26,2 trilyun. Rinciannya, hasil LAZ sebesar Rp 16,17 trilyun, Baznas Kabupaten dan Kota sebesar Rp 6,94 trilyun, Baznas propinsi menghasilkan Rp 2,12 trilyun, dan Baznas pusat Rp 760 milyar. Berdasar data, terdapat sebanyak 57,650 juta jiwa mustahik (penerima manfaat zakat). Mulai Ramadhan 2022, telah dibuka UPZ (Unit Pemungut Zakat) di masjid jami’ tingkat desa dan kelurahan.
Nilai zakat secara nasional ditaksir sebesar 1,57% total nilai PDB (Produk Domestik Bruto). Jika PDB tahun 2021 ditaksir sebesar Rp 16.970,8 trilyun, maka potensi bisa mencapai Rp 265 trilyun, dan rutin tumbuh sekitar 8% per-tahun. Diharapkan, dengan zakat semua keluarga (muslim) patut bergembira, dengan kecukupan makanan, dan berpakaian yang paling baik.
Yang pulang dari rantau makin bahagia menumpahkan kerinduan. Yang menerima kedatangan juga berbahagia memperoleh “jatah” riayan. Maka suasana ke-saleh-an sosial, dan melesatnya perekonomian, wajib dijaga bersama.
——— 000 ———