Jaga Pendidikan Siswa Gakin

BeasiswaUSEK (ujian sekolah) tingkat SLTA akan berakhir hari ini (Selasa 10 Maret 2015). Menyusul Usek tingkat SLTP dan SD. Pada sebagian siswa, boleh jadi Usek akan menjadi akhir proses karir kependidikan. Tidak melanjutkan lagi karena tidak memiliki biaya. Lulusan SLTA akan menjadi “ledakan” pencari kerja baru. Sedangkan lulusan tingkat SD dan SLTP wajib dilindungi agar tetap bisa melanjutkan sekolah.
Bahkan tak jarang, akhir tahun ajaran menjadi akhir “penampakan” beberapa siswa di kelas. Tidak daftar ulang, dan tidak melanjutkan kelas. Karena itu sejak bulan (Maret) ini setiap guru mestilah mewaspadai anak didiknya. Terutama dari keluarga miskin (gakin) sangat rentan aksi putus sekolah, tanpa pemberitahuan. Guru SD dan Madrasah Ibtidaiyah, serta SMP dan Madrasah Tsanawiyah, seyogianya telah memiliki catatan siswa gakin.
Pendidikan merupakan hak setiap masyarakat, diamanatkan oleh UUD pasal 28C ayat (1). Sedangkan kewajiban pemerintah terhadap pendidikan diamanatkan secara khusus oleh UUD pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5). UUD pasal 31 ayat (2) menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Amanat konstitusi ini diikuti konsekuensi tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD (Propinsi serta APBD Kavbupaten dan Kota).
Selain itu, masih terdapat mandatory UU Nomor 20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 6 ayat (1), dinyatakan wajib belajar untuk setiap warga negara berusia 7 hingga 15 tahun. Artinya, wajib belajar meliputi pendidikan selama sembilan tahun (tingkat SD dan MI serta SMP dan MTs). Andai konstitusi (UUD) dan UU dipatuhi, maka seluruh peserta didik bisa memperoleh pendidikan memadai.
Tetapi kenyataannya, Usek dan tahun ajaran baru masih menjadi periode utama putus sekolah, bagai tragedi. Maka dibutuhkan kesigapan guru mencegah tragedi putus sekolah, karena guru yang paling mengerti keadaan murid. Kesigapan dini (dua bulan sebelum akhir tahun ajaran) lebih baik. Berdasar pengalaman tahun sebelumnya, pemerintah gagal melindungi siswa gakin, karena waktu sangat terbatas. Misalnya, kegagalan program BSM (Bantuan Siswa Miskin) tahun 2013.
BSM (diluar BOS) dalam bentuk tunai secara by name by address, dilaksanakan melalui sekolah. Mulai dikucukan pada tahun ajaran baru. Namun sosialisasinya tidak memadai. Karena guru dan murid (sekolah) sangat sibuk dengan tahun ajaran baru dengan kurikulum baru. Sehingga BSM tak cukup memperoleh perhatian. Anggaran sebesar Rp 10 trilyun, hanya terserap kurang dari 17%.
Semestinya, BSM disosialisasi secara masif pada awal semester akhir. Realisasinya sebelum musim liburan sekolah. Sebab biasanya, ketetapan putus sekolah selalu terjadi pada akhir tahun ajaran. Sehingga BSM bisa efektif mencegah  tragedi putus sekolah.
Bantuan Siswa Miskin diberikan sebesar Rp 225 ribu per-semester untuk SD/MI, sebesar Rp 375 ribu untuk SMP/MTs, dan Rp 500 ribu untuk tingkat SLTA. BSM disalurkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Namun hanya sekitar 2,5 juta murid yang telah menerima BSM (dari jumlah sasaran sebanyak 16,6 juta murid).
Angka murid gakin tahun ini diperkirakan mencapai 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itulah yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Misi ini wajib dijamin keberhasilan dan ketepatannya. Memang tidak mudah merealisasi bantuan perlindungan sosial. Di Jawa Timur masih sangat banyak (lebih dari 1 juta) anak usia 12  hingga 18 tahun terpaksa putus sekolah, karena miskin.
Mencegah putus sekolah, niscaya meningkatkan angka partisipasi sekolah. Pada ujungnya partisipasi pendidikan menjadi tolok-ukur utama IPM (indeks pembangunan manusia). IPM Indonesia masih pada peringkat ke-6 di ASEAN.

                                                                                                          ————– 000 —————

Rate this article!
Tags: