Jaga Penguatan Rupiah

Nilai rupiah menguat pada pasar uang, sampai Rp 13.750,- per-US$. Tumbuh terkuat di antara mata uang negara-negara ASEAN, walau masih di bawah Won Korea yang mampu menguat 1%. Menjadi harapan kemudahan berusaha dan pekerjaan seluruh lapisan masyarakat. Fundamental ekonomi menguat, ditandai pertumbuhan sekitar 5,1%. Serta inflasi landai selama tahun 2019 sebesar 2,93%. Tetapi masih dibutuhkan “undangan” investasi sebagai pembuka lapangan kerja baru.
Realisasi inflasi lebih kecil dibanding perkiraan semula (3,39%) yang digunakan sebagai patokan kenaikan upah buruh. Kenaikan upah buruh berdasar PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Secara khusus diatur pada pasal 44 ayat (1), dan ayat (2). Di dalamnya terdapat frasa kata “penambahan” nominal upah yang disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, secara nasional.
BPS (Badan Pusat Statitik) memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12%, dan inflasi sebesar 3,39%. Sehingga kenaikan upah buruh mencapai 8,51%. Ternyata, realisasi inflasi lebih kecil. Namun inflasi belum terhitung dampak administrated price (tarif harga yang ditentukan oleh pemerintah). Antara lain kenaikan iuran BPJS Kesehatan sampai 100%. Kecuali kelas 3, naik 64,70%. Dampak kenaikan iuran BPJS belum nampak, karena mulai berlaku Januari 2020.
Berdasar data BPS, produk domestik bruto (PDB pada triwulan ketiga tahun 2019, atas dasar harga berlaku mencapai Rp 4.067 trilyun. BI (Bank Indonesia), defisit transaksi berjalan masih berada pada level aman, berkisar 2,5% hingga 3% dari total PDB (Produk Domestik Bruto). Berarti, defisit transaksi berkisar antara Rp 101 trilyun hingga Rp 122 trilyun.
Jika rupiah menguat, maka nilai defisit dalam US$ (dolar Amerika Serikat) semakin mengecil. Dengan kurs Rp 13.800,- per-US$, maka nilai defisit (3%) sekitar 8,840 milyar US$. Bukan nilai yang kecil, tetapi bukan pula nilai yang sangat besar. Amerika, misalnya, selalu defisit sekitar US$ 50-an milyar. Begitu pula Inggris, kukuh menjaga defisit anggaran di bawah 2% dari PDB-nya, dengan penuh kekhawatiran.
Tidak mudah mengendalikan neraca berjalan, yang berpatokan pada nilai ekspor dan impor. Tahun (2020) nilai ekspor Indonesia akan berkurang. Antara lain pengurangan permintaan kelapa sawit kawasan Uni Eropa. Juga akan stop ekspor bijih nikel ke kawasan yang sama. Tetapi minyak kelapa sawit (CPO, Crude Palm Oil) dimanfaatkan di dalam negeri, me-masal-kan program energi terbarukan berbahan nabati.
Penggunaan B-20, dan B-30 telah menyerap sebanyak 3,29 juta ton selama Januari – Juni 2019. Serapan ini naik 144% dibanding tahun 2018. Selain program B-20, dan B-30, pemerintah diharapkan akan membeli sawit rakyat untuk pembangkit PLN. Realitanya, harga kelapa sawit di dalam negeri tidak merosot. Masih senilai US$ 600,- per-ton. Lebih tinggi dibanding harga pasar global.
Harga bahan pangan menunjukkan stabilitas, walau cuaca pada akhir tahun 2019 mulai diguyur hujan. Selama tiga bulan terakhir (2019) tercatat inflasi hanya sebesar 0,35%. Inflasi selama 3 bulan, hanya didorong oleh kenaikan harga “bahan dapur.” Telah menjadi siklus tahunan, setiap musim hujan harga ketiga komoditas dapur mengalami kenaikan. Sedangkan harga sembilan bahan pokok (terutama beras) dan daging ayam tetap stabil.
Pertumbuhan ekonomi (dan inflasi) tahun 2020, patut dijaga sejak awal. Diantaranya kendala cuaca yang menghambat transportasi, dan distribusi. Melalui efisiensi sistemik, pemerintah telah menurunkan harga Dexlite, dan Pertamina Dex. Bagai “tips” awal tahun 2020. Akan lebih terasa manakala pemerintah juga menurunkan harga Pertalite, yang menjadi ikon BBM rakyat.
——— 000 ———

Rate this article!
Jaga Penguatan Rupiah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: