Jaga Stabilitas Pangan

Spekulasi harga bahan pangan mendompleng kenaikan kurs dolar Amerika, mulai terasa. Walau tiada kegagalan panen, tiada pula bencana alam, gelagat fluktuasi harga mulai nampak di berbagai daerah. Pedagang besar mulai “menggertak” dengan menimbun barang, dan mengurangi pasokan. Menyebabkan bahan pangan menyusut, harga mulai naik. Catatan inflasi bulan Januari hingga Agustus, hanya 2,13%.
Inflasi yang cukup “landai.” Hal itu pertanda, bahwa kenaikan nilai kurs dolar pada harga puncak (tertinggi (Rp 14.960), tidak menggoyahkan konsumsi dalam negeri. Kini rupiah mulai merambat menguat pada kisaran Rp 14.850,- per-US$. Seharusnya bahan pangan makin kukuh pada harga normal. Seyogianya pemerintah juga memberi insentif sektor distribusi, dan logistik. Karena isu (hoax) kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) mulai marak ditebar di media sosial (medsos).
Berbagai hoax tentang kenaikan harga pangan (dan BBM), bagai olok-olok kepada pemerintah. Semakin menindih penurunan nilai rupiah terhadap dolar Amerika. Pasti bertujuan menimbulkan kegelisahan masyarakat. Banyak rumahtangga terkecoh hoax, memborong bahan pangan dan meng-antre BBM. Ibu-ibu juga mulai menuntut tambahan “biaya dapur.” Hoax kenaikan harga BBM sudah menimbulkan kegaduhan sosial.
Pemerintah wajib menjawab hoax, dengan kinerja lebih keras mengamankan harga bahan pangan. Kementerian Perdagangan, harus turun mengawasi sentra perdagangan (pasar induk) bahan pangan. Serta Kementerian Pertanian, harus meyakinkan produksi panen cukup memadai menyediakan stok pangan. Selain beras, dan gula (asal tebu), hasil ternak ayam, juga wajib digaransi kecukupannya. Daging, dan telur ayam, pada tiga bulan sudah mengguncang perekonomian rumahtangga.
Hoax kenaikan harga BBM, saat ini menjadi sasaran empuk “pabrik” hoax. Karena selama semester pertama tahun 2018, pemerintah telah tiga kali “menyesuaikan” harga BBM. Lebih lagi, administered price (tarif yang ditetapkan oleh pemerintah), biasanya menyebabkan multiplier effect. Terbukti dengan kenaikan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, menjadi pendorong laju inflasi tertinggi kedua. Selama bulan April (jelang Ramadhan) tercatat mencapai 0,19%, sedikit di bawah sektor sandang (0,29%).
Administered price (kebijakan tarif dan harga dasar) yang paling dikhawatirkan, selain BBM, adalah TDL (Tarif dasar Listrik). Saat ini rekening listrik menggunakan pulsa token, hampir tidak terasa. Maka pemerintah wajib mengawasi seksama, kemungkinan kenaikan listrik secara diam-diam (tanpa persetujuan pemerintah). Begitu pula terhadap pulsa telepon seluler, pemerintah patut waspada. Saat ini pembayaran secara e-commerce (belanja on-line) yang semakin me-masyarakat.
Seluruh operator tidak pernah memberitahukan kenaikan tarif pulsa kepada konsumen. Tetapi kenaikan harga pulsa dapat dirasakan, karena pulsa cepat habis hanya dengan penggunaan terbatas. Termasuk paket data internet semakin mengecil. Misalnya, yang semula 500 megabyte, menjadi 400 megabyte. Artinya, kenaikan pulsa telpon seluler bisa dikreasi dengan berbagai cara. Serta “di-sembunyikan” dengan berbagai jargon promosi.
Huru-hara hoax, dipastikan akan menyasar harga pangan lauk-pauk utama paling populer, yakni tahu dan tempe. Mudah diterka, karena bahan baku utama tahu tempe (kedele) masih bergantung pada sokongan impor. Maka pemerintah wajib melindungi pengrajin tahu dan tempe, karena mayoritas berskala usaha mikro dan kecil. Peran Toko Tani Indonesia (TTI, dibawahkan Bulog) bisa menjadi pengharapan sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) menstabilkan harga pangan.
Pelemahan rupiah, ternyata juga memberi “berkah” pada sisi pendapatan APBN. Konon setiap pelemahan Rp 100,-, pemerintah memperoleh tambahan dana sebesar Rp 1,7 trilyun, otomatis. “Berkah,” bisa digunakan sebagai kompensasi,. Pemerintah daerah (melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah), seyogianya telah menggiatkan perlindungan rakyat dari spekulasi pedagang.

——— 000 ———

Rate this article!
Jaga Stabilitas Pangan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: