Jaga Stabilitas Rupiah

Foto Ilustrasi

Meng-geber keluar dolar, boleh jadi akan menjadi cara ampuh untuk mengurangi laju depresiasi rupiah. Sebaliknya, peredaran rupiah mesti dikurangi. Sejak awal Oktober, terjadi peningkatan nilai dolar Amerika Serikat (US$) terhadap beberapa mata uang di Asia. Rupiah tergolong paling merosot dibanding mata uang lain di Asia Tenggara. Depresiasi patut diwaspadai, karena secara langsung akan mempengaruhi kekuatan APBN. Terutama belanja barang dan jasa yang berasal dari luar negeri.
Beberapa asumsi makro ekonomi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2018, baru disetujui. Antaralain nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, ditaksir Rp 13.400,- per-US$. Andai dikalkulasi dalam dolar, kekuatan RAPBN 2018 (Rp 2.220,7 trilyun), menjadi US$ 165,723 milyar. Namun jika dikalkulasi sesuai nilai tukar saat ini (Rp 13.519,-) maka kekuatan RAPBN menjadi US$ 164,265 milyar. Seolah-olah telah “hilang” sebesar US$ 1,458,- milyar. “Kehilangan” itu dalam rupiah, setara dengan Rp 19,7 trilyun. Padahal, tidak ada yang mencuri, dan tidak dikorupsi.
Hanya dalam sepekan, telah “kehilangan” hampir Rp 20 trilyun. Nilai “kehilangan” akan semakin besar manakala tidak dilakukan penjagaan secara sistemik terhadap fundamental perekonomian. Misalnya, dengan memberi insentif komoditas khusus ekspor, serta mempermudah arus barang keluar (proses ekspor). Beberapa komoditas ekspor yang perlu digenjot, diantaranya, batubara, gas, minyak sawit, karet, tekstil, otomotif, serta pupuk.
Yang patut diwaspadai secara khusus, adalah CPO (crude palm oil, minyak sawit). Hingga kini Indonesia masih menjadi “raja” CPO, dengan memasok sekitar 40% kebutuhan. Andai jujur, Indonesia bisa menjadi single majority (lenih dari 51%) CPO. Dengan posisi itu Indonesia bisa menjadi menentukan harga yang lebih pantas. Selama ini beberapa negeri tetangga (Malaysia, dan Singapura) memiliki perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Ironisnya, kelapa sawit yang ditanam di Indonesia dikirim ke negeri tetangga berupa bahan mentah. Sehingga berharga murah. Juga tidak dihitung sebagai komoditas ekspor Indonesia. Padahal dampak perusakan lingkungan menjadi beban Indonesia. Terutama pembakaran hutan dan lahan masif di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dampak lainnya, berpengaruh pada kontur tanah menjadi sangat keras, dan lebih boros menyerap air.
Depresiasi rupiah kali ini diperkirakan berjalan panjang. Penyebab utamanya, adalah adanya rencana penurunan pajak di Amerika Serikat yang proposalnya telah disodorkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Sehingga dolar lebih berharga. Selain itu, Bank Sentral AS (The Fed) mengumumkan akan meningkatkan suku bunga. Dus, masyarakat Amerika lebih suka menabung, mengurangi belanja konsumsi rumahtangga. Akibatnya, peredaran dolar Amerika lebih mampat.
Kebijakan moneter Amerika Serikat, selalu berpengaruh pada roda ekonomi dunia. Neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (sampai Juli 2017) bernilai US$ 14,6 milyar. Ekspor Indonesia mencapai US$ 10,07 milyar, sedangkan impor mencapai US$ 4,52 milyar. Masih menguntungkan Indonesia dengan surplus sekitar US$ 5,55 milyar. Tidak dapat dianggap enteng, karena menjadi mitra dagang terbesar kedua.
Pemerintah  seyogianya tidak melupakan sejarah krisis moneter 1998, yang berpangkal dari merosotnya nilai tukar rupiah. Saat itu, hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade (sejak 1978, masa ke-emas-an rezim orde baru) tenggelam begitu saja. Krisis ini juga sekaligus menghapus harapan Indonesia sebagai “new emerging force” perekonomian Asia.
Dampak depresiasi rupiah merupakan ancaman besar. Sekaligus merugikan masyarakat, karena harga barang eks impor makin mahal. Misalnya, susu, dan kedelai (bahan pembuat tahu dan tempe), masih sangat bergantung pada impor. Perekonomian rakyat akan terguncang.

                                                                                                       ———   000   ———

Rate this article!
Jaga Stabilitas Rupiah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: