Jakarta (Selalu) Punya Cerita

(Menjadi “Miniatur” Dukungan Pilpres 2019)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior,  penggiat dakwah sosial politik

Ini Jakarta bung…! Begitu kata selorohan di ibukota negara. Baru saja kota mega-politan itu memilih gubernur ke-15 (sejak kemerdekaan). Jika dihitung mulai kepemimpinan normal (sejak Ali Sadikin, tahun 1966), Anies Baswedan akan menjadi gubernur ke-10. Rekor terpopuler kepemimpinan Jakarta, masih tercatat atas-nama Ali Sadikin. Sekaligus dinyatakan sebagai gubernur paling fenomenal, cerdas, dan kerja keras.
Ali Sadikin, memang cakap mengurus perekonomian. Padahal ia seorang Marinir (TNI-AL) berpangkat Letnan Jenderal. Beberapa kali ia menjadi menteri, termasuk Wakil Perdana Manteri bidang perekonomian. Ali Sadikin, juga merupakan gubernur pertama yang dilantik di istana oleh presiden Soekarno (28 April 1966). Hampir sama dengan Anies Baswedan, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan. Akankah Anies, dilantik di istana oleh presiden Jokowi?
Pada proses pilkada DKI Jakarta, realita politik menunjukkan, bahwa pucuk pimpinan pemerintah, lebih condong mendukung incumbent, lawan politik Anies. Walau sebenarnya pemerintah (presiden beserta menteri dan Kapolri) berlaku normatif. Boleh jadi “rasa” keberpihakan bersumber dari masa lalu (nostalgia). Karena Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah menjadi pasangan Jokowi, pada pilkada tahun 2012.
Paslon tahun 2012 itu, tergolong “minoritas” dalam hal dukungan parpol. Pada putaran kedua yang memperhadapkan Jokowi – Basuki versus Foke – Nara, hampir seluruh parpol mendukung incumbent. Hanya menyisakan PDIP-P dan Partai Gerindra. Begitu pula empat paslon yang gagal, seluruhnya mendukung Foke – Nara. Hampir artis, dan pensiunan jenderal,  tumplek mendukung incumbent. Kurang apa Foke – Nara?
Seolah-olah kemenangan sudah digenggam. Tetapi hasil coblosan putaran kedua, mengejutkan semua perkiraan. Bagai “men-jungkir balik-kan” paradigma. Faktor incumbent, putra daerah, maupun anggaran kampanye “un-limited” tidak berlaku lagi. Apalagi dengan paradigma incumbent “bisa berbuat apa saja”secara sistemik. Misalnya ber-kampanye melalui program pemerintah. Seperti dilakukan oleh Ahok (di Kepulauan Seribu).
Datang dengan lencana gubernur, untuk meresmikan pembiakan terumbu karang, di pulau Pramuka.  Tetapi Ahok berbicara bagai paslon pilkada, mensitir surat Al-Maidah, ayat ke-51. Itu pengalaman kegagalan Ahok pada Pilgub di propinsi Babel (Bangka Belitung) tahun 2007. Banyak penceramah (lawan politik Ahok) mengutip kitab suci Al-Quran, surat al-Maidah. Ahok, ketika itu Bupati Belitung Timur. Sedangkan rivalnya, Kolonel Laut (purn) Eko Maulana Ali, berstatus sebagai Bupati Bangka.
Aksi Damai 212
Bahkan Eko Maulana (Ketua Golkar Babel), juga berhasil mengulang keberhasilannya, menjadi gubernur periode 2012 – 2017. Namun meninggal dunia tahun 2013. Sedangkan Ahok, pada tahun 2012 (sejak bulan Oktober), menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Waspada terhadap hal serupa terjadi, Ahok, meng-ingatkan warga pulau Pramuka, mungkin akan ada ceramah menggunakan al-Maidah ayat 51 itu.
Tak dinyana, pidato Ahok di pulau Pramuka, berbuah tuduhan penistaan agama. Tuduhan menjadi viral di media sosial. Memicu aksi demo besar-besaran, jutaan muslim (dari berbagai daerah se-Indonesia) turun ke jalan, memprotes Ahok, meng-khawatirkan istana. Sampai presiden Jokowi, perlu bersilaturahim dengan tokoh-tokoh nasional (pimpinan parpol), dan ulama. Diantaranya mengunjungi kantor PB-NU, dan PP Muhammadiyah.
Presiden juga ke markas tentara dan kepolisian elit. Antaralain ke Mako Kopassus (Cijantung, Jakarta), markas Brimob (Kelapa Dua, Depok), dan Mako Marinir (Cilandak, Jakarta). “Safari” presiden dilakukan menjelang dan sesudah aksi masa 4 November (disebut 411). Aksi besar, semakin melibatkan masa lebih besar (jutaan orang) pada 2 Desember, yang kondang disebut aksi kolosal “super damai 212.” Presiden menyambut aksi dengan ramah, serta turut shalat Jumat berjamaah bersama peserta aksi di Monas, Jakarta (2 Desember 2017).
Ratusan tokoh-tokoh agama (juru dakwah dan ulama) turut ambil bagian. Walau tanpa membawa atribut organisasi (NU, Muhammadiyah, maupun yang lain). Selain itu, beberapa tokoh parpol juga turut turun ke jalan sebagai bagian dari rakyat. Siapa tak miris? Karena sejak aksi gerakan reformasi (Mei 1998) belum pernah terjadi lagi aksi kolosal yang melibatkan jutaan masa. Menjadi pemberitaan koran (dan media sosial) sedunia.
Sebagai kawasan mega-politan kelas dunia, Jakarta, selalu menarik perhatian. Selorohan, “Ini Jakarta bung,” ternyata terbukti. Itu menunjukkan karakteristiknya yang khas: plural, multi-strata, dan egalitarian. Tetapi juga konservatif. Walau nyaris tanpa panutan, namun masih kental menganut etika, budaya, serta didukung derasnya arus informasi global. Hampir setiap rakyatnya tergolong fasih berbicara politik.
Situasi sosial yang sangat individual tidak memungkinkan parpol meng-klaim kendali sikap politik masyarakat. Tetapi di balik fisik mega-politan, nampaknya, Jakarta membutuhkan sosok yang egaliter, bisa bergaul dengan multi-strata. Kawasan mega-politan se-dunia (Tokyo, Beijing, Paris, London, serta New York), masing-masing juga masih menyimpan ke-khas-an lokal. Pergaulan multi etnis bangsa (ke-internasional-an), tidak dapat mengikis habis ke-khas-an lokal. Lebih lagi untuk urusan politik daerah (lokal).
Men-tabu-kan SARA
Dalam Pilkada DKI Jakarta (putara pertama), hasil quick-count berbeda dengan potensi suara bekal parpol. Paslon Agus – Sylvi, yang didukung Partai Demokrat bersama PPP, PKB dan PAN, memiliki potensi 26,41%. Kenyataannya, suara yang diperoleh sebesar 17 sampai 18%. Artinya, terdapat faktor “kehilangan” lebih dari 8%. Begitu pula paslon Ahok – Jarot, yang didukung PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Memiliki potensi dukungan suara parpol sebesar 49%, hampir single majority.
Berdasar per-angka-an, dapat di-analisis, bahwa total faktor “kehilangan” dua paslon (Agus – Sylvi dan Ahok – Jarot), menjadi keuntungan paslon Anies – Sandi. Karena seluruh kehilangan (15%), bagai tercurah pada wadah paslon nomor urut 3. Namun harus diakui, perbedaan antara potensi dukungan awal parpol dengan hasil Pilkada, bukan hanya ditentukan oleh kinerja parpol pendukung. Melainkan lebih ditentukan oleh “performa” paslon.
Pada putaran kedua (coblosan 19 April 2017), sebenarnya, paslon Ahok – Djarot, sudah singgle majority. Karena bergabungnya PKB (memiliki bekal 6 kursi), sehingga memiliki bekal sekitar 56%. Sedangkan paslon Anies – Sandi, memperoleh tambahan bekal dari PAN (total bekal menjadi sekitar 36%). Sebesar 8% bekal parpol dianggap sebagai floating-mass. Secara teori, paslon Ahok – Djarot, sudah menang.
Tetapi bekal dukungan parpol, tidak inharent dengan hasil coblosan putaran kedua. Dukungan kepada paslon Anies – Sandi, mencapai 57%. Unggul sangat telak (sekitar 15%) dibanding peroleh paslon Ahok – Djarot (42%). Ini menunjukkan, bahwa dukungan rakyat tidak dapat “di-kapling” sesuai peta partai politik. Rakyat tetap “merdeka” menentukan pilihan.
Para pengamat politik pilkada, menduga terdapat faktor penentu yang dilupakan. Yakni, unsur “ke-kita-an.” Secara sosiologis, “ke-kita-an” merupakan inside (kelompok dalam). Unsur ini bukan sekadar pertalian keluarga. Melainkan juga berbagai kesamaan lainnya (bahasa, warna kulit, ke-suku-an, sampai keyakinan agama). Unsur itu dilupakan karena sejak beberapa dekade di-tabu-kan, dianggap tidak NKRI.
Padahal dalam pilkada, unsur “ke-kita-an” menjadi penentu. Terbukti di berbagai daerah yang banyak melaksanakan transmigrasi (Sumatera dan Kalimantan). Paslon gado-gado, yang menyertakan paslon Jawa, memperoleh kemenangan. Formasi sosiologi (yang lengkap) lebih berpeluang. Dalam hal ini Anies – Sandi, bisa mewakili Jawa, Sunda, dan Betawi (serta mayoritas keyakinan agama penduduk). Anies, menghabiskan masa pendidikannya di Yogya (SMP sampai kuliah di UGM), sekaligus menjadi Ketua OSIS SMA se-Indonesia (1985).
Berkaca pada pilgub Jakarta, bahwa bangunan koalisi (parpol) single majority bisa menimbulkan over-confidence tim sukses. Di ujungnya bisa menyulut respons negatif masa pemilih. Karena yang diinginkan oleh masyarakat adalah suasana damai, dan calon pemimpin (serta tim sukses) yang soft-power.

                                                                                                                     ———   000   ———

Rate this article!
Tags: