Jalan Terjal Menuju Reformasi Peradilan

Ubed Bagus RazaliDitulis Oleh:
Ubed Bagus Razali
Anggota Koalisi Masyarakat Pemantau Peradilan Bebas Korupsi dan Bersih (KOMPAK BERSIH) Jawa Timur

Sulit dibantah jika semangat perubahan atau reformasi peradilan yang menjadi amanah dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menuai jalan yang cukup terjal. Buktinya,selama tahun 2016 telah 3 kali terjadi penangkapan aparatpengadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan 2 orang hakim serta seorang Panitera Pengganti (PP) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kepahiang, Bengkulu, yaitu Janner Purba, Tonton,dan Badaruddin Amsori Bachsin, pada 24 Mei 2016 lalu semakin menambah panjang daftar aparatpengadilan yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait perkara yang sedang ditanganinya, yakni perkara korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Bengkulu, M. Yunus, pada tahun anggaran 2011.
Sebelumnya, pada 12 Februari 2016 KPK menangkap Andri Tristianto Sutrisna, Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata di Mahkamah Agung (MA)ketika menerima suap dari seorang advokat bernama Awang Lazuardi Embat dan Ichsan Suaidi selaku Direktur PT. Citra Gading Asritama(PT. CGA) untuk pengurusan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi perkara korupsi pembangunan pelabuhan di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2007-2008,serta penangkapan Panitera/Sekretaris (Pansek) di PN Jakarta Pusat, Edy Nasuiton, yang menerima suap terkait penanganan perkara peninjauan kembali (PK) pada tanggal 20 April 2016.Kasus Edy Nasutionitupun kemudian merembet ke Sekretaris MA, Nurhadi, yang dicekal oleh KPK pergi keluar negeri karena ketika rumah mewahnya digeledah ditemukan uang sebesar Rp.1,7 miliar. Saksi kunci yang diduga mengetahui asal usul uang tersebut, yaitu sopir Nurhadi yang bernama Royani, hingga kini keberadaannya seakan raib ditelan bumi.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menyebutkan dengan tegas bahwa: “penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melakukan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara; dan untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, maka penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme”, maka reformasi peradilandi tubuh MA mutlak untuk dilakukan. Sebab, keberadaan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kesejahteraan aparatur pengadilan.
Dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah(PP)Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah MA serta Surat Keputusan (SK) Ketua MA Nomor 128/SK/KMA/VII/2014 mengenai Tunjangan Kinerja/Remunerasi Pegawai MA, yang menyebutkan bahwa tunjangan hakim pada pengadilan tingkat pertama berkisar diantara Rp.8,5-27 juta dan di tingkat banding sebesar Rp.27,2-40 juta, sedangkan tunjangan panitera pengganti di pengadilan tingkat pertama berkisar diantara Rp.5,461-7,082 juta serta di tingkat banding adalah sebesar Rp.7,663 juta, dan tunjangan pansek pada pengadilan tingkat pertama berkisar diantara Rp.8,327-11,690 juta dan di tingkat banding sebesar Rp.16,870, maka sudahseharusnya aparatur pengadilan itu tidak menerima suap. Karena, kesejahteraannya telah jauh meningkat dibandingkan ketika era orde baru.
Filosof dan ilmuwan besar dunia, Aristoteles (384-322 SM) telah mengingatkan bahwa hukum ialah kecerdasan yang tidak boleh dipengaruhi oleh nafsu. Namun, problematika yang selama ini menghinggapi aparat penegak hukum, khususnya aparatur pengadilan, di negeri ini ialah moralitas dan komitmennya masih dikalahkan oleh nafsu. Sehingga, reformasi peradilan yang selama ini digadang-gadang untuk bisa melahirkan aparatur pengadilan yang jujur, adil,serta beranilayaknya Syuraih bin al-Harits al-Kindi yang beranimenghukum pejabat sekelas Khalifah Umar bin Khattab (memerintah tahun 634-644 H) serta Khalifah Ali bin Abi Thalib (memerintah tahun 655-660 H) hanyalah akan menjadi mimpi belaka.
Reformasi peradilan sebagai sistem yang bertujuan untuk memperbaiki dunia peradilan pada prinsipnya mempunyai sifat terbuka terhadap saran, kritik, dan masukan dari pihak luar.Namun, bentangan fakta yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa MA cenderung bersikap tertutup, bahkan menolak segala bentuk saran, kritik, dan masukan dari pihak luar. Buktinya, dari 116 rekomendasi sanksi yang diberikan dari Komisi Yudisial (KY),selaku lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, sepanjang tahun 2015 hanya 45 rekomendasi yang dijalankan. Bahkan, sebelumnya di tahun 2006 serta 2015 puluhan Hakim Agung yang tergabung dalam organisasi yang bernama Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) meminta kepada Mahkamah Konstitusi(MK) melalui judicial review atau pengujian Undang-undang untuk memotong kewenangan KY terkait pengawasan dan keterlibatan dalam seleksi perekrutan hakim pada pengadilan tingkat pertama,dan kedua permohonan tersebut dikabulkan oleh MK.
Selain itu, Ombudsman sebagai lembaga pengawasan publik juga pernah mengingatkan buruknya pelayanan di pengadilan. Sebab, laporan terkait maladministrasi di pengadilan yang diterima Ombudsman setiap tahunnya cukup banyak dan cenderung meningkat, dimana tahun 2014 sebanyak 234 laporan dan pada tahun 2015 naik menjadi 296 laporan. Saran, kritik, dan masukan dalam bentuk rekomenadi dari KY dan Ombudsman itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya memperbaiki dunia peradilan dalam jangka panjang karena menurut World Justice Project di Washington DC indeks penegakan hukum atau rule of law index di Indonesia tahun 2015 sangat rendah,yaitu berada di peringkat 52 dari 102 negara dunia, atau di peringkat ke-10 dari 15 negara se-Asia Pasifik.Salah satu faktor yang mengakibatkan indeks penegakan hukum di Indonesia rendah adalah karena peradilan sipil (civil justice) masih terus dihinggapi oleh persoalan korupsi. Akibatnya, integritas dan etika aparatdi lingkungan pengadilan hanya menempati posisi ke-74 dari 102 negara.
Dengan melihat kondisi dunia peradilan Indonesia yang saat ini sedang dalam keadaan darurat, maka Presiden harus segera melakukan langkah penyelamatan denganmengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Keberhasilan Ukraina melakukan reformasi dunia peradilan setelah memisahkan diri dari Uni Soviet tentu layak dikedepankan. Keberanian Ukraini untuk melepas 5.000 hakim dari total 10.270 hakim yang gagal lulus saat mengikuti tes ulang seleksi perekrutan hakim terbukti mampu membangun dunia peradilan di Ukraina menjadi bersih dan kuat sehingga bisa menyelamatkan negara dari korupsi peradilanpatut untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan di lingkungan badan peradilan di Indonesia.

                                                                                                               ——————- *** ——————-

Tags: