Jalesveva Jayamahe : Di Laut Kita (Pernah) Jaya

(Refleksi Hari Nusantara, 13 Desember 2017)

Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember seharusnya memberi refleksi kepada tentang siapa kita, Indonesia, sesungguhnya. Hari Nusantara setidaknya memberi kita dua makna. Pertama, adalah bahwa Indonesia memiliki identitas sejarah sebagai bangsa yang pernah berjaya di lautan. Kedua, bahwa selama ini kita telah melupakan laut sebagai karakter kehidupan dan karenanya kita harus kembali ke laut sebagai basis utama pembangunan nasional.
Identitas Sejarah
Hari Nusantara ditetapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan peringati sejak tahun 2001. Tanggal 13 Desember dipilih karena didasarkan pada gagasan yang dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 merupakan tonggak sejak perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan. Ir. Juanda, Perdana Menteri Indonesia di masa itu, menegaskan bahwa “Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia adalah bagian dari wilayah daratan Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia.”
Lahirnya Deklarasi Juanda dilatari oleh masalah yang dihadapi Indonesia mengenai batas wilayah. Sesuai dengan standar internasional, wilayah perairan suatu negara ditetapkan sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Bila ketentuan ini diterapkan dalam konteks Indonesia, maka ada banyak wilayah perairan yang tidak termasuk dalam wilayah kepulauan Indonesia dan pemerintah tidak memiliki kedaulatan atas wilayah itu. Juanda kemudian menyadari masalah itu hingga melahirkan pernyataan yang mengusulkan bahwa jarak 12 mil laut yang terjauh dari pulau-pulau yang terletak terluar, dan dihubungkan secara keseluruhan, merupakan wilayah kekuasaan negara Indonesia.
Deklarasi kemudian diajukan ke Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1958. Butuh waktu selama 25 tahun (dari 1958 sampai 1982) hingga usulan Indonesia tersebut disetujui pada pertemuan UNCLOS III tahun 1982. Persetujuan tersebut sekaligus menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelogic State) terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 sekaligus wilayah laut Indonesia mengalami pertambahan luas hingga 5,8 juta kilometer persegi. UNCLOS 1982 yang disebut juga sebagai “a constitution of the ocean” kemudian menjadi dasar dari seluruh hukum laut internasional.
Sayangnya, meskipun Indonesia diakui sebagai negara kepulauan, karakter kehidupan dan pembangunan nasional selama ini lebih menempatkan darat sebagai basis utama. Pemerintah lebih memfokuskan pembangunan darat, dan tidak hanya memunggungi tetapi juga melupakan laut. Kita disebut mengalami kerancuan identitas, negara kepulauan yang berparadigma kedaratan. Paradigma kedaratan itu tidak terlepas dari kenyataan sejarah kolonialisme bangsa Eropa yang telah menghilangkan jiwa bahari kita, padahal nenek moyang kita adalah pelaut ulung.
Semboyan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” bukanlah sekadar semboyan nasionalisme. Kajian prasejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia lahir dari migrasi lewat laut selama ribuan tahun. Kemudian, di masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan, ada dua kerajaan besar yakni Sriwijaya dan Majapahit yang pernah tampil sebagai penguasa maritim. Dominasi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tersebut menjadikan Nusantara (Indonesia) pernah menjadi bangsa penguasa lautan dunia. Namun, datangnya kolonialisme telah mengubur kejayaan itu dalam lembaran sejarah.
Selama tiga abad lebih penjajahan Belanda, perkembangan industrialisasi mendorong pemerintah Belanda melakukan kegiatan ekonomi yang berorientasi darat, sementara laut hanya menjadi sebuah kawasan penghubung antarwilayah. Tambahan pula, pada masa kolonial berlaku sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini praktis menghasilkan pergeseran kehidupan masyarakat dari kehidupan budaya bahari menjadi kehidupan budaya agraris.
Alhasil, setelah kemerdekaan, masyarakat maupun pemerintah lebih berorientasi pada pengembangan pembangunan ekonomi darat dengan corak kehidupan masyarakat pada budaya agraris. Karenanya, Hari Nusantara perlu menjadi refleksi bahwa jiwa kita yang sesungguhnya adalah jiwa bahari. Kejayaan di masa lalu harus direbut kembali. Jalesveva Jayamahe, di laut kita pernah berjaya.
Gagasan Poros Maritim
Poros Maritim Dunia (PMD) sebagai gagasan utama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah satu upaya untuk menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai negara yang harus memperoleh kemanfaatan yang besar dari maritim. PMD merupakan konsep pembangunan yang menegaskan pentingnya pembangunan yang berorientasi laut. Memang, sudah saatnya kita kembali ke laut dan menempatkan laut sebagai karakter kehidupan bangsa.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia Pasal 1 Ayat 2, disebutkan bahwa PMD merupakan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. “Negara maritim”, karena meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi belum disebut sebagai sebagai maritim.
Negara maritim adalah negara yang mampu memperoleh keuntungan yang besar dari wilayah perairan yang mengelilingi wilayahnya. Konsepsi negara maritim (maritime state) ini mengharuskan Indonesia dapat mengambil manfaat ekonomi, politik, keamanan dan pertahanan, serta sosial-budaya dari kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Sehingga menjadi paradoks, jika Indonesia sebagai negara kepulauan namun tidak mampu mentransformasikan dirinya menjadi negara maritim yang memanfaatkan segala yang dimilikinya di laut.
Lebih lanjut, PMD setidaknya memberi isyarat bahwa arah orientasi pembangunan yang hendak dilakukan adalah pembangunan berbasis kelautan. Konsep PMD menunjukkan adanya upaya pengarusutamaan pembangunan nasional di laut untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Gagasan ini kiranya menjadi seruan untuk kembali ke jati diri Indonesia dan identitas nasional sebagai negara kepulauan yang pernah berjaya di laut sebelum datangnya kolonialisme memutus kejayaan itu.
Menurut Suropati dkk (2016), gagasan PMD secara substantif mengandung dua aspek. Pertama, poros maritim, secara tegas menunjukkan tekad pemerintah untuk mengubah paradigma berpikir bangsa dari yang selama ini sangat berorientasi pada pembangunan darat (continental oriented) menjadi berorientasi kelautan atau maritim (maritim oriented). Kedua, kata “dunia” dalam term PMD, menegaskan bahwa perwujudan visi maritim tidak sebatas pada lingkup nasional, melainkan juga pada tataran dunia. Pada titik inilah, gagasan PMD merupakan langkah awal upaya untuk meredefinisi kepentingan nasional Indonesia. Karenanya, Hari Nusantara harus dapat menjadi momentum untuk menegaskan kembali ambisi itu sekaligus merefleksikan sebuah kesadaran tentang pentingnya arti laut bagi kita. Jalesveva Jayamahe!

———– *** ————

Tags: