Jam Dinding

Jam Dinding

Oleh :
Tina Harianti

Siang terik itu, Radit sedang bersiul-siul kecil menunggu pelanggan. Entah lirik apa yang dinyanyikannya, tapi dari raut wajahnya kelihatan ia sangat bahagia. Semakin ramai pengunjung yang datang, semakin mengembang senyumnya. Beberapa kendaraan seperti mobil dan sepeda motor telah berjejer rapi di depan di gerai makanan dan minuman itu. Ia baru saja meletakkan selembar karton bekas di atas jok motor pelanggan. Tentu saja pelanggan merasa senang karena nanti bisa duduk mengendarai motor dengan nyaman tanpa rasa panas. Tiba-tiba ada seseorang dengan tangan kekar mencengkram tangannya.
“Sakit. Lepaskan tangan Radit, ayah. Lepaskan. Radit mohon” Radit mengerang kesakitan. Ia berusaha keras berontak melepas cengkraman itu. Namun, genggaman tangan besar ayahnya terlalu kuat untuk ia lepaskan. Radit hanya bisa menggigit bibir. Tangan kiri Radit ditarik paksa ayah agar menjauh dari tempat parkir itu.
“Sudah berapa kali aku bilang, hah?!. Jangan sekolah lagi. Untuk apa kau sekolah, hah?! Buang-buang uang saja. Lebih baik kau kerja dari pagi sampai malam di parkir ini. Banyak uang yang kau dapat. Apa yang kau dapat dari sekolah yang kau banggakan itu?! Tidak ada kan?! Puihh!!” Ayah meludah, mendengus kesal.
Radit berusaha berontak. Tapi lelaki tua itu semakin kuat menggenggam tangan Radit. Hampir saja terpelintir tangan pemuda tanggung itu. Kemarahan ayah sudah meledak-ledak. Matanya merah. Mulutnya terus saja meracau mengeluarkan makian. Radit mencium aroma alkohol dari mulut ayahnya.
“Maafkan Radit, Ayah.” kata Radit pelan. Dibiarkannya tangannya digenggam kuat oleh ayahnya. Percuma ia melawan. Rasa sakit dan gemuruh di dadanya tak mampu mengobati rasa sakit karena genggaman itu. Mata Radit mulai berkaca-kaca, sakit ditangannya sudah biasa ia alami. Rasa sakit itu sudah mengalahkan pedihnya penderitaan yang harus ia pikul setiap hari. Tangisnya pecah.
“Maafkan Radit, Ayah. Lepaskan tangan Radit, Ayah. Radit mohon” dipeluk dan dirangkulnya erat ayahnya dengan tangan kanannya. Radit berharap kalau hati ayah akan luluh. Benar saja, kemarahan ayah mereda. Laki-laki perkasa itu melepas tangan Radit. Tapi mata liarnya tetap tajam seperti menerkam mangsa.
“Mana uang jaga parkir hari ini? Serahkan!” katanya kasar. Matanya liar mengganyang setiap sudut kantong baju dan celana pendek Radit.
“Tapi uang ini untuk bayar uang sekolah Radit, Ayah.” kata Radit ketakutan sambil menutup kantong bajunya erat. Radit berusaha menjauh. Tapi..
Plakk!!
Tangan kekar itu sudah menempel di pipi kanan Radit. Radit mengerang kesakitan sambil memegangi pipinya yang merah. Radit masih menutup kantong bajunya.
“Enak saja kau ngomong. Sekolah itu buang duit tau!. Sini duitnya” kata laki-laki bertato itu merampas semua isi kantong baju Radit. Laki-laki itu tersenyum kemudian terkekeh-kekeh. Dihitungnya uang seribuan itu satu per satu lalu dimasukkannya ke saku celana pendeknya. Terbayang nanti malam dia akan pesta alkohol bersama teman-temannya di tempat biasa.
Radit masih berdiri tegak di posisi semula. Matanya mengekor tubuh ayahnya hingga bayangan itu hilang dari kejauhan. Kemudian dua jarinya merogoh kantong kecil yang tersembunyi di bagian dalam celana pendek. Ada empat lembar uang 5000-an tersimpan. “Bisa beli beras dan lauk untuk makan nanti malam,”pikirnya. Dihapusnya air mata yang masih tersisa di sudut mata.

—– *** —–

“Radit, sudah empat bulan kamu tidak membayar SPP. Ayahmu tahu akan hal ini?” tanya Bu Wulan dengan nada lembut suatu hari di kantor guru. Bu Wulan adalah wali kelas Radit. Guru dan siswa itu duduk berhadapan pada sebuah meja persegi berwarna cokelat muda. Di atas meja itu ada tumpukan beberapa buku latihan siswa. Sebuah pot kecil dengan bunga mawar plastik berwarna-warni di sudut kiri meja terlihat indah menghiasi ruangan itu.
“Ma-af Bu. Ra-dit belum bi-sa ba-yar. Ayah su-dah lama ti-dak bekerja.” jawab Radit terbata-bata. Siswa kelas 1 SMA itu berusaha mengumpulkan semua kekuatan dan keberaniannya untuk membuat kesepakatan yang ia sendiri tidak yakin akan mampu melunasinya.
“Kalau ayah Radit tidak bekerja, bagaimana dengan biaya hidup Radit?” tanya Bu Wulan agak berbisik. Matanya memandang wajah Radit dalam, berusaha menemukan sebuah titik kegelisahan dalam diri remaja itu.
“Radit akan bekerja lebih keras lagi, Bu” jawab Radit pelan. Ia menekuk wajahnya lebih dalam, menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia rasakan.
“Bekerja? Radit sudah bekerja?” tanya Bu Wulan penasaran.
“Iya, Bu. Sebagai tukang parkir di depan gerai makanan dan minuman.” Radit masih tertunduk.
“Radit masih ingin sekolah, Bu.” lanjutnya. Butir-butir air mulai jatuh di kedua pipi Radit. Ia berusaha agar air mata itu tak jatuh, tapi rupanya air mata itu sudah bertahun lamanya tertahan hingga menyesak tak terkendali lagi. Air mata remaja itu akhirnya tumpah hari itu. Berkali-kali Radit menyeka pipi dengan lengan bajunya, tapi tetap saja air mata itu tak mau berhenti.
Bu Wulan menarik napas panjang.
“Angkat wajahmu, Radit. Tatap mata ibu, Nak.” ucap Bu wulan lembut. Seperti suara tetesan air di keheningan, menyejukkan jiwa.
Radit mengumpulkan semua sisa kekuatan yang ada. Ia belum berani menatap wajah wanita lembut itu. Rasa takut masih menyelimuti dirinya.
Bu Wulan memegang bahu Radit. Ditepuknya lembut bahu itu berkali-kali. Ia memamerkan senyum khas dari bibirnya. Ia sangat memahami kesulitan yang dihadapi muridnya itu.
“Radit, kamu perhatikan jam dinding itu!”
Wanita itu mengarahkan jari telunjuknya ke atas. Menunjuk sebuah jam dinding besar yang berdiri tegak dengan gagahnya di tengah dinding kantor.
Mata Radit mengikuti arah jari telunjuk Bu Wulan.
“Anakku, jarum jam dinding itu selalu bergerak, berputar mengikuti angka-angka yang ada di depannya. Kadang jarumnya sudah di angka 12 kadang jarumnya sudah di angka 6. Jarum jam itu tak pernah berjalan mundur. Dilihat orang atau tidak, ia tetap berdenting. Dihargai atau tidak ia tetap berputar. Walau tak seorang pun mengucapkan terima kasih, ia tetap bekerja. Setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik.” Bu Wulan menghentikan suaranya sejenak
“Anakku, kehidupan ini ibarat jam dinding. Anggaplah saat ini kamu berada di posisi angka 6, kehidupan yang kamu rasakan pahit dan getir, tapi yakinlah bahwa suatu saat jarum jam itu bergerak ke angka 12 membawa kedukaan berubah menjadi kebahagian. Dan satu lagi, dari jam dinding itu kita bisa ambil pelajaran dengan teruslah berbuat baik kepada siapapun walaupun perbuatan baik kita tidak dinilai orang lain.” sambungnya.
Radit hanya manggut-manggut. Berusaha sekuat tenaga memahami penjelasan itu. Pikirannya dipaksa untuk berjalan di atas rata-rata. Bu Wulan melebarkan senyum melihat tingkah muridnya yang masih kebingungan itu.
“Radit, kamu adalah orang pilihan. Tuhan memilih kamu untuk berada dalam posisi ini. Jalani kehidupan ini dengan tabah dan sabar. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Berdoalah pada Yang Maha Pengasih. Seiring berjalannya waktu, nasib akan membawamu pada kebahagiaan. Ibu doakan agar kelak kamu jadi anak yang sukses. Tentang tunggakan SPP, nanti akan ibu bicarakan dengan ibu kepala sekolah.”
“Baik bu, terima kasih.” kata Radit parau. Suaranya serak
Bagai sebuah kekuatan besar, kata-kata Bu Wulan telah membangkitkan rasa percaya diri yang selama ini hilang entah ke mana. Radit menyeka sisa-sisa air mata di ujung matanya. Hari ini Radit mengangkat wajahnya. Sejak kepergian ibunya, ini pertama kali ia tersenyum. Menatap masa depan dengan senyuman. Walaupun nanti ia tidak tahu seperti apa bentuk wajah masa depan itu. Radit hanya bisa pasrah, menyerahkan semua hidupnya kepada Sang Maha pengatur semesta alam.

—– *** —–

“Mana Bu Wulan?!” bentak seorang lelaki bertato pada seorang wanita yang sedang duduk di kantor guru.
Lelaki itu rambutnya acak-acakan. Matanya merah. Nampaknya ia barusan mabuk.
“Saya Wulan. Ada perlu apa, Pak?” Bu Wulan tersenyum ramah memamerkan senyum khasnya.
“Saya mau agar Radit dikeluarkan dari sekolah ini.” bentaknya lagi.
“Maaf pak, tidak perlu pakai emosi. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Silakan duduk dulu, Pak” Bu Wulan menyodorkan sebuah kursi.
“Hei! Saya peringatkan Anda agar tidak usah mengurus Radit. Saya ayahnya. Dia tidak butuh sekolah. Ia hanya perlu kerja supaya bisa menghasilkan uang. Sekolah hanya menghabiskan uang, tau!” bentaknya dengan mata melotot.
“Maaf pak, sebaiknya bapak duduk dulu dan kita ….”
“Tidak perlu. Anda jangan sok pahlawan melunasi SPP Radit. Titik.” potongnya sambil berlalu meninggalkan kantor guru itu. Mata Bu wulan mengikuti tubuh lelaki itu hingga menghilang dari kejauhan.

—– *** ——

“Ayo, Pulang! Pulang! Kerja!” bentak lelaki bertato. Ia menarik-narik tangan Radit agar meninggalkan kelas. Ia menyelonong masuk kelas begitu saja tanpa memperdulikan Bu Wulan yang sedang mengajar.
“Radit masih belajar, Ayah. Nanti pulang sekolah Radit jaga parkir. ” Radit berusaha sekuat tenaga menarik tangannya.
Plak!! Plak!!
“Ayo, pulang!” bentak lelaki itu garang.
“Ampun, Ayah. Radit masih mau sekolah,” kata Radit pelan. Ia memegang dua pipinya. Panas.
“Kau masih mau sekolah ya? Hah!!” tangannya sudah terkepal dan menghantam wajah Radit.
Semua teman Radit di kelas yang dari tadi menonton mulai menjauh. Bu Wulan yang melihat kejadian itu langsung melerai. Namun, tenaga ayah Radit lebih kuat dari perkiraan. Bu Wulan terjatuh.
“Kalau Bapak buat keributan di kelas ini, saya akan hubungi polisi. Bapak akan ditindak karena sudah melakukan kekerasan.” tegas Bu Wulan .
Tapi tampaknya ayah Radit sudah kalap. Ia tetap melayangkan pukulan ke wajah Radit. Anak laki-laki di kelas berusaha melerai. Radit akhirnya terjatuh dan tergeletak di atas lantai. Darah segar mengucur dari tulang pipinya. Ayah Radit panik. Lelaki itu mendengus kesal dan pergi berlalu meninggalkan kelas.
Waktu berputar begitu cepat. Bagai poros berputar pada satu titik. Dalam cahaya terang benderang, Radit diantar poros waktu itu ke masa kecil. Dihadapannya telah berdiri seorang wanita berpakaian putih dan mengenakan jilbab putih terang. Wajahnya bercahaya. Sinar yang menyilaukan mata itu perlahan-lahan mulai membias. Ia mengangkat kedua tangannya, menggapai tangan Radit. Jarak mereka sangat dekat. Hanya tinggal satu jengkal saja. Senyuman terpancar dari wajah keibuan itu. Radit sangat mengenali wanita itu. Ia segera memeluk tubuh wanita yang dirindukannya itu. Mata Radit mulai berkaca-kaca, air mata kerinduan itu ingin tumpah. Sesak di dadanya semakin menguat.
“Ibu!….Ibu!…” teriak Radit. Pelukan itu sangat erat dan tak ingin ia lepaskan selamanya. Tangisnya pecah, air matanya tumpah seperti air bah. Sudah bertahun-tahun Radit sangat merindukan peristiwa ini. Dalam pelukan dan kehangatan cinta kasih ibu.
“Jangan tinggalkan Radit lagi, Bu” lirihnya.
Wanita itu hanya tersenyum sambil membelai lembut rambut Radit yang ikal.
“Menangislah, Nak. Menangislah sepuasmu di pangkuan Ibu.”
“Radit ingin kita bersama seperti dulu lagi.” isaknya. Semakin kuat ia memeluk ibunya.
Ibu lagi-lagi hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata pun. Dibiarkannya Radit menumpahkan kesedihan yang selama ini dia tahan. Setelah tangisan itu mereda, perlahan-lahan wanita itu melepaskan pelukan Radit dan menatap lembut anak lelakinya itu.
“Seburuk apapun ayahmu, ia tetap ayahmu. Berbuat baiklah padanya. Doakan ayahmu agar berbuat baik dan kembali ke jalan Tuhan. Teruslah berdoa untuk ibu dan ayahmu. Ibu akan ada selalu bersamamu. Kita akan berkumpul di surgaNya.” tangan ibu mengusap pipi Radit yang basah.
“Radit berjanji akan selalu ingat pesanmu, Ibu.”
“Kamu memang anak ibu yang baik, Nak.” kata ibu tersenyum.
Poros waktu kembali bersinar. Sinar itu semakin lama semakin menyilaukan mata. Wanita itu melepas lembut genggaman tangan Radit perlahan-lahan. Di tangannya sudah ada sebuah jam dinding berwarna putih dan memberikannya pada Radit. Kemudian, mencium kening anaknya dengan haru. Radit hanya terpaku, diam membisu.
Tak lama, wanita itu membalikkan badannya dan berdiri di atas poros waktu. Wanita itu tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Radit. Perlahan-lahan cahaya terang berderang mulai redup bersamaan dengan menghilangnya tubuh wanita itu.
“Radit, Radit sudah siuman, Nak?” tanya Bu Wulan.
Radit membuka matanya. Rasa bahagia itu baru saja datang menyapa. Bahagia bertemu dengan ibu. Walaupun hanya lewat mimpi, tak akan ia biarkan kebahagiaan itu pergi. Kebahagiaan itu akan ia simpan bersamaan dengan detak jam dinding di kantor itu. Mirip sekali dengan jam dinding yang diberikan ibu. Dilihat orang atau tidak, ia tetap berdenting. Dihagai atau tidak ia tetap berputar dan bekerja. Setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Teruslah berbuat baik meskipun perbuatan baik kita tidak dinilai. Seburuk apapun seorang ayah tetap berbuat baiklah padanya. Doakan agar ia kembali ke jalan yang benar.

Tentang Penulisi:
Tina Harianti lahir di Padangsidempuan, 30 Agustus 1981. Setelah menamatkan pendidikannya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau. Ia mengabdi sebagai guru di MAN 2 Kota Pekanbaru hingga sekarang. Bukunya yang telah terbit adalah antologi puisi, Dersik Korona tahun 2020 dan antologi cerpen, Sang Pemimpi tahun 2021

———– *** ————-

Rate this article!
Jam Dinding,5 / 5 ( 1votes )
Tags: