Jangan Memonopoli Tafsir Pancasila!

Oleh:
Rafyq Panjaitan
Alumni Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Bila penguasa gagal memberi keadilan, ia akan berceramah tentang keamanan nasional. Tugas negara menjaga netralitas ruang publik bukan menyingkirkan keyakinan orang lain(Rocky Gerung, Dosen Filsafat UI)
Akhir-akhir ini isu tentang ‘labeling’ pancasila mencuat ke publik. Pendefenisian sikap kelompok atau individu mulai diarahkan apakah sudah pancasilais atau belum. Penguasa dan media berhasil membuat masyarakat agar tidak melupakan landasan filosofis negara.
Negara mulai secara masif mengelilingi masyarakat dengan ide-ide pancasila agar diharapkan turut menjaga integrasi nasional dan menangkal disintegrasi nasional. Bahkan Presiden Jokowi di depan para serdadu di Natuna beberapa waktu lalu dengan nada tegas mengatakan bahwa kelompok yang anti pancasila akan ‘digebuk’.
Istilah: intoleran, anti pancasila dan anti kebhinekaan belakangan begitu sering kita dengar. Bangunan labeling istilah-istilah tersebut semakin nyaring paska ‘Ahok effect’ yang dihukum oleh pengadilan akibat kasus penistaan agama. Keterbelahan rakyat paska insiden Al-maidah 51 memang sangat ketara, keriuhan terjadi bukan hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya.
Gebuk adalah bahasa kekuasaan. Diksi gebuk yang digunakan mengisyaratkan kegeraman Presiden Jokowi kepada kelompok-kelompok yang masih mempertentangkan dasar negara. Kegeraman Presiden Jokowi yang mewakili negara terlihat secara eksplisit lewat pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
Kita ketahui bahwa HTI mengusung ideologi ‘khilafah’ dan anti demokrasi. Kita harus mengapresiasi langkah pemerintah yang menjaga eksistensi Indonesia dari kelompok-kelompok yang anti pancasila, tetapi suatu hal yang harus dicatat: jangan gegabah, jangan tebang pilih dan lupa introspeksi diri!
Pancasila itu bukan milik satu golongan saja, bukan milik pemerintah. Pancasila itu filsafat kita sebagai bangsa untuk berkontemplasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila itu bukan alat legitimasi penguasa untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, terlebih para pengkritik!
Lihat ke dalam
Orang bijak mengatakan ‘sebelum menilai seseorang, bercerminlah terlebih dahulu’. Jika kita lebih filsafati melihat ke dalam pemerintah itu sendiri, apakah pemerintah sudah pancasilais? Dalam hal pembubaran HTI misalnya, bukankah pembubaran HTI juga bertentangan dengan pancasila? Bukankah justru pancasila mengakomodir seluruh golongan ataupun pemikiran?
Tindakan gegabah tersebut sebenarnya bukan pilihan yang tepat, pemerintah seharusnya menjawab pemikiran HTI dengan ‘counter gagasan’. Pemerintah juga bisa melakukan pendekatan dialogis dengan ormas tersebut, karena anggotanya juga adalah warga negara Indonesia. Serta satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa organisasi wujudnya bisa mati, tetapi ‘idenya’ tidak.
Lebih jauh, dalam hal kebijakan-kebijakan ekonomi politik pemerintah. Seperti di tahun 2016 lalu, pencabutan perda (peraturan daerah) bermasalah. Dimana pemerintah ingin membasmi 1000 lebih perda bermasalah yang menghambat investasi. Pemerintah menghamba pada investor asing, mereka menjadi tuan di negeri ini, karpet merah terbentang lebar, sampai kedaulatan daerah ditelanjangi tanpa pandang bulu.
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo salah satu contoh perda yang dinilai menghambat investasi adalah ketika ada yang hendak membuka usaha harus ada izin prinsip, izin IMB dan izin gangguan atau Hinderordonnantie (HO). Kemudian ia menyampaikan pada bidang energi dari 200 lembar perizinan akan dipangkas menjadi 15 lembar saja. “Kalau sebelumnya lama proses perizinan satu minggu sekarang cukup hitungan jam”. Intinya, kata dia, adalah bagaimana investasi dan perizinan semakin mudah dan mencegah adanya retribusi yang tidak perlu (Harian Analisa, 29 mei 2016)
Padahal, seyogyanya investor asing itu sendirilah yang harus mengikuti aturan main di Indonesia. Daerahlah yang paling mengetahui tentang daerahnya sendiri, mereka wajib mendapatkan profit dari alam daerahnya. Kebijakan Presiden Jokowi ini sudah sangat neolib, dimana neoliberalisme adalah jalan bagi neo-kolonialisme dan jelas bertentangan dengan pancasila.
John Perkins dalam bukunya ‘The Confession of an economic hitman’ (pengakuan bandit ekonomi) menjelaskan bahwa pada masa orde baru Indonesia dibuat liberal dan bergantung pada IMF dan World Bank adalah dengan menyuap elit orde baru untuk memuluskan regulasi.
John perkins bercerita bahwa dia pernah diutus oleh AS untuk melakukan hal yang sama di era orde lama namun beliau mentah-mentah ditolak oleh Soekarno. Pada momen itulah lahir istilah Bung Karno yaitu ‘Go to hell with your aid’.
Perkins mendatangi Bung Karno di meja kerja Bung Karno dan tanpa panjang lebar Bung Karno dengan tegas menolak tawaran-tawaran manis John Perkins. Namun naas, pada orde baru, keran investasi alias bantuan asing dibuka selebar-lebarnya oleh Soeharto dengan atas nama pembangunan.
Dalam konteks rezim saat ini, Presiden Jokowi sangat masif ‘berjualan investasi’ di berbagai negara bahkan dengan perusahaan-perusahaan besar dunia, seperti: Facebook, Google dan lain sebagainya. Mengapa lupa dengan Tri sakti yang selalu digaungkan, mengapa lupa untuk berdikari secara ekonomi, mengapa tidak melihat potensi dalam negeri untuk mendongkrak perekonomian? Sangat disayangkan persaingan global tidak direspon dengan ‘penguatan nasional’ yang terjadi malah ‘pelemahan nasional’.
Bahkan yang paling ironi adalah wacana langkah Presiden Jokowi yang hendak membawa Indonesia ke dalam Trans Pasific Partnership (TPP), dimana Amerika sendiri mendapat pertentangan keras dari parlemennya untuk tidak ikut bergabung dalam skema neoliberalisme tersebut. Justru Indonesia dengan latah hendak membawa nasib 250 juta lebih rakyat ini dalam lingkaran neo-imperialisme.
Presiden, pemerintah, pemimpin rakyat harus dan memang layak mendapat kritik dari segala lini. Apalagi Presiden, karena kekuasaannya bersifat ‘take all’ (menyeluruh). Tanda tangan dari seorang Jokowi akan menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia. Jadi, wajar saja rakyat marah ketika tindak-tanduknya tidak sesuai dengan kehendak rakyat dan konstitusi. Pemerintah tak boleh anti-kritik dan paranoid dengan gerakan social civil society jika memang benar dan sudah bertindak sesuai asas keadilan sosial.
Dalam konteks sosial politik. Isu anti-pancasila dan anti-kebhinekaan jangan dibuat untuk mengkambinghitamkan salah satu golongan dan rezim ini tampil seperti superhero yang ‘terlihat’ sangat pancasilais. Gesekan sosial dengan kelompok-kelompok Islam akhir-akhir ini adalah bukti kegagalan negara di dalam memberikan keadilan di dalam kebijakannya. Pemerintah tidak boleh ‘under-estimate’ dengan gerakan Islam, bicara Indonesia tidak bisa lepas dari membicarakan Islam, bahkan sejarah mencatat peran ulama dan kaum santri bagi republik ini sangatlah besar.
Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna (2011) pada Bab pertama yang berjudul ‘Berketuhanan yang berkebudayaan’ menjelaskan perdebatan hubungan antara agama dan negara. Ada yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam. Artinya agama dan negara tidak ada pemisahan sekat. Namun ada pula menolaknya. Namun Kesepakatan akhir ditetapkan bahwa Indonesia bukan negara agama namun juga bukan negara sekuler, melainkan sebagai negara yang mengakomodasi kepentingan agama. Sila ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembalikan etika sosial dalam berkehidupan (hal.117)
Yudi Latif secara mendalam menganalisa makna-makna di dalam pancasila, buku yang ditulisnya layak kita jadikan rujukan untuk memahami pancasila. Presiden Jokowi pada kunjungan ke Tapanuli Tengah 24 maret 2017 lalu mengatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Mengapa Presiden ikut menambah kebingungan rakyat atas ketidakpahaman. Presiden lupa bahwa negara ini juga banyak diinfiltrasi oleh nilai-nilai agama secara politik.
Adalah benar bahwa Indonesia bukan negara agama ataupun Islam. Tetapi kita tidak boleh tuna sejararah, kita tidak boleh lupa dekrit Presiden 5 juli 1959 yang menyatakan bahwa: Piagam Jakarta menjiwai Undang Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi. Artinya adalah bahwa secara implisit UUD 1945 terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam.
Darimanakah dasar Presiden Jokowi mengatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Agama dan politik tidak bisa dilepaskan dari aktivitas berpolitik di negeri ini!
Presiden dalam hal ini pemerintahan yang ada sekarang harus melihat ke dalam, introspeksi diri sebelum melontarkan dikotomi antara pancasilais dan tidak pancasilais. Negara wajib memberi tauladan kepada rakyat bahwa pancasila bukan sekedar agitasi politik tetapi diaktualisasikan dalam bentuk tindakan secara holistik: ucapan, kebijakan dan target pemerintahan.
Rezim orde baru sudah terlebih dahulu fanatik soal pancasila menurut versinya. Pancasila dijadikan dalih untuk sesuka hati mengelola negara. Rezim saat ini harus belajar dari sejarah, jika tak mampu  mengaktualisasikan pancasila, jangan monopoli tafsirnya untuk mempertahankan simpati publik.
Pembentukan Unit Kerja Presiden Pengamalan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) oleh Presiden semoga bisa bertindak proporsional: mempencasilakan rakyat dan juga mempancasilakan pemerintah. Semoga!

                                                                                                   ———— *** ————–

Rate this article!
Tags: