Jaringan Terorisme dan Kekerasan Atas Nama Agama

Oleh :
Ali Mursyid Azisi
Peneliti Muda Studi Agama-Agama dan Kajian Ekstremisme-Terorisme

Kasus terorisme di Indonesia hingga saat ini mengalami perkembangan dan belum menemukan titik penyelesaikan. Baik dari tindakan pengeboman Gereja, penyerangan aparatur negara, bahkan membunuh orang yang tidak bersalah setiap tahunnya mengalami penyegaran kasus.
Demikian disebabkan oleh pemahaman agama yang dangkal dan menerapkan kekerasan atas nama hukum Tuhan. Bagitu juga tidak segan membantai siapa saja yang tidak sepaham dengannya, meski pun seagama. Tentu demikian merupakan tindakan amoral yang dapat merusak stabilitas keamanan negara dan harmoni bermasyarakat.
Sementara di Indonesia sendiri sendiri, kelompok teroris masih saja bergerak dan memberikan sinyal bahaya untuk warga sipil.
Berdasarkan pernyataan Komjen Pol Boy Rafli Amar selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Desember 2021 lalu saat jumpa pers, setidaknya kelompok teroris yang masih aktif bergerak di Indonesia da diantaranya Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiyah (JI).

Mujahidin Indonesia Timur
Salah satu jaringan teroris yang terbilang bringas adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Mereka bergerak di daerah pegunungan Kab. Poso, Sigi dan Parigi Moutong, Prov. Sulawesi Tenggara. Pasca masa kepemimpinan Santoro yang gugur pada 2016 silam, periode berikutnya kelompok tersebut dinahkodai oleh Ali Kalora yang juga terbunuh 2021 silam.
Seperti halnya yang kita ketahui, kelompok tersebut merupakan ampas dari konflik Poso pada akhir tahun 90-an. Bahkan pasca konflik tersebut, sempat diadakannya kesepakatan damai antar pemuka agama yang pada akhirnya memunculkan tokoh seperti halnya Haji Adnan Arsal (dari kalangan muslim) dan Pendeta Damanik (dari pihak Kristiani).
Akan tetapi, seruan damai itu tidak berlaku terhadap kelompok di bawah pimpinan Ali Kalora waktu itu, Mujahidin Indonesia Timur merupakan sempalan dari jaringan ISIS. Dengan jargonnya memanifestasikan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an, rasa percaya diri begitu tampak dalam diri mereka dalam melegalkan dan menghalalkan pertumpahan darah atas penafsirannya yang sempit. Tentu hal demikian menyisakan bekas sayat terhadap keluarga korban terdampak kekerasan mereka.

Faktor Pemicu Kekerasan
Sebelum melangkah lebih jauh, makna dari kekerasan sendiri merupakan tindak laku kelompok maupun individu yang berdampak pada kerusakan barang ataupun fisik seseorang, baik cedera atau bahkan kehilangan nyawa. Jika ditinjau dari aspek sosiologis, kekerasan dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat kemungkinan disebabkan karena adanya pengabaian nilai sosial serta norma yang disepakati bersama.
Jika dikaji lebih mendalam tentang teori kekerasan, ada beberapa faktor pemicu yang mendorong seseorang terjerumus dalam pemikiran dan tindakan kekrasan. Dalam hal ini dipetakan dalam tiga teori faktor pemicu. Pertama, Faktor Individu: teori ini timbul dari tindak laku agresif individu serta faktor sosial yang kurang mendukung. Seperti halnya stress, kelainan jiwa, psikopat dan lainnya. Pemicu lainnya yaitu faktor budaya, media massa, bahkan konflik internal keluarga.
Kedua, Faktor Kelompok: teori ini menyatakan bahwa seseorang akan membentuk jaringan yang satu frekuensi dengan lebih memprioritaskan persamaan agama, etnis, bahkan ras. Ketika berinteraksi dengan orang lain dan membawa identitas kelompok menjadi sumbu awal terjadinya benturan hingga berujung pada tindak kekerasan. Ketiga, Dinamika Kelompok: teori ini berbicara tentang penyebab kekerasan ditimbulkan dari menurunnya tali sosial dan rasa saling memiliki dalam suatu kelompok.

Kekerasan Apapun Tidak Dibenarkan
Merespon kekerasan yang digencarkan oleh jaringan teroris, ketiga teori tersebut merupakan latar belakang dari tindakan tersebut. Secara individu yang berkaitan dengan faktor kelompok, bahwa tindakan bringas teroris yang membantai warga sekitar Gunung Biru oleh MIT 2021 silam dipicu dari adanya ampas-ampas konflik Poso yang waktu itu melibatkan Muslim dan Kristiani.
Sudah barang tentu demikian secara tidak langsung dalam diri individu terdapat dorongan balas dendam terhadap masa silam. Jika ditilik dari faktor agama (Islam), kekerasan acap kali dimanifestasikan atas dalih memenuhi perintah Allah SWT dengan menyodorkan ayat-ayat peperangan yang menyatakan legal membunuh dan menghardik mereka yang dianggap kafir.
Pemahaman secara tekstualis demikian oleh Khaled Abou El-Fadl dalam karyanya yang bertajuk The Place Toleran in Islam disebut sebagai kelompok puritanis. Dengan ciri-cirinya yang ektrem dan supremasi (merasa paling unggul & benar), selain berkedok bahwa kekekalan dan kesempurnaan Tuhan dapat dimanifestasikan di bumi dengan segala cara (termasuk menghalalkan darahnya), namun mereka juga memiliki kecondongan bergerak dengan embel-embel politik yang acap kali meluapkan nafsunya untuk mendirikan negara khilafah.
Demikian, tidak jauh dari kelompok Khawarij yang dahulu menggencarkan hal senada. Seiring berkembangnya zaman, kelompok Islam ekstrem Al-Qaeda di bawah pimpinan Osamah bin Laden, pada akhirnya diaspora ke penjuru dunia bahkan Indonesia.
Tidak heran jika MIT dan sejenisnya ditetang keras di Indonesia yang notaben masyarakatnya multikultural, multiestnis, dan beragam pemeluk agama. Pasalnya, model ber-Islam ala mereka hanya mengandalkan teks-teks ayat, ahistoris, dan menafsirkan dengan akal.

Al-Qur’an Mengajarkan Kebaikan
Padahal turunnya ayat al-Qur’an dalam catatan historis yang berangsur-angsur itu menempatkan pada konteks/keadaan zaman dan tempat. Namun, oleh mereka pemahaman demikian ditolak mentah-mentah, bahwa teks Qur’an harus termanifestasi, termasuk ayat-ayat pembunuhan. Bahkan melangkahi tatanan norma sosial dan syariat agama yang secara luas mengusung tindakan menjaga hubungan baik antar sesama.
Faktanya, kandungan mayoritas al-Qur’an merujuk terhadap kewajiban moral umum seperti halnya kebaikan, keadilan, rahmat bahkan cinta kasih. Memang dalam mendefinisikan hal ini al-Qur’an tidak secara jelas secara teks, namun menggunakan makna tersirat yang juga memiliki keterkaitan redaksi dengan kewajian moral sebagaimana di atas. Seperti halnya perintah agar membumikan hal-hal baik, dalam al-Qur’an penggunaan istilah “yang baik” menggunakan redaksi “ma’ruf” dengan arti segala apa pun yang dikenal mengandung unsur kebaikan.
Kemudian juga penggunaan redaksi ihsan dalam memaknai kebaikan yang secara bahasa berarti meningkatkan dan mempercantik. Namun peningkatan serta kecantikan dalam hal ini hanya dapat memiliki makna dalam konteks praktik sosiologis dan pemahaman tertentu. Bahkan isu keniscayaan keragaman, toleransi dan etika keberagamaan begitu mudah kita temui di dalamnya seperti halnya penggalan ayat berikut:
“Wahai manusia, Tuhan telah menciptakan Anda dari pria dan wanita dan membuat Anda menjadi beragam bangsa dan suku sehingga Anda bisa saling mengenal satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dengan begitu, kekerasan atas nama agama sebetulnya merupakan hal yang tidak dilegalkan oleh Tuhan sendiri, justru merupakan hal yang begitu dicekal. Bentuk implementasi firman Tuhan dalam al-Qur’an pada hakikatnya menghimbau manusia sebagai pemimpin di muka bumi untuk menerapkan cinta kasih, perdamaian, keadilan, dan menjamin hak-hak tiap individu.

———– *** ————

Tags: