Jatah Pupuk Subsidi untuk Jatim Kian Turun

Anggota Komisi B DPRD Jatim, Subianto

PRD Jatim, Bhirawa
Carut marut masalah pupuk yang tak juga ada titik terang ditengarai akibat adanya kebijakan yang tidak jelas dan tidak tegas. Jika tidak segera dibenahi bakal menjadi masalah yang tak kunjung ada solusinya.

Anggota Komisi B DPRD Jatim, Subianto mengatakan soal pupuk itu jelas karena tidak ada kejelasan yang konsisten dari pembuat kebijakan dari pusat hingga daerah. “Masalah pupuk itu unik. Berliku dan tidak jelas,” kata Pria yang akrab disapa Pak Bi ini, Kamis (1/12) kemarin.

Salah satu contohnya kata Pak Bi adalah banyaknya program untuk petani yang tidak diimbangi dengan konsistensi sesuai kebutuhan di lapangan.

“Misal nih ada program peningkatan produksi petani, secara itung itungan misal butuh 7 juta Ton pupuk. Lah prakteknya cuman di beri 30 persen. Mana bisa optimal, itu kan gak konsisten dengan program. Ini program kan gak ada dukungan dari pihak penyedia pupuk,” kata pria asli Kediri ini.

Tidak sampai disitu saja, jatah 30 persen itu juga secara praktek pembagiannya kayak hukum rimba, siapa yang kuat yang punya modal dia yang dapat pupuk subsidi,

“Lah yang duluan datang punya duit langsung di kasih sama kios. Harusnya kan ya karena jatahnya 30 persen, ya semua dapatnya 30 persen. Sehingga yang datang terakhir tetap dapat jatah. Tapi begitulah pasar,” lanjutnya.

Ironisnya, lanjut dia, Dinas Pertanian seolah tutup mata dengan kondisi ini. tidak ada sosialisasi dan membiarkan kios yang menjadi mitra Pupuk Indonesia mengatur sendiri sesuai kebutuhan pasar, bukan atas jatah petani seharusnya.

“Mestinya ya ikut mengatur mekanisme agar semua dapat. Bukan sesuai siapa yang datang duluan,” tambahnya. Subianto menjelaskan makin lama jatah pupuk subsidi ke Jatim Makin menurun dari tahun ke tahun.

“Saya juga gak paham ya kenapa makin turun. Ya okelah dkurangi tapi ya pelan pelan, bukan mengurangi dengan drastis kayak gitu. Jatim ini makin ke sini makin turun jatahnya. Tahun depan ini bahkan hanya dapat alokasi sekitar 1,6 juta ton. padahal kebutuhan ideal kita 2,7 juta ton. Sebelumnya Jatim masih memiliki jatah sekitar 2,3 juta ton. Padahal kan ada prediksi di tahun 2023 bakal terjadi resesi pangan. Harusnya dinaikkan, ini malah turun,” tanya Pak Bi.

Politisi Partai Demokrat dengan slogan “JATIM BiSa” ini menawarkan solusi agar petani di Jatim dapat pupuk sesuai kebutuhan, salah satunya dengan realokasi serapan pupuk di wilayah lain.

“Misal ada provinsi yang ternyata pupuk subsdi ini tidak terserap, maka bisa diberikan ke Jatim. Agar efektif diberikan pada petani yang membutuhkan,” usulnya.

Jika tidak mungkin, maka Jatim harus kreatif dengan membuat tehnologi pembuatan pupuk organik, “Namanya Alat Pembuat Pupuk Organikk atau APPO. Dinas pertanian mengganggarkan program pembuatan APPO ini secara massal. Kenapa harus Dinas ? karena biayanya lumayan besar untuk membuat satu alat APPO ini sekitar 60-80 juta rupiah,” ungkapnya.

Subianto mengingatkan bahwa kondisi tanah yang selalu diberi pupuk buatan dengan bahan kimia (anorganik), akan berpengaruh pada kondisi kesuburan dan kandungan organik tanah.

“Kalau sudah berkurang ya artinya hasilnyas berkurang. Maka pupuk organik itu solusi agar hasil panen bagus. Kalau pupuknya gak diperhatikan, petani tidak mampu membeli pupuk maka tahun depan resesi pangan bisa saja terjadi,” pungkasnya. [geh.dre]

Tags: