Jati Diri Solusi Hadapi Pandemi

Oleh :
Lukman Hakim
Dosen Komunikasi dan Tim Satgas Pencegahan Covid-19 IAIN Kediri

Suguhan berita penolakan terhadap jenazah pasien Covid-19 dan tenaga medis yang hendak dimakamkan sempat mewarnai pemberitaan di media massa. Sungguh, nurani terasa tersentak ketika pahlawan kesehatan yang gugur itu terpaksa harus dipindah berkali-kali hanya untuk mencari tempat peristirahatan terakhir. Fakta yang sungguh menyesakkan dada dan membesit harkat kemanusiaan.
Sejak pertama kali pemerintah mengumumkan pasien Covid-19, tenaga medis tak henti-hentinya bekerja keras dan berada di garda terdepan. Meski tahu resiko tertular sangat tinggi bahkan dapat menyebabkan kematian, mereka tetap setia menjalankan tugas kemanusiaan. Bukan karena mengharap materi apalagi haus pujian, semua itu dilakukan berangkat dari derajat tinggi keikhlasan.
Meski sudah mempertaruhkan nyawa sekalipun, masih ada yang tega menebar nestapa dan berlaku sewenang-wenang.
Penolakan, intimidasi, pengucilan hingga penutupan akses jalan adalah beberapa di antaranya. Mereka menerjemahkan physical distancing secara eksesif sehingga memunculkan provokasi bahkan melahirkan eksklusi sosial.
Kondisi ini selanjutnya menimbulkan rasa khawatir berlebih yang pada titik tertentu menutup mata hati dan merusak logika.
Padahal tidak sulit rasanya untuk memahami bahwa seluruh jenazah positif Covid-19 dipastikan telah melalui proses pemulasaran sesuai protokol medis. Dengan prosedur yang sangat ketat tersebut tidak ada lagi celah penularan. Jika masih ada penolakan dengan alasan yang sama, kita yang lebih mengerti perlu memberi pencerahan. Bukan karena ingin menunjukkan kepintaran, namun untuk menghentikan kejahilan.
Tidak hanya itu, stigma negatif secara serampangan juga disematkan pada keluarga dan pasien positif Covid-19. Mulai dari sebutan sumber virus, adzab akibat dosa hingga yang paling menyakitkan adalah dikucilkan bahkan ditolak tinggal di permukiman sendiri. Mereka menghadapi beban ganda, dihantui Covid-19 setiap waktu dan cibiran menyakitkan dari tetangga sekitar.
Persoalan lain yang sedang menggejala di masa pandemi ini adalah fenomena penimbunan dan panic buying komoditas tertentu seperti kebutuhan pokok, hand sanitizer dan masker. Akibatnya, selain membuat harga melambung tinggi, juga mendorong kelangkaan di pasaran. Tindakan yang hanya ingin menyelamatkan diri sendiri dan cenderung tidak peduli merupakan alasan pragmatis mengapa ini terjadi. Padahal pada waktu bersamaan ada jutaan orang lain yang bukan saja sulit menemukan dan menjangkau, untuk membeli pun tak lagi mampu.
Individualisme
Fenomena individualisme yang terjadi memperjelas fakta bahwa sebagian masyarakat mulai cemas dan panik. Virus yang terus menyebar ke seantero negeri benar-benar menjadi ujian kematangan jati diri sebagai sebuah bangsa. Kekayaan nilai luhur berupa tenggang rasa, semangat kekeluargaan, gotong royong dan solidaritas layak didiskusikan kembali.
Nilai-nilai itu seakan tercerabut dari karakter asli masyarakat Indonesia, tergantikan oleh egoisme semu yang tak tentu arah.
Tatanan sosial yang semakin tergerus akibat kegelisahan dan ketakutan akhirnya berujung pada penolakan, intimidasi hingga monopoli komoditas perlu menjadi perenungan bersama. Meski secara kodrati manusia memang memiliki sisi negatif yang oleh filsuf asal Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karyanya De Cive diistilahkan dengan homo homini lupus. Manusia bak serigala bagi manusia lain. Secara filosofis, sifat serigala yang muncul dalam diri manusia hari ini membuat tembok pemisah keberbedaan antara aku dan kamu. Aku yang masih sehat dan kaya berbeda dengan kamu yang menjadi sarang virus dan tak mampu.
Sebaliknya, filsuf Indonesia Nicolaus Driyarkara (1913-1967) dalam buku yang ditulis Sudiarja dkk (2006) berjudul “Karya Lengkap Driyarkara” menawarkan konsep yang lebih humanis. Driyakara mengubah lupus yang bermakna serigala menjadi socius yang berarti sahabat, saudara atau teman. Secara lengkap ia menyebutnya dengan homo homini socius. Manusia merupakan sahabat bagi manusia lainnya.
Melalui komunikasi, Driyarkara menyebut, manusia terhubung untuk membentuk budaya bersama sehingga lahir sikap saling membangun, memelihara dan menjaga. Dengan kata lain esensi manusia sebagai makhluk sosial seutuhnya adalah memanusiakan manusia, memperluas jaring sosial dan memperkuat solidaritas. Pada titik ini, peradaban manusia terus bergerak tumbuh seiring dengan bunga keserasian dan semerbak kebersaman.
Teladan
Sepanjang lintasan sejarah pertiwi, kisah-kisah keteladanan mengenai kebersamaan dan kerukunan telah ditunjukkan oleh para pendahulu. Raja Hayam Wuruk berkat laku peduli dan berusaha merasakan kesengsaraan rakyat menjadi kunci sukses dalam pemerintahannya. Begitupula yang dilakukan Maha Patih Gajah Mada, kerena kepiawaiannya mengelola perbedaan ia dijuluki pahlawan persatuan nusantara. Khuluk keteladanan yang sama ditunjukkan Walisongo melalui kerendahan hati, perhatian dan kedekatan dengan kaum lemah.
Sekelumit sejarah penting itu menunjukkan nenek moyang kita sesungguhnya telah mewariskan nilai luhur dan keadaban yang tinggi. Cinta, ketulusan dan solidaritas merupakan perasan saripati dari keteladanan yang menjadi jati diri bangsa. Tidak begitu berlebihan jika Indonesia dikenal dunia sebagai the land of smiling people. Julukan yang tidak datang secara tiba-tiba melainkan hasil akumulasi dari keramahan dan kebaikan yang selama ini di tanam.
Di tengah krisis yang entah kapan akan berakhir ini, nilai luhur jati diri bangsa perlu digugah dan ditumbuhkan kembali. Kultur kolektivitas interdependensi masyarakat menjadi kunci utama menghadapi pandemi. Tanpa hal itu alih-alih menahan penyebaran, virus korona akan terus berkembang biak menyebar tak terkendali.
Beragam aksi kemanusiaan berbasis sosial ekonomi yang belakangan ini lahir dari kearifan lokal menjadi bukti masih ada secercah harapan. Mulai konser penggalangan dana sampai jaminan sosial warga berupa bantuan makanan, solidaritas pemotongan gaji, kampanye peduli sehat dan dukungan pada pasien serta tenaga medis. Semangat kebaikan itu yang mestinya ditularkan dan dilipatgandakan.
Gelombang solidaritas dan gotong royong akan melahirkan semangat baru untuk para pasien positif, tenaga medis dan masyarakat menengah ke bawah yang terdampak. Bukan saja imun tubuh yang terus membaik sehingga membantu proses pemulihan, namun juga kebutuhan pokok masyarakat terdampak untuk menyambung hidup lebih terjamin.
Hal ini akan membantu memangkas masa krisis. Sebaliknya, egoisme dan individualisme justru memperpanjang masa pandemi. Mari sadari dan segera kembali pada jati diri.

—————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: