Jatim Agro, Strategi Sejahterakan Petani dan Nelayan

Dr Lia Istifhama MEI

Refleksi Hari Hutan Sedunia 21 Maret 2021

Oleh :
Dr Lia Istifhama, MEI
Ketua III STAI Taruna Surabaya

Jatim Agro menjadi salah satu program unggulan dari sembilan program yang dituangkan lewat Nawa Bhakti Satya oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa bersama Wagub Emil Elestianto Dardak. Program yang digagas kedua pemimpin Jatim tersebut merupakan program khusus untuk memajukan sektor pertanian, peternakan, perikanan darat dan laut, kehutanan, perkebunan. Harapannya tentu akan dapat menyejahterakan para petani dan nelayan di Jatim.

Membincangkan konsep Jatim Agro semakin menemukan relevansinya saat direlasikan dengan momentum Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada 21 Maret mendatang. Bahwa salah satu strategi untuk mewujudkan program Jatim Agro tersebut adalah dengan menjadikan sungai dan hutan sebagai sumber kehidupan. Diharapkan, hal ini mampu menguatkan fungsi hutan sehingga sekaligus upaya menyelamatkan eksistensi hutan dan penguatan potensi hutan bagi para petani hutan.

Di Jawa Timur sendiri, potensi hutan yang dijuluki sebagai paru-paru dunia, cukup besar, yaitu seluas 1.354.321,32 hektar pada tahun 2017. Peruntukkan lahan tersebut dibagi antara Perum Perhutani Divre Jawa Timur, Balai Besar KSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Timur, dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur.

Luas kawasan hutan di Jawa Timur yang saat ini masih mencapai 28,35% dari luas daratan di Jawa Timur tersebut, telah memberikan dukungan dan manfaat yang besar pada kepentingan kehidupan masyarakat dan perekonomian makro maupun mikro khususnya di Provinsi Jawa Timur, terutama dalam industri kayu. Hal ini penting mengingat Provinsi Jawa Timur merupakan merupakan konsumen utama bahan baku kayu sehingga produksi kayu lokal perlu dikuatkan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.

Meski dalam kenyataanya, perkembangan pola gaya hidup masyarakat menjadikan banyak hutan yang tidak lagi ‘selebat’ sebelumnya. Persoalan kebakaran hutan dan penebangan kayu masih terjadi sehingga menghambat optimalisasi produksi kayu. Sebagai contoh, produksi dari kawasan Perum Perhutani hanya mencapai 427.332,21 m3 dan produksi kayu yang berasal dari Hutan Rakyat sebanyak 2.924.265,47 m3. Sedangkan kebutuhan kayu di Jawa Timur per tahun sekitar + 4,7 juta m3. Dengan begitu, terjadi kelebihan demand (permintaan) dibandingkan supply (ketersediaan) kayu, sehingga diperlukan usaha ekstra untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan kayu, salah satunya melalui intensifikasi produksi hasil hutan kayu.

Urgensi peningkatan jumlah kayu merupakan kebutuhan yang secara nyata tengah dihadapi. Terlebih di Jawa Timur, industri hasil kayu hutan cukup dominan, yaitu sebanyak 1.724 unit usaha yang tersebar hampir diseluruh wilayah kabupaten/kota. Selain hutan dibutuhkan sebagai penghasil kayu, fungsi lainnya tidak bisa diabaikan. Diantaranya bahwa hutan memiliki fungsi sebagai penjaga ekosistem, penopang penyediaan air bersih, menurunkan pencemaran udara, pengendalian suhu dan kelembaban. Namun nyatanya ‘tidak cukup sakti’ untuk membuat konsensus selamatkan hutan secara nyata dan tegas.

Terbukti, banyak terjadi kerusakan hutan akibat perambahan, illegal logging, kebakaran hutan dan terbentuknya lahan kritis di luar kawasan hutan yang sangat luas berpotensi memicu terjadinya banjir, tanah longsor, hingga tsunami. Seharusnya, semua dampak kerusakan hutan dipahami sebagai ancaman serius jangka panjang bagi keselamatan manusia dan suistanability proses-proses pembangunan.

Terlebih, fakta memang menunjukkan bahwa hutan Indonesia kini menghadapi ancaman yang serius. Dikutip dari kbr.id, tim peneliti dari Duke University pada 2019 mengungkapkan bahwa tingkat deforestasi Indonesia masih tinggi sehingga mengundang kekhawatiran global. Salah satu bentuk deforestasi atau penghilangan hutan adalah dengan menebang pohon demi pembukaan lahan baru untuk keperluan industri. Harus diakui bersama, bahwa memang semakin banyak terjadi pengalihan lahan hutan sebagai perumahan, pertambangan, maupun alih fungsi lainnya yang tidak mendukung upaya konservasi alam.

Ikhtiar-ikhtiar menyelamatkan hutan tentu menjadi tanggung jawab semua pihak agar lahan-lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk hutan, tidak semakin tergerus kepentingan pihak-pihak tertentu. Diperlukan sinergitas multistakeholder untuk membuat satu visi yang sama, yaitu ‘selamatkan hutan’ sebagai bentuk common property resources, kesadaran untuk menempatkan hutan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama.

Penyelamatan hutan meliputi banyak hal, mulai dari aspek konservasi alam, perlindungan, penyelamatan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), dan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan. Tentunya, konservasi alam semestinya tidak dipahami sebatas pemanfaatan lahan yang sekilas terlihat manfaatnya sebagai bentuk pelestarian alam dan pemenuhan bahan baku kaya saja. Melainkan, banyak fungsi produktif dari hutan, diantaranya tanaman-tanaman yang dapat diolah sebagai food and beverages, dan destinasi wisata. Hutan hujan tropis misalnya, bukan hanya dapat ditanami pohon pinus, jati, mahoni, sengon, meranti, namun juga berbagai macam tanaman seperti anggrek, bintaro, nirih, teruntum, dan sebagainya. Kesemua hasil hutan akhirnya tidak terhenti pada industri olahan kayu, melainkan bisa juga sebagai bahan penting pengolahan kosmetik dan cat melalui getah pinus, minyak kayu putih melalui destilasi uap ranting dan daun segar, lebah madu, porang, dan berbagai varian empon-empon yang banyak dikembangkan melalui budidaya pola tumpangsari.

Langkah inovatif juga perlu ditingkatkan untuk mendukung percepatan hasil hutan. Diantaranya menggalakkan sumber benih pohon sengon yang telah dilakukan Dinas Kehutanan Jatim dan penebaran benih pohon dengan ketapel untuk menjangkau wilayah dengan sulit dijangkau seperti lereng gunung. Inovasi lainnya adalah bagaimana menyelamatkan hasil hutan sebagai produk UMKM.

Berbicara produk UMKM, maka peran masyarakat lokal di sekitar hutan yang berpengaruh terhadap UMKM. Hal ini sesuai fungsi keterlekatan ekonomi bahwa sumber daya alam yaitu hutan dapat berfungsi sebagai lahan ekonomi produktif masyarakat seperti yang selama ini telah terbentuk dalam lembaga KTH (Kelompok Tani Hutan) dan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan).

Mubyarto (1992) menjelaskan bahwa hubungan masyarakat lokal dengan hutan merupakan hubungan yang bersifat fungsional ekologis. Hal ini berarti perilaku masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup merupakan bagian dari sistem budaya mereka. Bagi mereka hutan pada hakekatnya merupakan “ketahanan pangan” (food security). Dengan begitu, kearifan lokal semakin kuat melalui upaya masyarakat lokal mengembangkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu.

Dari ulasan tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa selamatkan hutan juga bagian dari selamatkan masyarakat lokal, dan sebaliknya. Berbekal sense of belonging, maka masyarakat lokal-lah yang akan lebih berkomitmen menyelamatkan hutan dari resiko deforestasi. Tentu, hal tersebut akan naif jika tidak ada dukungan efektif dari pemerintah maupun stakeholder lainnya. Namun bukan berarti kita yang notabene bukan masyarakat lokal sekitar hutan dapat terbebas dari tanggung jawab menjaga hutan. Penyelamatan hutan terutama dari resiko deforestasi, akan mustahil jika masih ada masyarakat yang kehilangan rasa cinta pada alam, sedangkan situasi alam saat ini adalah asset alam yang akan dirasakan oleh anak cucu kita. Dan pada akhirnya, upaya penyelamatan hutan harus dimulai dari kita dengan turut menjaga pelestarian hutan. Lakukan kebaikan pada kelangsungan hutan, meski dengan cara yang sangat sederhana.

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az Zalzalah: 7-8).

———- *** ———–

Tags: