Jatim Siapkan Kebijakan Kembangkan Industri Hasil Tembakau

Menyiapkan pengembangan IHT dan kawasan industrinya, Pemprov Jawa Timur melakukan studi banding ke kawasan Industri Hasil Tembakau Kudus Jateng. Syudi Banding dilakukan langsung oleh kadisperindag, Drajat Irawan, kadisbun , karyadi dan Kabiro Perekonomian Jatim, Tiat S. Suwardi.

Pemprov, Bhirawa
Sebagai salah satu provinsi penghasil tembakau dan industri hasil tembakau terbesar di Indonesia , masih terbuka lebar peluang pengembangan sektor Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) masih sangat terbuka lebar.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jatim, Drajat Irawan, mengatakan pembentukan KIHT sebagaimana Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa adalah untuk meningkatkan pelayanan, pembinaan industri, dan pengawasan terhadap produksi dan peredaran hasil tembakau dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian daerah.
Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), lanjut Drajat KIHT merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana, serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau yang disediakan, dikembangkan, dan dikelola oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau.
“Jadi pengembangan KIHT di Jatim sangat potensial dilakukan mengingat produk tembakau maupun industri tembakaunya cukup besar sampai saat ini. Sejumlah kebijakan sektor hilir sampai hulu telah kita rancang untuk pengembangan industri tembakau ini,” kata Drajat, Minggu (21/2).
Untuk merealisasikan KIHT di Jatim, ungkap Drajat , pekan kemarin Pemprov Jatim yang diwakili oleh Kadisperindag Jatim, Drajat Irawan, Kadisbun Jatim, Karyadi, serta Kabiro Perekonomian Jatim, Tiat S. Suwardi melakukan studi banding ke KIHT Kudus.
KIHT Kudus, lanjutnya diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan diantaranya adalah IKM tidak harus memiliki luas paling sedikit 200 meter persegi, serta penundaan pembayaran cukai selama 90 hari sejak pemesanan pita cukai dengan jaminan bank.
“Jika dilihat dari jumlah perusahaan industri rokok dan temuan peredaran rokok ilegal oleh Bea Cukai, maka daerah yang potensial untuk pembentukan KIHT di Jatim antara lain adalah Pamekasan, Pasuruan, dan Malang,” urai Drajat menjelaskan.
Drajat menambahkan bahwa pembentukan KIHT di wilayah Jatim selain dapat menciptakan lapangan pekerjaan, juga dapat mempermudah pengawasan. “Dari aspek legal, KIHT diupayakan untuk mendorong pengusaha-pengusaha yang belum memiliki legalitas agar bergabung dan dapat menjalankan usaha yang sah,” imbuhnya.
Drajat menyampaikan bahwa pembangunan KIHT sejalan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) serta program Ibu Gubernur Jatim yakni Jatim Bangkit, dikarenakan KIHT diperuntukkan untuk mendukung IKM/UKM yang merupakan jenis usaha terbesar di Indonesia, sehingga nantinya dapat mendorong tumbuhnya perekonomian, yang dimulai dari daerah sampai nantinya akan membantu perekonomian nasional.
“Segera kita lakukan tindak lanjut dengan melakukan koordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Perindustrian, Perdagangan, Perkebunan serta instansi terkait untuk membahas rencana pembentukan KIHT dan penekanan peredaran rokok ilegal di Jatim,” pungkas Drajat.
Di Jatim, industri pengolahan tembakau menghasilkan cukai sebesar Rp. 104,56 triliun atau setara 63,42 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional yang mencapai Rp. 164,87 triliun. Menurut catatan Dirjen Bea Cukai, di Jatim terdapat 425 perusahaan pengolahan tembakau yang mempekerjakan lebih dari 80 ribu tenaga kerja.
Drajat menambahkan bahwa industri pengolahan tembakau juga menyumbang devisa melalui net ekspor yang surplus di Jatim selama tahun 2017 – 2019 kisaran nilai USD 227,36 juta sampai USD 243,89 juta. “Dari sisi hulu, Jatim pada tahun 2019 menghasilkan 132.648 ton tembakau dan menempati urutan pertama penghasil tembakau nasional (disusul Jateng, NTB, dan Jabar),” urai Drajat menjelaskan.
Di sisi lain, pertanian tembakau menempati urutan komoditas perkebunan kedua terbesar di Jatim dengan jumlah petani lebih dari 370 ribu orang, di mana perkebunan tembakau sekitar 99,71 persen diusahakan oleh petani rakyat, bukan korporasi.
Sementara Disbun Jatim juga tengah menyiapkan inovasi berupa Sakera Tembakau. Adanya sakera tembakau, berlatar belakang tembakau di pasaran dengan harga murah, sehingga tidak terbeli pabrikan lain.
Untuk itu, perlu ada sinergikan antara gudang pembelian pabrik dengan kelompok petani. “Setidaknya ada jaminan pasar dan mengikuti kualitas,” jelas kadisbun jatim, Karyadi.
Untuk Sakera Tembakau, lanjutnya replikasinya berada di lokasi sentra tembakau seperti seperti kabupaten di kepulauan Madura, lalu ada Jember, Bojonegoro, Bondowoso, atau Situbondo. Untuk tembakau sendiri, biasanya tanam mulai bulan Juni. “Pada bulan itulah Disbun Jatim juga mengumpulkan pabrikan bersama petani untuk membahas kebutuhan dan pembinaan bersama sama. Kami di provinsi juga siap memberikan bantuan pupuk mendukung kebutuhan pabrikan,” paparnya. [gat.rac]

Tags: