Jatim Tanggung Beban Berat Pengelolaan Pendidikan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Wajar 12 Tahun Baru 57 Persen, Sebaran Guru Tak Merata
Dindik Jatim, Bhirawa
Kembali mendapat tanggung jawab mengelola pendidikan sesungguhnya bukan perkara enteng bagi Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim. Segudang persoalan sudah menanti untuk mendapat respon secepat-cepatnya. Mulai dari perluasan akses, hingga kualitas pendidikan yang masih belum merata.
Di antara deretan masalah itu, wajib belajar (Wajar) 12 tahun yang harus mendapat perhatian serius. Sebab, Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan menengah di Jatim masih menunjukkan angka 57 persen. Artinya, masih ada 43 persen anak usia sekolah yang tidak mengakses pendidikan menengah. Keadaan ini jauh tertinggal dengan APM jenjang pendidikan dasar SD yang sudah mencapai  94,9 persen dan SMP 84,2 persen.
“Karena itu, konsentrasi kita ketika sudah resmi mendapat wewenang mengelola SMA/SMK mendatang, wajar 12 tahun harus diutamakan untuk ditingkatkan,” tutur Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman, Minggu (1/5).
Sejauh ini, lanjut Saiful, tidak hanya akses pendidikan, melainkan kualitas pendidikan juga belum merata. Ada satu daerah yang kualitasnya sangat bagus, ada lagi daerah lain yang masih sangat buruk. “Pemerintah pusat sudah memikirkan hal itu. Karenanya, UU No 23 Tahun 2014 merupakan solusi yang tepat untuk mencapai pemerataan pendidikan,” kata dia.
Tidak hanya partisipasi yang rendah, sebaran guru di Jatim pun menjadi problem. Saat ini, rasio guru dan siswa SMA/SMK telah mencapai 1 : 12. “Rasio guru seperti itu sebenarnya sudah paling ideal. Tapi kenapa fakta di lapangan guru masih kekurangan,” kata dia.
Kondisi ini, lanjut dia, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu ada usaha untuk menata sebaran guru agar tidak berkumpul di satu kota atau satu daerah saja. “Kita akan petakan lagi nanti berapa kebutuhan guru di masing-masing daerah,” kata Saiful.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi E DPRD Jatim Suli Daim. Menurutnya, tujuan utama dari pelimpahan pengelolaan pendidikan ini adalah untuk pemerataan pendidikan. Kendati demikian, bukan berarti daerah tidak bisa berperan. Sebab, selama ini meski sekolah dikelola oleh kabupaten/kota tetap ada sharing dari provinsi. “Kita masih menghitung seberapa besar kebutuhan anggaran untuk pendidikan Jatim nanti,” kata dia.
Daerah, lanjut Suli, tetap bisa mengalokasikan anggaran demi peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya.
Lebih lanjut Suli menerangkan, APBD Jatim tahun ini sebesar Rp 23 triliun. Sudah menjadi ketentuan, 20 persen dari APBD itu harus dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Namun, anggaran fungsi pendidikan itu melekat pada berbagai satuan kerja, tidak hanya Dindik Jatim. “Karena itu, sebagai konsekuensi tangung jawab baru mengelola pendidikan. Anggaran juga harus dioptimalkan murni untuk pendidikan,” tutur Suli.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim Ichwan Sumadi menuturkan sampai saat ini Jatim memang kekurangan guru. Namun, kekurangan itu utamanya terjadi karena status. Tercatat sampai saat ini masih ada 18 ribu guru di Jatim yang statusnya masih honorer. Sedangkan pemerintah pusat tidak segera mengangkat status mereka. Sebaliknya, moratorium kembali dilakukan. “Kita sedang perjuangkan ini. Kita berharap agar guru tidak termasuk dalam moratorium itu,” kata dia. Selain status, kekurangan guru juga terjadi terhadap guru mata pelajaran. Sebab, ada satu mata pelajaran tertentu yang gurunya berlebih namun ada pula mata pelajaran yang gurunya kekurangan. “Kalau untuk guru kelas jenjang SD memang relatif sudah tercukupi,” pungkas dia. [tam]

Tags: