Jatuh Bangun Ketua STIKOSA AWS Raih Gelar Doktor Ilmu Komunikasi

Ketua STIKOSA AWS Dr Ismojo Herdono saat ditemui di ruang perpustakaan dan arsip koran di kampus STIKOSA.

Alami Musibah Jelang Ujian, Gunakan Komputer Milik Pedagang Mie Ayam
Kota Surabaya, Bhirawa
Usia bukan menjadi halangan bagi siapapun untuk tetap semangat menempuh pendidikan. Ismojo Herdono contohnya, setelah lima tahun menempuh program doktoral di Universitas Padjajaran, Bandung, akhirnya dia berhasil lulus sangat memuaskan dengan IPK 4,00. Tidak mudah untuk mencapainya, berbagai kendala sempat menjadi penghalang hingga nyaris saja putus asa.
Waktu menuju ujian tertutup program doktor Ismojo Herdono tinggal sepuluh hari lagi. Disertasi yang dia kerjakan sudah hampir selesai. Keyakinan sudah sangat tinggi, sepuluh hari lagi Ismojo akan menerima gelar doktor yang sudah ditunggu sejak lima tahun terkahir. Tapi apa yang terjadi, penelitian yang dia kerjakan seketika raib bersama hampir seluruh bekal yang dia punya selama tinggal di Bandung.
“Saya kemalingan, laptop, dompet, handphone hilang semua. Celana yang menggantung di kos itu juga sempat diambil pencuri. Tapi akhirnya saya temukan dibuang di depan kamar,” kenang Ismojo.
Saat itu, keyakinan yang sudah hampir seratus persen lenyap seketika. Ismojo kebingungan apa yang harus dia lakukan. Untuk menghubungi keluarga saja susah. “Tapi setelah saya temukan celana itu, saya juga menemukan flashdisk ada di dalam sakunya. Saya berfikir ini satu-satunya harapan untuk mencapai sukses,” ungkap dia.
Di dalam flashdisk itu, Ismojo masih menyimpan berkas disertasinya. Meski tidak selengkap yang ada di dalam laptop, berkas tersebut cukup menolong. “Kira-kira tinggal 80 persen disertasi yang di flashdisk,” tambah dia. Dengan sisa-sisa harapan itu, Ismojo yang nyaris putus asa mencoba bangkit. Mencari komputer yang bisa digunakan untuk mengakhiri tulisan disertasinya. Sempat akan menyewa, ternyata batal juga karena laptop yang akan disewa belum siap pakai. Sementara penguji dari kampus sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
“Akhirnya saya mendapat pertolongan dari penjual mie ayam langganan saya. Dia bersedia meminjamkan komputer anaknya dan langsung saya boyong ke kos. Dari situ, perjuangan menyelesaikan disertasi kembali dimulai. Rasanya seperti sedang perang,” tutur Ismojo lalu tersenyum.
Setelah berjuang keras, pada 16 Agustus lalu Ismojo akhirnya dapat menyampaikan pertanggungjawaban akademik dihadapan tujuh promotor dan oponen ahli. Mereka adalah Dr Dadang Rahmat Hidayat, Prof Dr Hj Atie Rachmiatie, Dr Siti Karlinah, Prof Deddy Mulyana, Dr Eni Maryani, Prof Dr Judhariksawan dan Prof Dr Mahfud Arifin. Dihadapan penguji tersebut, Ismojo menguraikan disertasi tentang Dinamika TV Digital Sebagai Wujud Demokratisasi yang diangkat dari empat TV lokal di Surabaya.
“Saya mengambil sampel dari SBO TV, TV 9, JTV dan Surabaya TV. Dari beberapa televisi itu saya mencoba mengaitkan dengan kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) terkait dinamika migrasi televisi analog ke digital,” jelas Ismojo.
Fakta di lapangan, jelas Ismojo, menunjukkan dinamika proses migrasi itu tidak berjalan mulus. Ada problematika terkait regulasi hingga peluang bisnis yang mengancam eksistensi TV lokal ketika harus bermigrasi. “Sebagai regulasi pada Permen Kominfo 22 tahun 2011 yang digugat karena cacat hukum. Ketika sudah cacat, implementasinya akan menimbulkan problem tersendiri,” jelas Ismojo.
Dari pertanggungjawaban tersebut, Ismojo mendapatkan predikat sangat memuaskan. Kendati tidak sampai cummlaude, Ismojo sudah cukup puas mengantongi IPK 4,00. Karena untuk menjadi cumlaude syaratnya adalah lulus tepat waktu. “Saya molor sampai lima tahun karena penelitian sempat terhenti sekitar dua tahun. Waktu itu juga karena ada masalah,” ungkap Ismojo.
Ismojo lalu bercerita mengapa kuliahnya sempat molor. Tahun 2014, awal dia mengerjakan penelitian berjalan lancar. Namun, kabar mengejutkan datang dari anak pertamanya yang sedang menjalani pendidikan di Akademi Angkatan Laut (AAL). “Waktu itu saya langsung down. Saya merasa untuk apa kuliah tinggi kalau anak saya tidak bisa mendapatkan pendidikan yang diharapkan,” tutur Ismojo.
Setelah peristiwa itu, Ismojo berhenti melanjutkan penelitian dan fokus dengan putra pertamanya. Hingga dua tahun berselang, putra Ismojo akhirnya kembali dapat berkuliah di Fakuktas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Setelah cukup lama berhenti, dia sempat agak ragu untuk memulai lagi. “Hingga akhirnya istri saya terus memberi semangat agar saya menyelesaikan disertasi. Saya juga eman-eman, karena sembilan mata kuliah yang sudah selesai nilainya A semua. IPK juga sudah 4,00, masak tidak selesai,” tutur Ismojo bersemangat.
Kendati mimpi menjadi doktor itu sudah dia raih, Ismojo mengaku masih ada perasaan menyesal dalam hatinya. Dia lulus tanpa kehadiran ayah yang selama ini menanyakan momen berharga menjadi doktor. “Bapak saya terus menanyakan kapan saya lulus. Tapi saya selalu beralasan kuliah doktor itu susah. Hingga akhirnya beliau wafat lima bulan sebelum saya wisuda,” ungkap Ismojo.
Di balik penyesalan itu, Ismojo menyimpan harapan bahwa usaha yang diperjuangkannya menempuh pendidikan menjadi motivasi bagi kedua anaknya. Pendidikan tidak hanya harus diperjuangkan sampai usia berapapun, tetapi dalam kondisi apapun. “Maklum, saya dulu dibesarkan dari keluarga sederhana. Kuliah S1 sambil jadi loper koran. Sempat mau dikuliahkan salah satu langganan koran saya, tapi saya menolak. Kondisi-kondisi sulit itu sudah saya lewati dan perlu menjadi pelajaran bagi anak-anak saya,” pungkas Ismojo. [Adit Hananta Utama]

Tags: