Jawa dalam Peribahasa dan Pluralisme

Judul Buku : Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran
Penulis : Iman Budhi Santosa
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, Desember 2021
Tebal Buku : 290 halaman
Peresensi : Slamet Makhsun*
Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga

Tidak jarang, siapa pun yang pernah berkenalan, berkomunitas, atau tinggal cukup lama dengan orang Jawa, umumnya akan menyanjung dengan jujur bahwa orang Jawa itu ramah, religius, terbuka, sopan, lentur, mudah bersahabat, dan senantiasa menghormati orang lain. Tentunya pendapat tersebut bukan isapan jempol, melainkan dapat ditelisik melalui kepribadian, cita-cita, dan pandangan hidup, khususnya kalangan pedesaan yang masih kental nuansa kebudayaannya.

Karakteristik seperti itu bukan perkara yang sebentar, tetapi telah mengalami proses dan dinamika yang panjang. Hal sederhana misalnya terkait penggunaan bahasa Jawa yang memiliki beberapa tingkatan. Setiap tingkatan mencerminkan lawan bicaranya masing-masing sehingga harus benar-benar memperhatikan kosakata yang tepat agar komunikasi yang dibangun sesuai dengan laku kesopanan.

Itu semua diatur sedemikian rupa yang lalu membentuk masyarakat berperadaban dan berbudi luhur. Bukan maksud untuk membentuk kelas-kelas sosial, namun lebih kepada pembentukan akhlak dan tata krama yang baik.

Pun dengan peribahasa yang beredar di masyarakat, orang Jawa juga memiliki segudang kalimat bermakna yang merupakan hasil filosofi kehidupan. Jika dirunut sumbernya, peribahasa milik orang Jawa ini berdasar dari elaborasi nilai agama dengan aturan-aturan luhur-adat.

Misalnya “Bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah”. Kalimat tersebut menandaskan bahwa setiap kebenaran belum tentu tepat ketika diterapkan dalam konteks yang berbeda. Seperti ketika ada seseorang yang membawa makanan, duduk lalu memakannya. Sedangkan di sampingnya ada seseoang yang sedang berpuasa. Maka hal tersebut dinilai benar tetapi tidak pener. Nilai-nilai relativitas seperti itu hingga kini masih dipegang orang Jawa.

Demikian pula ketika menilai kesalahan. Kendati di Jawa ada peribahasa: “Sapa salah bakal seleh”, tetapi kenyataannya belum tentu yang salah bakal kalah. Sebab, antara salah dan kalah memiliki ranah yang berbeda. Salah (dan benar) berpedoman pada nilai, sedangkan kalah (dan menang) lebih ditentukan oleh kekuatan dan strategi yang dimiliki.

Seperti yang dialami oleh para koruptor. Mereka jelas-jelas salah dan menyalahi aturan. Namun pada kenyataannya karena mereka memilki jaringan dan back up yang kuat, maka sama sekali pengadilan tidak berani menyentuh. Artinya, mereka tidak kalah meskipun salah. Mereka berhasil “memenangkan peraturan” melawan penegak hukum dan mampu mengelabui masyarakat dengan berbagai strategi yang dimilikinya.

Lain hal, orang Jawa turut memiliki peribahasa “Becik bisa kewalik”, yang berarti bahwa kebaikan yang diberikan atau diterima oleh orang lain belum tentu berbuah kebaikan yang setara. Sesuatu yang baik dapat saja dianggap buruk, merusak, dan mungkin sekali tidak bermanfaat bagi orang lain seperti tergambar dalam ungkapan “Welas temahan lalis” (belas kasihan membuat sengsara).

Misalnya, pembangunan jalan sangat memudahkan bagi sebagian orang yang memiliki kendaraan. Namun sebaliknya, dengan adanya jalan tersebut, angka kecelakaan meninggi, terjadinya pemanasan global, bahkan polusi udara.

Relativisme yang telah mengakar di Jawa seperti di atas, diam-diam telah menstimulasi tumbuhnya pluralisme. Hal ini tercermin bagi orang Jawa yang dapat bergaul dengan kalangan mana pun.

Sebagai contoh, bagaimana orang Jawa ketika menghormati para priyayi dan ulama di masa lalu. Sebagai kawulo, mereka terbiasa memanggil bandara atau ndara kepada priyayi dan petinggi kerajaan. Sedangkan kepada ulama, cukup ditambahkan kata “kita” sehingga mejadi “bandara kita” yang memiliki konotasi makna dengan kata “maulana” dalam bahasa Arab.

Dengan komunitas Tionghoa pun, orang Jawa juga bersikap baik dan toleran. Mereka tak segan-segan memanggil “babah (bah)” yang berarti bapak, “engkoh (koh)” dan “tacik (cik)” yang kurang lebih sama artinya dengan penyebutan kepada kakak laki-laki dan perempuan.

Memang dalam sejarahnya, patembayatan atau hidup antar etnis sudah dianjurkan sedari dulu. Ini dapat ditemukan dalam Kitab Negarakertagama yang merupakan kitab undang-undang resmi Kerajaan Majapahit.

Di dalamnya, terdapat aturan yang disebut “atulak kadang warga” (menolak keluarganya sendiri) yang isinya sanksi berat dan denda bagi siapa saja yang menolak pendatang baru untuk ikut bermukim atau membuka lahan baru.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: