Jawaban dari Papua

Oleh :
Nuzula Wasima Khurriyati.

Papua menyuguhkan panorama indahnya, dengan segala macam panorama alam yang mempesona. Walaupun Indonesia menyembunyikan mereka dari kehidupan nyata, mereka tetap bersinar terang pada ujung negeri. Menjadi bagian dari mereka adalah impian terbesarku, belajar dan mengajari, melewati dunia dengan tawa sederhana. Sesederhana cita-cita untuk dapat pendidikan yang sempurna. Pendidikan yang mereka harapkan dapat membangkitkan mereka dari intimidasi sosial.
Pendidikan yang mereka harapkan mampu menyinari kegelapan negeri. Mereka tidak banyak menuntut hanya saja mereka mau apa yang didapat anak-anak lain dapat mereka rasakan. Merasakan bagaimana senangnya membaca buku, belajar melalui platform online, atau hanya sekedar bertemu guru dan belajar hal-hal kecil.
Tanpa sadar kita terlalu fokus pada dananya saja nyatanya banyak diantara mereka butuh kita untuk sekedar mengajari membaca. Cukup sederhana bukan, tidak perlu pendidikan tinggi kita yang mau mengajari mereka akan disebut pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa akan melekat sedemikian rupa pada ingatan mereka. Dan kita tidak akan menemukan kepenatan apalagi stress jika di sini, keindahan alam membius tanpa bosannya.
Begitu juga denganku tak terasa 2 tahun menetap di sini membuatku lupa dengan kenangannya. Di sini diri yang dulu hilang perlahan kembali dengan semangat lagi, dan tidak lagi mengingat Bandung. Kenangan dengan segala rasa itu tak ingin ku ulang, ia sudah terkubur dalam pada ingatan. Biar ia terkubur tanpa mampu siapapun membangkitkan rasa itu, rasa senang yang teramat hingga aku lupa ia hanya sementara. Sementara yang meninggalkan kenangan manis luar biasa. Ahhh…. Mengingatnya adalah rutinitas pagi yang juga membangkitkan semangat, ia sudah terkubur tetapi tak sepenuhnya aku masih bisa mengingatnya. Tetapi tak berlebihan hanya mengingat agar pagi ini menjadi istimewa selalu seperti dia yang selalu istimewa untuk dikenang.
Dia istri yang sangat sempurna tidak pernah menuntut banyak. Aku yang waktu itu nekat menikah dengannya hanya yakin ia dikirim Tuhan untukku. Untuk beberapa saat membawaku pada perasaan yang kini melekat hebat pada ingatan.

***

Pagi ini udara Papua menyegarkan, hangat dan tidak terlalu dingin. Membangkitkan aku segera dari tempat tidur dan memulai aktivitas. Aktivitas pagi yang selalu membuatku senang, karena pagi ini aku pasti bertemu dengan anak-anak yang setiap hari selalu antusias dengan pelajaranku. Bahasa Indonesia jadi kegemaran mereka apalagi kalau soal bercerita mereka pasti gembira.
Cerita-cerita mengenai Indonesia selalu aku bacakan pada mereka agar mereka juga tahu betapa besar dan luas negeri mereka. Kalau sudah pukul 10 siang biasa kuajak jalan-jalan murid-murid menyusuri hutan dekat sungai agar suasananya menjadi lebih segar.
Huh.. rasanya lega di jam istirahat meminum kopi khas Papua ini, legit terasa seperti perjuangan para petani kopi ini. Menikmatinya sambal melihat hamparan ladang luas ditemani kerbau-kerbau menunduk mencari makan. (track…) kopi itu mendarat begitu cepat melawan gravitasi bumi. Apa aku bermimpi? Apa khayalan tentangnya muncul di siang ini? Ia..ia..wanita itu?kenapa dan bagaimana bisa. Aku mengajaknya bicara duduk diantara hamparan ladang rumput itu, tapi nyatanya aku tak mampu bicara aku hanya bisa diam begitu lama. Ia juga tidak mengawali pembicaraan atau mengutarakan maksud kedatangannya. Aku kaku dibuatnya aku tak mampu untuk sekedar melihanya apalagi menatapnya.

***

“Bapak guru, teman-teman sudah siap” suara Antonius memecah ke heningan kami. Aku memutuskan untuk berpamitan untuk kembali mengajar anak-anak dan ia mengangguk. Ku lihat mata itu berkaca-kaca seperti akan jatuh air matanya. Sakit sekali melihatnya siapa yang sudah membuatnya terluka dan membawanya ke sini. Anak-anak mulai pulang satu persatu, kelas ku sudah selesai tapi rasanya aku tak mampu menemuinya lagi. Tetapi jika teringat oleh mata itu aku ingin memeluknya erat-erat dan tak mungkin ku lepaskan. “Pak Juna ada wanita mencari bapak di depan” Gani memanggilku huh..yahh aku harus menemuinya. Ia duduk termenung, melihatku ia langsung mengusap air matanya. Sudah ku tebak ia pasti terluka, namun mengapa menemuiku.
(Tok.tok..tok…) “Pak Juna ini saya bawakan makan malam (prakk..) hahh dia siapa pak?”. Ia Ranti rekan kerjaku yang juga bagian konsumsi di sini, yahh.. ia terkejut melihat Alisya dirumah dinasku. Alisya ku bawa kerumah karena dari siang tadi ia tak bicara sepatah kata pun ia hanya menangis. Aku hanya memberinya waktu sampai ia tenang dan menceritakan semuanya. Ku minta Ranti untuk bersedia satu kamar dengan Alisya.
Pagi ini aku bergegas ke kota membantu bidan menuju puskesmas besar. Hari ini ibunya Antonius melahirkan namun harus dilakukan operasi karena bayinya sungsang. Dengan ambulan desa kami membawa pasien dengan cepat. Sekitar pukul 9 pagi kami berhasil sampai di puskesmas besar. Huhh.. perjuangan yang begitu berat hidup dipedalaman, tetapi ini masih belum seberapa ada yang lebih pelosok dari desa yang aku tempati ini. Tidak menunggu lama dilakukan operasi dan lahir bayi dengan selamat. Terpancar wajah bahagia dari bapak ibu dan juga Antonius, ini menjadi bayaran atas kerja keras para relawan seperti kami tawa dan senyum kebahagiaan mereka yang utama.
Aku dan Gani kembali ke desa, dijalan Gani mulai bertanya tentang Alisya. Ia teman ku di sini dan kita juga banyak bercerita satu sama lain. Tapi Alisya tidak pernah ku ceritakan pada Gani, mungkin itu yang membuat ia bertanya pada ku. “apa perempuan itu yang membuat mu ke sini?” Gani bertanya dan aku hanya tersenyum melanjutkan mengendarai motor menuju desa. Dari kejauhan terlihat bersinar sebuah senyuman yang kemarin tersembunyi, ia terlihat bermain bersama anak-anak. Haruskah ku tanya lagi apa yang membawa ia ke sini dan bagaimana ia tahu keberadaan ku.
Ahhh.. kenapa harus hadir kembali Alisya menganggu pikiranku, perasaanku, dan membawa kembali kisah-kisah yang susah payah aku kubur. Engkau begitu indah, cantik, dan penuh sinar tak mungkin aku menolak sinar itu aku lemah menghadapi mu. Sudah sejauh ini aku lari dan segala macam perasaan yang muncul dan tak mungkin kau balas, yang pelan-pelan membunuh jauh aku dari kenyataan. Aku ingin hidup tanpa pernah mengenalmu atau bahkan pernah berjumpa pada suatu masa lalu atau masa depan. Aku ingin hidup tanpa pernah mengingat kenangan demi kenangan kita. Ia perlahan menghampiri ku dengan mata teduhnya ia mulai bercerita Pak Rahman jatuh sakit dan stroke selama 6 bulan ini, ia dan Dio kini sudah selesai, Dio kabur kembali karena Dio tidak mau merawat Pak Rahman. Semua perusahaan mereka berhasil kembali dan pelakunya dipidana dan Pak Rahman ingin bertemu denganku.
Tepat pukul 1 dini hari aku terbang ke Jogja meninggalkan Papua dengan segala keindahannya, jujur aku tak mampu menatap mata itu, saat kemarin ia memegang tanganku aku sadar tangan itu begitu hangat. Tak mampu aku melepaskan mata teduhnya membuat aku lupa segalanya. Tetapi nyatanya aku lari dari semua itu, mungkin hati ini terlalu sakit sampai entah sembuh atau tidak. Kita yang menikah dengan segala perjanjian kontrak membuat aku trauma dengan Bandung. Perjuangan selama 6 bulan menikah begitu melekat pada ingatan, aku yang salah karena mempunyai rasa pada pernikahan itu. Dan kamu yang tidak pernah tahu apa yang setiap hari ku perjuangkan. Bagaimana aku berusaha setiap harinya membuat kamu bahagia dengan hal sederhana yang aku punya. Hal yang tidak pernah membuat kamu sadar jika suami kontrak ini jatuh cinta.

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Maafkan saya karena menyampaikan ini lewat surat, terima kasih Alisya sudah jauh-jauh menemui saya. Saya sepertinya tidak mampu bertemu dengan Pak Rahman karena saya tidak mampu menepati janji saya kepada beliau untuk menjaga kamu. Terima kasih untuk waktu 6 bulan bersama waktu itu membuat saya sangat bahagia bisa menikah dengan wanita seperti kamu. Jika sempat desa ini masih butuh bantuan pengusaha seperti kamu. Sampaikan salam saya pada Pak Rahman dan maaf pada beliau, saya pamit.
Juna

———- *** ———-

Tentang Penulis :
Nuzula Wasima Khurriyati.
Lahir di Kediri pada 29 Maret 2003. Kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Anak pertama dan juga terakhir ini merasa dengan menulis membuat yakin kesendirian di kala sepi dapat melahirkan karangan yang semoga dapat menginspirasi pembaca. Menulis membuat kita sadar ada banyak pelajaran hidup yang Tuhan berikan pada setiap insan manusia. Tugas kita adalah sabar dan ikhtiar menuju surga-Nya. Penulis saat ini bermukim di Ds. Kedawung Kec. Mojo Kab. Kediri. Salam hangat selalu

Rate this article!
Jawaban dari Papua,5 / 5 ( 1votes )
Tags: