Jejak Kebudayaan Tionghoa di Nusantara

Judul : Tionghoa & Budaya Nusantara
Editor : Sumanto Al Qurtuby dan Tedi Kholiludin
Penerbit : eLSA Press, Semarang
Cetakan : I, Juli 2021
Tebal : 384 halaman
ISBN : 978-602-6418-75-3
Peresensi : Ahmad Fatoni,
Pengajar Pendidikan Bahasa Arab FAI-UMM

HINGGA kini, orang awam mengenal profesi masyarakat dari etnis Tionghoa di Indonesia sebagai pedagang atau pebisnis saja. Kenyataannya, banyak juga di antara mereka yang menjadi sastrawan, seniman, novelis, ilmuwan, pedalang, pemusik, aktor film, penyanyi, pelawak, politisi, dan lain-lain. Sayangnya, tidak banyak orang yang mengetahui keragaman profesi tesebut.

Banyak pula yang beranggapan secara serampangan bahwa orang Tionghoa itu hanya sibuk mengurusi “cuan”. Padahal realitasnya tidak demikian. Hanya yang bergelut atau memiliki minat riset dan akademik di bidang studi sinologi saja yang memahaminya secara mendalam. Selebihnya, hanya sekilas belaka.

Buku yang digagas oleh Nusantara Institute ini merupakan bagian dari upaya untuk merekam jejak kebudayaan bangsa Tionghoa di Nusantara yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Para penulis dalam buku ini memakai kata “Nusantara” karena dulu, secara konseptual legal-formal, nama “Indonesia” belum “lahir”. Kendati demikian, Sumanto Al Qurtuby dkk. menggunakan istilah “Nusantara” dan “Indonesia” secara bergantian walaupun teritori Nusantara dulu tidak sama persis dengan teritori Republik Indonesia.

Bangsa Tionghoa tentu saja bukan satu-satunya “bangsa asing” yang memiliki peran penting bagi perkembangan kebudayaan Nusantara. Bangsa-bangsa asing lain seperti India, Persia, atau Arab juga layak untuk diapresiasi kontribusi mereka dalam sejarah dan perkembangan kebudayaan di Indonesia. Tentu saja, kontribusi penting atas kebudayaan Nusantara juga ditorehkan oleh berbagai suku-bangsa lokal di Indonesia: Jawa, Melayu, Sunda, Betawi, Batak, Minahasa, Dayak, Bali, Madura, Banjar, Ambon, Makassar, dan lain sebagainya

Sebuah kebudayaan bisa lahir, menyebar, berkembang dan bahkan mengalami perubahan-perubahan karena sejumlah faktor, baik faktor internal (seperti invensi maupun inovasi) dan eksternal (misalnya, difusi dan akulturasi). Faktor lingkungan dan geo-kultural masyarakat juga turut mempengaruhi jalannya sebuah kebudayaan. Begitu pula, faktor agama dan politik tidak bisa diabaikan. Karena faktor-faktor itulah, maka sulit sekali untuk mendapatkan sebuah kebudayaan yang bersifat asli, orisinal, atau genuine.

Sebagaimana yang disajikan buku ini, cukup banyak fakta keanekaragaman tradisi dan budaya kontemporer bangsa Indonesia di berbagai sektor yang sejatinya diadaptasi dari kebudayaan bangsa Tionghoa. Seperti tampak di buku ini, ada tulisan tentang kontribusi Tionghoa di bidang pariwisata di zaman kolonial, karya sastra, peninggalan budaya material seperti bangunan lama, dangdut Mandarin, pop culture, budaya ngopi, seni lawak (misalnya tentang sosok Ateng), perfilman, dan sebagainya.

Perlu digarisbawahi, sejak dahulu kala, Nusantara sangat mempesona. Kekayaan sumber daya alam dan kultural yang melimpah, sejarah dinasti yang begitu panjang dan berliku, karakter masyarakatnya yang unik, pelabuhan-pelabuhan yang ramai, semua mendorong bangsa asing untuk datang. Terlebih letaknya yang sangat strategis karena berada di persimpangan menjadi daya pikat tersendiri sekaligus merangsang para imigran, petualang, pelancong, pedagang atau bahkan pelarian politik dari berbagai kawasan, baik untuk sekedar transit pemukiman maupun menjalankan bisnis dan transaksi politik.

Bukan hanya itu saja, “kemolekan” Nusantara juga mendorong berbagai rezim politik lokal untuk silih berganti saling berkompetisi dan berebut kekuasaan, teritori, dan populasi. Proses perjumpaan Nusantara dengan negeri-negeri seberang tersebut, termasuk Tiongkok tentunya, membuat pertukaran kebudayaan di negeri ini tidak bisa terelakkan. Apa yang kini disebut sebagai “kebudayaan Nusantara” itu, baik tradisi, adat istiadat, bahasa, sistem kepercayaan, tata busana, atau ordo keagamaan tidak bisa dilepaskan dari proses interaksi dan pergumulan yang sedemikian panjang antara Nusantara dengan bangsa-bangsa lain, termasuk dengan negeri Tiongkok.

Perjumpaan Nusantara-Tiongkok itu kemudian mencapai puncaknya sekitar abad ke-13 M hingga 17 M sebelum VOC, sebuah perusahaan raksasa Belanda yang didirikan oleh Johan van Oldenbarnevelt pada tahun 1602, menancapkan hegemoni kekuasaan niaganya di kepulauan ini. Pada bentangan abad-abad ini, Nusantara memang menunjukkan eskalasi niaga dan dinamika sosial-politik-kebudayaan yang sangat mengesankan yang, antara lain, ditandai dengan proses urbanisasi, kosmopolitanisasi, revolusi keagamaan, kebangkitan monarki maritim Islam sebelum runtuh pada abad ke-17 M serta tampilnya negara-negara kota yang cukup otonom di pesisir Nusantara (Jawa, Sumatra, Malaka, dan Maluku).

Penting untuk diketahui bahwa jejak Tionghoa yang ditorehkan dalam sejarah kebudayaan Nusantara itu bukan hanya Tionghoa yang bercorak non-Islam (Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, atau non-agama) tetapi juga yang bercorak Islam yang diduga kuat diperkenalkan oleh komunitas Muslim Tionghoa.

Melalui aneka pendekatan, apa yang ditulis para kontributor tulisan di buku ini merupakan dokumentasi akademik jejak budaya bangsa Tionghoa di Nusantara. Karya riset ini sangat penting mengingat cukup banyak fakta keanekaragaman tradisi dan budaya kontemporer bangsa Indonesia di berbagai sektor yang sejatinya dipengaruhi oleh-atau diadaptasi dari-kebudayaan bangsa Tionghoa yang sudah eksis sejak lama.

——— *** ———–

Tags: