Jejak Khazanah Islam di Negeri Kangguru

Judul Buku : Kiai Ujang Di Negeri Kangguru
Penulis : Nadirsyah Hosen
Penerbit : Noura Book
Cetakan : 1. 2019
Tebal : 276 Halaman
ISBN : 978-602-385-804-0
Peresensi : Ahmad Wiyono

Pegiat Literasi, tinggal di Pamekasan Madura
Sebagai kelompok minoritas, umat islam di Australia tentu dihadapkan pada banyak dinamika sosial yang kompleks, terutama dalam menjalankan rutinitas beragama yang tentu tak seleluasa di tempat lain yang islamnya mayoritas. Namun demikian, bukan berarti kebebasan beragama di negeri Kangguru itu terkunkung, justeru sebaliknya ada penghargaan luar biasa kepada para pemeluk agama minoritas untuk melaksanakan kegiatan agamanya, termasuk kepada Islam.
Ini yang dikisahkan oleh Nadirsyah Hosen dalam buku Kiai Ujang Di Negeri Kangguru ini, menurutnya ada perlakukan istimewa kepada setiap pemeluk agama berupa kebebasan untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya masing-masing. Demikian pula kepada Islam, yang hal itu dia rasakan sendiri betapa penduduk Australia begitu menjunjung semangat toleransi kepada kelompok yang memiliki keyakinin berbeda.
Gus Nadir dalam buku ini sebennarnya lebih fokus memaparkan jejak jejak khazanah islam di negeri Kangguru, uraian yang dituangkan dalam buku terbitan Noura Book ini merupakan kisah perjalanan pribadinya dalam melakoni setumpuk aktivitas di negeri tersebut. Sejumlah persoalan keislaman yang terjadi di Australia berhasil dijawab dan diabadikan oleh Gus Nadir dalam buku ini, baik persoalan ubudiyah, sosial budaya dan lain sebagainya.
Salah satunya adalah persoalan memilah dan memilih makan halal, dalam pandangan Gus Nadir, mencari makanan yang jelas identitas kehalalannya di negeri Australia tentu bukan barag mudah, untuk itu dirinya melakukan beberapa upaya untuk bisa mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah tersebut, karena peroalan itu menjadi peryanyaan banyak orang muslim yang masuk dan diterimanya.
Salah satu argument Imam Syafii adalah, kita tidak boleh memakan sembelihan yang disebut selain nama Allah. Misalnya menyebut nama tuhan berala sepeprti latta, uzza, dan mana. Ini tidak boleh karena seolah olah hewan tersebut disembelih utuk dipersembahkan kepada berhala. Maka Al-Qur’an datang dan melarang menyembelih dengan menyebut nama selain Allah. (77).
Persoalan ini kemudian disikapi secara bijak oleh Gus Nadir, agar umat tidak langsung menafsirkan secara gamblang perihal makanan halal tersebut, karna diakui atau tidak, kalangan non muslim tentu dalam melakukan proses penyembelihan hewan menyesuaikan dengan agama mereka. Sehingga sudah jelas bahwa ketika orang muslim mau membeli makanan dari hewan pasti hewan itu tidak disebutkan nama Allah. Dalam kondisi emergensi itulah Gus nadir kemudian menggunakan hukum Istihalah sesuai dengan rujkan kitab fuqh klasik, yaitu perubahan hkum suatu hal ke hal lainnya. Namun sekali lagi ini digunakan oleh Gus Nadir dalam situasi tertentu.
Tantangan lainnya yang dihadapi umat islam di negeri kangguru adalah saat menjalani ibadah puasa Ramadan, situasi dan kondisinya ternyata sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, terutama mengenai kondisi cuaca yang relatif lebih panas dari indoensia, termasuk durasi atau waktu pelaksanaan puasa yang kadang lebih panjang dari waktu Indonesia. Sitauasi semacam ini yang menurut Gus Nadr justru menjadi tantangan sekaligus keistimewaan tersendiri bagi kelompok muslim yang ada di Australia. “Ujang pernah merasakan puasa di bulan Desember, di mana buka puasa baru tiba sekitar oukul 07.30 – 08.00 malam waktu setempat”. (Hal. 123)
Itulah secuil gambaran kehidupan masyarakat muslim di Australia, penuh dengan dinamika. Tentu masih banyak catatan lain yang diurai Gus Nadir dalam buku setebal 276 halaman ini. Semuanya menjadi cermin kekuatan khazanah islam di negeri kangguru, bahwa islam selalu bisa memancarkan cahaya damai bahkan di wilayah minoritas sekalipun. Gus Nadir berhasil menggambarakan itu semua dalam buu bergengsi ini. Selamat membaca.

——– *** ———-

Tags: