Oleh :
Muhammad Dzunnurain
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (UNISMA)
Pagi itu, langit di Kota Keris cerah mempesona. Cahaya matahari menerpa wajahku saat aku keluar dari rumah dengan tekad yang kuat. Adi seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berjuang untuk mewujudkan mimpinya lulus tes seleksi kampus di kota Yogyakarta. Satu persatu tes masuk telah ikuti dengan penuh harap. Namun, hasilnya selalu sama, tak ada yang lulus.
Kegagalan demi kegagalan membuatku merasa putus asa. Aku tak kuat menanggung kekecewaan itu sendiri. Omongan tetangga yang merajalela semakin memperparah keadaanku. Mereka mengolok-olok ketidakmampuanku. “Gagal lagi, ya? Jangan-jangan nggak cocok jadi mahasiswa, lebih cocok jadi tukang cuci sandal!” ejek salah satu tetangga dengan nada sinis.
Terkikik tertawa mereka yang lain. Omongan itu menusuk hatiku seperti belati tajam. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan menemui Salman, saudaraku yang tinggal di sana. Mungkin dia bisa memberiku dukungan dan saran yang tepat untuk melanjutkan hidup.
“Kakak, aku sudah putus asa. Tidak ada yang mau menerimaku di kampus sini. Aku tidak tahan dengan omongan tetangga yang merendahkan aku,” keluhku dalam telepon.
“Duh, Adi. Jangan dengarkan omongan mereka. Kamu kan punya potensi besar. Datanglah ke Surabaya, aku siap membantumu,” ucap Salman dengan tegas
***
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk pergi. Aku berpamitan dengan keluargaku dan memegang erat sepasang sandal yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Sandal itu adalah milik Bapak, yang katanya memiliki kekuatan magis dan perlindungan dari segala masalah.
Di Surabaya, aku merasa kebingungan. Apa yang seharusnya kulakukan? Pergi bekerja, mengikuti kursus, atau melanjutkan pendidikan tinggi? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku setiap malam. Aku menutup mata, berharap jawaban yang tepat akan muncul.
“Hai, Adi. Apa kabar? Sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan di Surabaya?” tanya Salman dengan penuh kepedulian.
“Belum, Kak. Aku bingung. Semua opsi terbuka, tapi aku takut membuat keputusan yang salah,” jawabku sambil menghela napas.
Salman tersenyum dan menepuk pundakku. “Adi, dengarkan hatimu. Cari tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Jika itu pendidikan tinggi, maka cari universitas yang tepat untukmu.”
Kata-kata Salman menyentuh hatiku. Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Malang.
***
Berangkat dari Surabaya menuju Malang, aku membawa beribu kenangan dari sandal Bapak. Sandal itu menjadi lambang kekuatan dan keberanian bagi keluargaku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berjuang dengan sepenuh hati untuk meraih impianku.
Dalam perjalanan ke Malang, aku teringat dengan percakapan terakhirku dengan kakek sebelum dia meninggal dunia. “Adi, jangan pernah takut gagal. Kegagalan adalah bagian dari perjuangan. Ingatlah, sandal ini adalah simbol kesungguhan kami, keluargamu. Jadikan itu sebagai kekuatanmu.”
Sesampainya di Malang, aku dengan penuh semangat mengikuti tes masuk di universitas yang kumimpikan. Aku belajar dengan keras, berusaha keras menjawab setiap pertanyaan dosen, dan memberikan yang terbaik dalam setiap tugas. Terkadang, lelah menyerang, tapi aku ingat dengan tekadku dan sandal Bapak yang kubawa, aku merasa terdorong untuk terus maju.
Akhirnya, hasil tes masuk diumumkan. Aku menunggu dengan hati berdebar-debar. Ketika namaku terpampang di layar monitor, perasaan bahagia memenuhi dadaku. Aku lulus! Aku tidak bisa menyembunyikan senyum kebahagiaan ini. Omongan tetangga di rumah dan segala kegagalan yang kualami sebelumnya kini terasa jauh dan tidak berarti.
Aku menghubungi kakakku untuk memberikan kabar gembira. “Kak, aku lulus! Aku diterima di universitas yang kumimpikan di Malang!” ucapku penuh kegembiraan.
Salman tertawa senang di seberang telepon. “Lihatlah, Adi. Aku sudah bilang kamu pasti bisa. Sandal Bapak memberimu keberuntungan dan keberanian. Jadikanlah itu sebagai tonggak kesuksesanmu.”
***
Empat tahun berlalu dengan cepat. Aku berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi di Malang dengan prestasi gemilang. Setiap kali melihat sandal Bapak yang kubawa, aku tak bisa tidak tersenyum. Sandal itu telah menjadi saksi perjuanganku dan membawaku meraih impianku.
Pada hari wisuda, keluargaku datang ke Malang untuk merayakan kesuksesanku. Aku melihat senyum bangga di wajah mereka. Saat mengucapkan pidato perpisahan, aku mengenang perjalanan panjangku dan mengungkapkan rasa terima kasihku pada motivasi dari bapak sebelum aku berangkat.
“Sandal ini, sandal milik Bapak, telah menjadi sumber inspirasiku. Setiap langkahku di kampus ini dipenuhi dengan semangat dan keberanian. Aku berterima kasih atas segala perjuangan yang telah dilakukan oleh keluargaku. Sandal ini mewakili semangat kita semua, dan aku berjanji akan terus menghormati dan menjaga nilai-nilai keluarga kita,” ucapku dengan tulus.
Setelah wisuda, aku melangkah keluar dari kampus dengan kepala tegak dan hati penuh harapan. Aku yakin bahwa perjalanan hidupku masih panjang, dan sandal itu akan terus menjadi simbol keberanian dalam menghadapi segala tantangan.
Aku memutuskan untuk mengenang perjuangan ini dengan membuat sebuah lukisan. Aku menggambar sepasang sandal tua dari Bapak. Lukisan itu menjadi karya pribadiku yang penuh makna, menggambarkan perjalanan panjangku menuju keberhasilan.
***
Saat ini, aku bekerja sebagai seorang penulis di bidang yang kumimpikan sejak dulu. Setiap kali melihat sandal Bapak di sudut kamar, aku tidak bisa tidak tersenyum. Sandal itu adalah pengingat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan batu loncatan menuju kesuksesan. Aku telah mengubah omongan tetangga menjadi inspirasi dan motivasi untuk membuktikan bahwa aku mampu.
Sandal Bapak tetap menjadi peninggalan berharga dalam hidupku. Dalam kesibukan sehari-hari, aku mengambil waktu sejenak untuk berterima kasih padanya. Terima kasih karena sandal itu telah menjadi penuntun keberanian ketika aku hampir menyerah.
Dalam perjalanan hidup ini, aku selalu mengingat kata-kata Bapak: “Jadikanlah sandal ini sebagai pijakanmu untuk terus maju. Percayalah pada dirimu sendiri dan jangan pernah takut gagal.” Aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa menjadi inspirasi bagi orang lain dengan cerita perjuanganku yang diwarnai oleh sandal Bapak.
———— *** —————
Tentang Penulis:
Muhammad Dzunnurain
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (UNISMA). Aktif di beberapa Organisasi Intra dan Ekstra kampus salah satunya Himpunan Mahasiswa Jurusan (English Student Association), LPM Fenomena (FKIP), Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Malang Raya, PMII Rayon Al-Kindi, Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep (FKMS). Beberapa karyanya telah puisinya telah di muat di media Online dan Cetak di antaranya Majalah Sidogiri Edisi 179, Antologi Nulis Bareng (Mahir Nulis)”Patah”(2022), Warta Universitas Surabaya Edisi 335,338, dan 339, Koran Harian Bhirawa (2022), Nolesa “Berimbang dan Mencerdaskan”(2022), Negeri Kertas “Jurnal Sastra dan Seni Budaya”(2022), Gerakan “Sadar Membaca” Rumah Baca.id (2022), Rumah Literasi Sumenep (2022), Tiras Times (2022), Riau Sastra (2023), Terminal Mojok (2023), Ngewiyak (2023),Koran Suara Merdeka (2023), Jawa Pos Radar Banyuwangi (2023).