Jelang Pilkada Serentak, Dewan Pers Soroti Media Lokal

Diskusi indeks kemerdekaan pers dan deklarasi liputan media profesional untuk pemilu berkualitas di Pusham Ubaya, Rabu (21/2). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Menjelang pelaksanaan Pilkada serentak Juni mendatang, Dewan Pers serius menyoroti profesionalitas media. Karena pengalaman pada pemilu 2014, DP menerima banyak pengaduan melalui delik pers.
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetya menyampaikan hal ini saat Diskusi Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) dan Deklarasi Liputan Media Profesional untuk Pemilu Berkualitas di lantai 5 Gedung Perpustakaan Kampus II Universitas Surabaya (Ubaya), Rabu (21/2).
“Ada banyak pengaduan diterima Dewan Pers mengenai kinerja pers di daerah. Jawa Timur menjadi perhatian Dewan Pers karena banyaknya pengaduan delik pers. Polres Situbondo dijadikan contoh terkait banyaknya penanganan aduan indikasi pemerasan oleh awak media,” paparnya.
Hal ini menurutnya tak lepas dari menjamurnya media saat ini. Di Indonesia kini ada 47.000 lebih media. Sedangkan di Amerika Serikat tidak lebih dari 100 media. Media sekarang eksis berdasar kerjasama.”Di Tanjung Balai Karimun kepala humas dan protokolnya pusing. Setahun ditagih iklan media Rp 5 miliar. Padahal tidak merasa pasang. Dewan Pers menyarankan tidak usah dibayar karena itu bisa masuk pasal pemerasan,” urainya.
Setelah dicek, perusahaan media tersebut berada di Surabaya. Perusahaan ini disewakan kepada media-media yang tidak punya badan hukum. “Bahkan ada satu PT dipakai banyak media. Di Jatim juga ada organisasi wartawan yang menolak uji kompetensi,” paparnya.
Dewan Pers, menurut Yosep Stanley, juga sudah bekerjasama dengan Polri serta Kejaksaan Agung melalui nota kesepahaman. Untuk kasus hukum dengan pers tidak akan diprioritaskan penyelesaiannya di Dewan Pers.
Sementara itu, Rektor Ubaya Joniarto Parung, menyebut setiap orang sekarang bisa menjadi pemilik media. Karena itu, saat ini banyak berita yang memang benar atau diada-adakan. “Saya sering ikut grup WhatsApp. Anggotanya para pensiunan, bukan orang yang baru pahami berita namun share berita yang belum tentu benar. Faktanya banyak provokasi dan condong ke kelompok tertentu,” ungkap Joniarto.
Joniarto juga menyebut baru saja menjadi penguji doktoral mantan wartawan yang mengangkat tema seputar independensi pers. Dipaparkan fakta tentang perusahaan media yang membuat awak medianya tidak bebas. “Jurnalis harus kembali ke rohnya. Karena itu bisa mencerminkan indeks kemerdekaan pers,” pungkas Joni.
Selain rektor Ubaya dan Dewan Pers, diskusi ini digelar bersama oleh Pusham Ubaya, Dewan Pers, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Curtin University Alumni Chapter Indonesia (CUACI). [tam]

Tags: