Jernih Melihat Fenomena LBGT

Oleh :
Iradhat Taqwa Sihidi
Dosen Ilmu Pemerintahan UMM

Melihat debat panjang proses eksistensi Lesbian Gay Biseksual, Transgender LGBT dibeberapa belahan dunia dunia sebetulnya tidak terlepas dari persilangan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) universalisme dan partikularisme. Memahami kedua konsep dengan posisi diametral sehingga kerap saling menegasikan ini menjadi pintu filosofis awal untuk mampu menempatkan secara jernih bingkai yang tepat tentang (LGBT) dalam sebuah negara. Kedua konsep ini memiliki posisi ideologis yang berbeda sebab bersumber dari logika dasar yang berbeda. Polarisasi ideologi HAM inilah yang selanjutnya mengilhami perbedaaan sudut pandang tentang LGBT yang dianut oleh sebuah negara.
Sejak dulu, perdebatan klasik ini tak kunjung usai. Pertarungan ide ini berlangsung pada semua ranah, konseptual dan impelementatif. Perdebatan ini semakin larut dan menjadi polemik utama nan panjang dalam pewacanaan HAM -yang belum tuntas sepenuhnya sampai detik ini. Selanjutnya semakin kompleks saja ketika bersentuhan dengan konteks sosiologis dan antropologis masyarakat. Keduanya sulit menyatu karena bagi kubu univerasalisme nilai-nilai HAM bersifat menyeluruh sedangkan bagi kubu seberang partikularisme sebaliknya- bahwa tidak ada universalisme HAM karena lokalitas budaya setiap wilayah berbeda. Michael Goodhart (2003) menilai arus perdebatan tiada henti kedua kubu ini memperlihatkan bahwasanya HAM merupakan konstruksi sosial yang bisa dikonstruksi sesuai tuntutan situasi yang berkembang.
Tarik ulur universalisme dan partikularisme dalam studi HAM terjadi karena perbedaan prinsip mendasar. Penganut universalisme berkeyakinan ukuran HAM itu universal diterapkan di semua penjuru dunia dalam wujud Universal Declration of Human Rights. Paradigma ini dianggap mewakili tradisi dunia barat yang menjunjung tinggi konsep kebebasan, individualisme dan sekularisme. Universalisme diyakini bercorak modernis karena lebih memperlihatkan ekspresi dari individu, kolektif otonomi individu dan berlaku berlaku untuk semua kelas.
Universalisme oleh pengagumnya dianggap akan melindungi secara khusus pemegang hak. Dalam prinsip universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi, maka dari itu HAM memang sepantasnya diterapkan dengan prinsip universalisme di setiap negara agar tidak terjadi perbedaan hukum dan norma di mana pun masyarakat itu berada. Universalitas nilai HAM sebetulnya berangkat dari teori radikal universalitas. Hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM; bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama (tidak terikat pada paradigma spasial dan temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan historisitas yang berbeda.
Dalam konteks melihat LGBT, penganut universalimse berpandangan eksistensi mereka harus diakui oleh negara. Ketika misalnya mereka ingin menikah maka negara harus memfasilitasi hasrat tersebut. Pilihan tersebut adalah manifestasi otonomi individu yang bebas terekpresikan dan negara tidak diperbolehkan mencampuri apalagi melarangya. Itulah sebabnya pernikahan LGBT bisa ditemui dibeberapa negara seperti Australia, Belanda, dan Amerika Serikat yang memang menerapkan standar universalisme HAM dalam konteks ini.
Impian seperti ini tentunya ditentang oleh penganut paham partikularisme yang sebaliknya memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM. Partikularisme yakin bahwa pelaksanaan HAM mutlak berkesuasian dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri. Partikluarisme lebih menekankan pada konsep -konsep mengenai tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Diwakili negara-negara Timur yang masih memiliki akar histroris dan meletakan hukum adat/ budaya, dan agama sebagai salah satu sumber hukum positif. Partikularisme melihat suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Nilai-nilai individual tak berlaku ketika telah melebur dalam sebuah entitas bernama kolekifias.
Bagi penganut partikluarisme tidak ada universalisme HAM. Tradisi universalisme yang lahir dan tumbuh kembang dalam tradisi barat yang individualistik mustahil diterapkan dalam masyarakat yang masih percaya tradisi komunitarian dan semangat kolektifitas yang tinggi. HAM bersifat partikular didasarkan pada kenyataan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Mustahil impelementasi HAM bisa dilepaskan dari konteks budaya dan nilai-nilai lokal.
Bagaimana dengan konteks Indonesia?. Saat ini kampanye agar ada pengakuan pada LGBT begitu berenergi sebab diorganisasikan melalui jejaring global baik melalui media, lembaga-lembaga dunia (PBB, UNDP, USAID, Kedubes Swedia) dan NGO nasional dan internasional. Indonesia memperoleh dana 108 Miliar rupiah agar kampanye LBGT untuk dietujui dalam sistem hukum Indonesia. Promosi masiv seperti ini memang sangat berbahaya jika terus dibiarkan berada di ruang publik sebab perlahan-lahan dapat mempengaruhi opini publik di masyarakat.
Namun, jika ditelisik lebih seksama ruang pengakuan untuk LBGT sangat sulit di Indonesia. Pertama, kita penganut partikularisme yang kemudian dikonfimasi dalam perintah konstitusi. Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM secara tersirat memberi makna bahwa HAM adalah manifestasi pemberian tuhan yang mengedepankan nilai yang relatif. Artinya HAM tidak boleh bertentangan dengan ajaran tuhan yang termaktub dalam agama.
Semua agama di Indonesia dengan tegas menolak perilaku seksual LGBT. Kedua, konfigurasi politik di Indonesia sangat sulit mengakomodir pada LGBT. Di tengah kebangkitan kelas menengah religius dan kontrol kekuatan agama yang kuat isu sangat sensitif seperti ini akan dihindari sebab akan menjadi bunuh diri politik jika dilakukan. Satu sikap partai politik di DPR dan pemerintah yang tegas menolak praktek LGBT adalah bentuk nyata siasat untuk menghadapi tahun politik 2018 dan 2019.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: