Jihad Melawan Narkoba

Karikatur Narkoba.jpgSEHARI, 50 jiwa melayang karena narkoba! Ini korban penyalahgunaan zat psikotropika terbesar di dunia. Karena itu wajar Presiden menyatakan Indonesia dalam situasi darurat narkoba. Juga tidak sudi memberi ampunan, permohonan grasi akan ditolak. Pengedar narkoba selama ini tetap menjalankan bisnis haramnya, walau sudah meringkuk dalam penjara. Seluruh Kepala Daerah di Indonesia diminta satu kata, satu barisan perang melawan narkoba.
Saat ini sudah lebih dari 4 juta orang “pemakai” menjalani rehabilitasi. Sepertiganya tidak tertolong. Diskotek dan arena hiburan malam menjadi terminal peredaran narkoba. Karena itu diperlukan cara lebih sistemik, terstruktur dan masif melawan narkoba. Termasuk menjatuhkan vonis maksimal, serta tanpa grasi.
Tidak sudi memberi grasi, merupakan hak presiden. Berdasar pengalaman,  grasi yang diberikan kepada Meirika Franola (melalui Keppres bertanggal 26 September 2011), nyata-nyata tak berguna. Meirika Franola, adalah terpidana hukuman mati berdasar vonis MA (Mahkamah Agung) yang menguatkan PN Tangerang dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Namun tetap menjalankan bisnis haramnya. Napi (narapidana) narkoba lainnya juga melakukan hal yang sama dari balik penjara.
Awal November 2011, seorang kurir pebawa sabu seberat 775 gram (seharga Rp 1 milyar) ditangkap di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Barang haram itu akan diberikan kepada Franola dari seorang bandar di Asahan (Sumatera Utara) yang juga binaan Lapas Tanjung Balai. Jadi, pengirim dan penerima sabu ternyata sama-sama napi.
Terbukti, bandar besar yang telah dipenjarakan tak kurang omzet. Masih tetap mengendalikan peredaran narkoba dari  dalam gedung tahanan yang sejuk, bagai dalam hotel bintang 4. Bandar gede narkoba yang berada di dalam penjara, dalam keseharian juga disapa dengan panggilan bos. Karena sebagian kegiatan lapas dibiayai oleh napi bos narkoba.
Itulah kemenangan besar yang diperoleh mafia narkoba. Yakni, penegak hukum busuk yang disuap mafia narkoba. Vonis pengadilan sering tidak membuat jera, karena tidak menjatuhkan hukuman maksimal. Di dalam penjara pun dilakukan penyuapan. Bisa hidup mewah, memegang ponsel, serta mengakses internet. Selain itu, mafia narkoba juga menyuap untuk terbitnya remisi (pengurangan hukuman) dan grasi dari presiden.
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (tahun 1988). Yakni melalui UU No 7 tahun 1997. Konvensi itu, memberi label khusus perdagangan obat narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius. Dalam Pasal 3 ayat (6) disebutkan bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum.
Gertakan mafia narkoba paling mutakhir adalah kiriman 1,4 juta butir pil ekstasi dengan embel-embel order Bais (Badan Intelijen Strategis). Ekstasi dari Shenzen, China itu, untungnya, terdeteksi oleh gabungan aparat (termasuk aparat Bais TNI) di Tanjung Priok (Mei 2012). Jika lolos, modus yang sama akan diulang dengan berbagai label “hijau” (mengatasnamakan order TNI, Polri, Setneg, MA, MK, atau KPK).
Hasil penjualan narkoba akan diputar (dengan modus pencucian uang) di berbagai perusahaan resmi atau pasar modal. Maka mafia narkoba semakin memiliki cukup modal untuk berkembang, terutama ongkos menyuap penegak hukum. Sehingga penegakan hukum kasus narkoba harus dengan hukuman maksimal yang menjerakan.
Misalnya dengan pasal 114 ayat (2) UU Nomor 35 tahun 2009, hukuman mati. Atau bisa digunakan pasal 112 ayat (2) penjara seumur plus denda lebih dari Rp 10 milyar. Penjara dan denda, sebenarnya masih belum cukup. Karena pasal 116 UU Narkotika tahun 2009, juga mengamanatkan “pemiskinan” pelaku perdagagan narkoba.
Perang jihad melawan harus dilakukan secara extra-ordinary, termasuk dengan political wil, dan “pedang sosial.”

                                                                                                 ———   000   ———

Rate this article!
Jihad Melawan Narkoba,5 / 5 ( 1votes )
Tags: