Jihad Membaca Buku

Oleh :
Ahmad Fatoni
Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab UMM

MEMBACA tulisan Agus Setiawan yang berjudul “Buku dan Keterpurukan Pendidikan” di harian ini (18/05) ada semacam keprihatinan melihat rendahnya minat baca orang Indonesia. Padahal menurutnya, dengan membaca dapat melatih seseorang berpikir kritis. Meminjam bahasa Rocky Gerung, justru dengan berpikir kritis itulah dimungkinkan dapat memulihkan akal sehat publik.

Namun apa hendak dikata, bangsa Indonesia memang tergolong sebagai bangsa yang kurang suka membaca. Keprihatinan Guru SMAN 1 Driyorejo, Gresik, itu bukan tanpa alasan. Mulai dari minimnya akses terhadap ketersediaan buku terutama di daerah-daerah tertinggal, harga buku yang cenderung melangit, hingga mental daya tarik membaca yang kurang ditanamkan sejak di bangku sekolah.

Membaca adalah Jihad

Membaca sesungguhnya jihad dengan aksara dan buku merupakan bahan pokok yang lebih utama dari sembako. Kita simak heroisme para ulama dahulu dalam mencari ilmu yang mungkin tidak akan dijumpai lagi pada masa kini dan masa yang akan datang. Hanya dengan bantuan 26 huruf atau abjad, seluruh pengalaman bahkan angan-angan masa depan manusia dapat dituangkan ke dalam lembaran-lembaran kertas yang kemudian dijilid. Benda inilah yang disebut buku.

Para pendahulu yang juga disebut sebagai penyangga peradaban, rela mendedikasikan diri mereka demi mewariskan ilmu kepada generasi berikutnya melalui buku yang mereka tulis dan koleksi. Ada dari mereka yang menolak jabatan sebagai menteri karena harus memindahkan buku-buku karya dan koleksinya ke rumah dinas. Ada pula yang akhirnya kehilangan penglihatan karena ketekunannya menelaah buku dalam penerangan yang sangat terbatas.

Pertanyaannya, apakah wajah para pemimpin masa kini masih tampak seperti para pendahulu yang sangat menggilai buku? Atau, jangan-jangan hanya sibuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan selama memegang jabatan tertentu?

Buku senyatanya dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan atau kemunduran peradaban sebuah bangsa. Dengan kata lain, tinggi rendahnya kualitas peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh berapa banyak buku yang ditulis dan dibaca oleh bangsa itu.

Ironisnya, seperti dilaporkan oleh pihak penerbit, dalam setahun Indonesia hanya menghasilkan sekitar 24,000 judul buku dengan total cetak seitar 72 juta buku. Berbanding populasi yang 240 juta, berarti satu buku dibaca empat orang. Padahal, menurut standar ideal UNESCO, satu orang senyatanya membaca tujuh judul buku per tahun. Bandingkan dengan Jepang yang warganya gemar membaca, sampai tahun 80-an negeri berpenduduk 127 juta jiwa itu sudah mencetak lebih dari 1 triliyun buku.

Menurut Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Hamid Muhammad, rendahnya indeks produktivitas buku menjadi indikator bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki kegemaran untuk berkarya dalam bentuk tulisan. Bandingkan dengan Malaysia yang penduduknya hanya 1/10 Indonesia, indeks produktivitas bukunya sudah mencapai 15 ribu, Jepang 60 ribu dan Inggris 110 ribu buku.

Pembanding lain, siswa di Amerika Serikat diwajibkan membaca 32 judul buku satra per tahun. Siswa di Jepang 15 judul, Brunei tujuh judul, Singapura dan Malaysia enam judul, Thailand lima judul, dan siswa Indonesia nol judul buku..

Nasib naas buku di negeri ini diperparah lagi oleh jumlah pengguna internet yang diperkirakan mencapai 82 juta orang, pemakai facebook 65 juta orang, dan penggandrung twitter 19,5 juta orang. Sementara pelanggan telepon seluler sebanyak 180 juta orang. Adapun pemilik TV sekitar 50 juta rumah tangga. Kondisi tersebut, diakui atau tidak, kian menumpulkan minat baca masyarakat Indonesia.

Nasib Buku Sastra (Puisi)

Jika diurut menggunakan skala prioritas, buku kumpulan puisi berada di nomor buncit dalam antrean penerbitan setelah novel dan kumpulan cerpen. Dalam perbincangan para penggiat bisnis penerbitan buku, nasib malang buku puisi terkait masalah untung rugi. Buku puisi, dari segi pemasaran, hampir dipastikan merugi.

Sekadar contoh, karya-karya tahun 90’an penyair sekelas Sitor Situmorang masih bertumpuk-tumpuk dan teronggok lesu di toko buku karena sudah berdiam selama belasan tahun lebih. Itu selevel Situmorang. Bagaimana halnya penyair pendatang baru yang tetap ‘nekad’ menerbitkan buku puisi? Buku kumpulan puisi penyair baru, sangat boleh jadi, tidak kalah tragis nasibnya.

Begitulah gambaran skeptis soal daya serap buku puisi. Dengan jumlah penduduk yang katanya 240-an juta jiwa, pangsa pasar buku puisi barangkali cuma nol koma nol nol nol sekian persen. Lantas, biasanya, penerbitan buku puisi rata-rata cuma 1.000 eksemplar. Di mata penerbit yang bermazhab 3.000 eksemplar, angka 1.000 jelas jauh dari kata untung. “Jangan pernah mengharap keuntungan dari sebuah buku puisi. Kalau pun kami menerbitkannya, alasannya lebih kepada idealisme,” demikian ujar seorang sahabat penggelut sebuah penerbitan buku.

Dalam beberapa kasus, menurut pengakuan sebagian penyair, selain penerbitan bukunya tidak beranjak dari angka 1.000, royaltinya pun kadang dikonversi dalam bentuk buku. Sehingga menjadi pemandangan biasa, penyair mengasong bukunya kemana-mana untuk dijual sendiri.

Jenis buku apapun yang ditulis di dunia ini, tidak ada yang tidak membawa manfaat. Setiap buku akan memberi manfaat bila pembaca mampu menangkap makna dan hikmah di dalamnya. Jika seorang pembaca masih kesulitan menangkap makna dan hikmah dari suatu buku, berarti ia harus meningkatkan keterbukaan pikirannya. Hikmah dan makna sebuah buku tidak akan merasuk ke dalam pikiran yang tertutup. Justru buku yang tidak membawa manfaat adalah buku yang tidak dibaca.

———– *** ————

Rate this article!
Jihad Membaca Buku,5 / 5 ( 1votes )
Tags: