Jika Tidak Capai Mufakat, DPR Akan Voting RUU Pilkada

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Abdul Hakam Naja mengakui kuatnya pro dan kontra dalam perumusan revisi UU Pilkada.  Jika tak ada kata sepakat, diperkirakan keputusan pengesahan RUU Pilkada menggunakan mekanisme voting. RUU ini rencananya akan disahkan pada September 2014 ini dalam paripurna DPR.  “Kami belum tahu siapa yang menang jika digelar voting nanti,” kata Hakam Naja di Gedung DPR Jakarta, Senin ( 8/9).
Politisi Partai Amanat Nasional ini mengakui kekuatan partai yang pro pengesahan RUU saat ini masih dominan. Menurutnya Koalisi Merah Putih kompak mendukung pemilihan kepala daerah tak langsung. Partai pendukung terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demorkat, dan PAN.
Sedangkan partai yang menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Namun Hakam menambahkan posisi kekuatan itu bisa saja berubah. “Semua bisa saja berubah setiap saat,” katanya.
Hakam juga sudah mendapat masukan dari banyak pihak terkait RUU Pilkada. “Aspirasi ini disampaikan dari masyarakat dan aktivis. Kami akan menyampaikan ke fraksi-fraksi dan pemerintah,” katanya.
Panja, menurut Hakam, akan kembali menggelar rapat, pekan depan. Ia berharap pada rapat terakhir, masing-masing fraksi menyampaikan sikap akhirnya, sebelum dibawa ke rapat kerja dan disahkan di rapat paripurna.
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq menjelaskan posisi fraksinya yang memilih opsi pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Pilkada dinilai memakan biaya politik yang sangat tinggi. Padahal, di antara penyebab korupsi terus marak belakangan ini, salah satunya karena tingginya biaya politik itu. “Pilkada langsung yang selama ini berjalan, adalah high cost democracy,” kata Mahfudz di Jakarta.
Baginya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD justru sejalan dengan visi misi KPK dalam mencegah terjadinya praktik korupsi. Meski begitu ia menyadari kemungkinan politik uang di DPRD dalam pemilihan kepala daerah masih rawan penyimpangan. Untuk mencegahnya, dia usul agar ditambah ketentuan guna mengantisipasi celah tersebut.  “?Harus dibuat mekanisme yang meminimalkan politik uang di tingkat DPRD,” tegasnya.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Mora Harahap mengatakan, ada tiga alasan kenapa Pilkada harus dikembalikan ke DPRD. Ketua Umum Pemuda Pertahanan Nasional (PAPERNAS) ini menjelaskan alasan pertama adalah masalah dana. Dia mencontohkan satu pilkada menghabiskan Rp 20 miliar. “Jika ada 500 kabupaten/kota yang melakukan pilkada akan menelan biaya sebesar Rp 10 triliun, belum lagi biaya yang dikeluarkan jika terjadi pilkada dua putaran,” kata Mora Jakarta.
Menurut dia, angka sebesar itu juga tidak menjamin melahirkan kepala daerah yang baik. “Justru selama ini banyak kepala daerah yang bermasalah,” katanya.
Kedua, Pilkada langsung rawan akan konflik. Kata Mora, konflik antara yang menang dan kalah sering mewarnai pemilihan kepala daerah selama ini. “Tentu ini merusakan tatanan keamanan masyarakat,” kata mantan Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini.
Alasan ketiga, jelas Mora, pilkada langsung menimbulkan money politics yang cukup besar. Menurut dia, partisipasi masyarakat dalam setiap pilkada sering dirusak oleh perilaku money politics. “Selain itu kasus-kasus korupsi yang besar seperti yang menjerat mantan Ketua MK juga karena suap sengketa pilkada,” katanya.
Bagi dia, sudah saatnya pilkada langsung dievaluasi. Menurutnya, tidak salah juga diganti dengan pilkada tidak langsung. Jelas dia, demokrasi yang dibangun selama ini hanya demokrasi prosedural yang banyak kekurangan karena tingkat pendidikan masayarakat masih rendah. “Saat inilah DPR merubahnya demi tatananan demokrasi yang lebih baik lagi,” ujarnya.
Dalam pembahasan RUU Pilkada ini, ada tiga tawaran yang diajukan. Pertama, tetap pada posisi sekarang ini, semuanya dipilih langsung. Kedua, gubernur saja yang dipilih DPRD. Untuk bupati dan wali kota, dipilih langsung. Ketiga, semuanya baik gubernur, bupati/wali kota, dipilih oleh DPRD.
Terpisah, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Refly Harun  mengatakan alasan pengesahan RUU Pilkada dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung adalah usulan yang tidak logis. Apalagi bila Komisi II DPR menjadikan biaya sebagai alasannya.
“Ini bukan efiesiensi tapi efektifitas, untuk betul betul tegakkan kedaulatan rakyat. Kalau masalah biaya, banyak cara menghemat penyelengaraan itu,” katanya usai beraudensi dengan Komisi II DPR di komplek parlemen.
Ia menjelaskan biaya terbesar dalam penyelenggaran Pilkada adalah honor petugas. Menurutnya hal itu bisa disiasati dengan banyak aturan tanpa perlu mengubah substansi pemilihan yang dilakukan secara langsung.
Terkait ketakutan pemerintah dan Komisi II akan konflik yang terjadi saat pemilihan kepala daerah, menurut Refly  alasan itu juga tidak logis. Baginya alasan itu hanya upaya mencari pembenaran. “Saya tidak yakin konflik itu permanen. Itu elit saja sebenarnya. Kalau legowo, mau beri statemen pada pendukung, saya yakin tidak ada konflik horizontal dari pendukung. Ada kedewasaan berpolitik dari masyarakat kita,” ujarnya.
Baginya sistem dan sikap dari para poltisi yang harus dipertegas. Bukan mekanisme pemilihannya yang diubah. “Dipilih DPRD juga akan ada gerakan di akar rumput. Demo dan bakar bakaran juga tetap bisa terjadi,” katanya.
Menurut Refly pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pilihan yang terbaik dalam demokrasi. “Tren positif pemilihan kepala daerah langsung menghasilkan pemimpin nasional yang merepresentasikan kehendak masyarakat,” ujarnya.

Ambigu
Gubernur Jatim Dr H Soekarwo terkesan ambigu dan tak berani bersikap, terkait pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) yang diwacanakan akan dilakukan di DPRD. Menurut Ketua DPD Partai Demokrat Jatim ini, beberapa daerah di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik dan budaya yang tidak bisa disamakan.
“Coba lihat di luar Jawa. Di Papua Barat calon kepala daerahnya kalah gara-gara salah pilih partai. Padahal yang kalah itu adalah mayoritas suku terbesar yang ada di sana, itu yang membuat konflik tidak pernah berhenti,” kata Soekarwo usai memberikan ceramah tematik ke peserta Diklatpim II, di Gedung Bappeda Provinsi Jatim, Senin (8/9).
Pakde Karwo-sapaan lekat Soekarwo, menilai, jika Pilkada dipilih wakil rakyat mungkin akan bisa meminimalisir konflik. Namun hal ini diakui berbeda dengan proses Pilkada yang ada di Pulau Jawa yang memiliki keterbukaan informasi dan kedewasaan berdemokrasi yang lebih matang. “Di Jatim contohnya. Kita beberapa kali melakukan pilkada maupun pilgub langsung tidak ada masalah. Karena masyarakat Jatim memiliki kedewasaan berdemokrasi yang lebih matang. Kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi ini yang kurang dimiliki saudara-saudara kita di luar Jawa,” ungkapnya.
Ditanya apakah Pakde Karwo lebih setuju pilkada langsung dipilih rakyat atau dipilih di DPRD? mantan Sekdaprov Jatim ini tidak memberikan jawaban pasti dan terkesan ambigu. Alasannya belum ada aturan resmi soal itu dia tidak bisa berandai-andai.
Seperti yang diketahui, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi saat melakukan kunjungan kerja beberapa waktu lalu di Surabaya mengatakan, peluang pemilihan bupati atau wali kota di DPRD sangat terbuka lebar. Perubahan ini menyusul akan segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pilkada. [ira, cty, iib]

Tags: