Jimpitan

Oleh:
Muharsyam Dwi Anantama

Hamparan sawah. Sebidang jalan beraspal di atas hamparan sawah. Kantor desa di sisi barat sebidang jalan beraspal di atas hamparan sawah. Pohon-pohon di tepi jalan berdiri tegak, diselingi tiang listrik yang menopang lampu jalan. Seorang petani bercaping lusuh dengan simpul senyum yang sangat ramah, seolah di dunia ini tidak ada lagi hama yang akan menghabisi padinya. Anak-anak berlarian, bermain bola pada lapangan di depan balai desa. Keceriaan khas anak-anak terus bergulir, bersama bola yang mereka mainkan.
Banyak yang berubah dari desa ini. Lewat pembicaraan di telepon satu minggu sebelum kepulanganku, bapak dan ibu dengan ceria mengatakan bahwa desa ini telah berubah menjadi kota. Menurutku tidak keliru. Bahkan dari awal kembali ke desa ini beberapa menit lalu, aku menganggap desa ini telah menjadi ibu bagi kota. Desa ini memberi kecukupan dan menyediakan apa saja yang diperlukan bagi sebuah kota. Hasil bumi yang begitu kaya di desa ini bisa menghidupi perekonomian di kota. Sepanjang jalan, truk-truk pengangkut hasil bumi berupa sayuran dan buah-buahan tak berhenti melintas.
Dari sekian banyak perubahan di desa ini, ada satu hal yang tetap sama. Senyum Bapak dan Ibu yang selalu tersimpul setiap menyambut kedatanganku, anak semata wayang mereka. Apalagi, kini aku beserta istri dan putraku, menantu dan cucu pertama mereka.
Aku bersyukur memiliki orang tua yang begitu tulus mendukung setiap cita-citaku. Ketika aku memilih untuk menjadi dosen di Sumatera 3 tahun lalu, bapak dan ibu tidak melarangnya. Justru mereka memberikan restu dan doa yang melimpah. Pun ketika aku akhirnya diterima dan harus pergi meninggalkan rumah, air mata yang menganak sungai dari mata bapak dan ibu bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan. Itu yang pernah ibu ceritakan kepadaku. Meski sebenarnya aku tidak tahu apakah benar seperti itu atau ibu hanya menghindarkan aku dari rasa bersalah dan kesedihan.

***

“Kok jam segini wadah jimpitan sudah kosong, Pak? Biasanya dulu kan diambil sore.”
“Sudah gak ada yang mau ambil, buat apa di isi. Mbah Diman sudah meninggal, 2 bulan yang lalu,” kata Bapak kepadaku di teras rumah saat kami menunggu bedug magrib.
“Innalilahi. Pantas saja puasa ini tak semeriah biasanya. Tak ada sentir di jalan.”
“Iya, wong tidak ada yang mau berkorban tenaga dan waktu seperti Mbah Diman, ya sepi pasti. Mungkin besok malam lebaran juga tak ada takbir keliling yang meriah seperti sebelumnya,” tutur Ibu yang melambungkan ingatanku pada Mbah Diman.
“Ya betul, Bu. Rasanya tak banyak orang yang dengan rela berkorban seperti Mbah Diman. Ikhlas dan tak pernah pamrih. Tiap ada kegiatan di desa, Mbah Diman kan selalu menjadi orang terdepan.”
“Ya, begitulah. Tugu selamat datang desa yang di ujung jalan sana, itu juga salah satu usulan Mbah Diman. Ketika kamu pulang dulu belum ada kan?” ujar Bapak. “Bukan hanya usul, bahkan Mbah Diman urun tenaga. Setiap hari dia di sana, bantu-bantu tukang.”
“Memang gak berubah beliau itu, Pak. Meskipun sudah sepuh dan sakit-sakitan tapi semangatnya luar biasa.”
“Sekarang, ronda sudah gak rutin lagi. Apalagi kerja bakti. Biasanya kana da tiap minggu pagi. Ya Mbah Diman juga biasanya yang ngoprak-oprak, kan.”
“Iya tho, Pak. Sayang banget. Padahal warga jadi kelihatan guyub rukun banget dulu pas ada ronda. Pas ada kerja bakti apalagi.”
“Ya begitulah.” Nada kekecewaan nampak pada perkataan bapak.

***
Aku beserta istri memutuskan untuk menunda kepulangan. Untuk satu minggu ke depan, kami akan tetap tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Tak ada salahnya keputusan ini kami ambil, aku memang sengaja mengambil cuti tahunan di Lebaran kali ini agar memiliki waktu lebih lama di kampung halaman.
Seusai libur Lebaran, desa ini menampakkan wajah aslinya. Ramai akan bangunan tapi sepi kehidupan. Ya, gemerlap lampu dari rumah-rumah yang megah berjejer begitu meriah, tapi satu persatu penghuninya meninggalkan rumah-rumah itu. Mereka kembali mengadu nasib di kota besar.
Dari bapak aku tahu bahwa beberapa tahun ini memang banyak warga desa yang memilih merantau ke kota. Kesuksesan warga desa sepulang dari kota memantik kemauan warga lain untuk menyusul mengadu nasib di kota. Namun, jalan kesuksesan memang tak selalu mulus. Ada juga beberapa orang yang tetap kembali ke desa dalam keadaan miskin.
Salah satunya adalah kawan karibku ketika SD, Aris. Mengais rejeki selama 3 tahun di Jakarta, tak membuatnya kaya. Ia kembali ke desa dalam keadaan kere, tak membawa banyak harta lazimnya perantau lain di desa ini. Sudah 2 tahun ini ia memutuskan untuk tinggal di desa, mengurus surau yang tak jauh dari rumahnya. Paling tidak, ilmu yang dulu dia dapatkan ketika mondok semasa remaja lebih berguna. Itu yang kukatakan padanya ketika 2 hari lalu bertemu di surau. Aku rasa, kata-kataku itu bisa membesarkan hatinya.
Surau yang dirawat Aris ini adalah kenangan masa kecilku. Dulu surau ini begitu ramai. Anak-anak belajar mengaji, warga juga kerap kali memanfaatkan serambi surau yang cukup luas sebagai tempat untuk bermusyawarah. Bahkan, musyawarah-musyawarah desa juga sering dilakukan di surau ini. Maklum, ketika aku kecil ini surau satu-satunya di desa. Berbeda dengan sekarang yang telah banyak masjid berdiri dengan lebih gagah dan megah.
“Ris, aku rasa desa ini semakin sepi.” Ucapku pada Aris ketika kami duduk di serambi surau menunggu waktu magrib tiba. Kebiasaan untuk salat lima waktu secara berjamaah memang selalu aku jaga sesuai dengan nasihat dari bapak ketika aku kecil. Setelah aku dewasa aku baru paham, bahwa salat secara berjamaah di masjid atau surau bukan semata-mata berurusan dengan aspek religi. Ada hal lain yang jauh lebih berharga, aspek sosial di dalamnya.
“Sepi bagaimana, lihat saja itu banyak truk-truk lewat, kok dibilang sepi,” Aris menunjuk pada truk-truk yang lalu lalang di jalan beraspal dekat surau. Memang betul, hampir tiap waktu roda-roda truk secara rutin menggilas jalan aspal yang melintasi desa ini.
“Maksudku kehidupan di desa ini, tidak seramai dan semeriah waktu kita kecil dulu.” Kataku sambal memandangi halaman surau.
“Ya itu kan dulu, kehidupan kan memang terus berubah. Kamu saja udah berubah. Lihat tuh, mulai banyak uban.” Aris terkekeh sambil memandangi rambutku yang mulai memutih akibat koloni uban yang semakin merajalela. Aku memang sengaja membiarkannya. Bagiku, rambut yang mulai memutih bukan tanda usia yang semakin tua, tapi justru tanda kedewasaan.
“Ya ada benarnya tentang perubahan itu, baik kehidupan di desa ini maupun kepalaku. Aku sadar betul, desa tak selamanya harus kuno dan tradisional seperti dalam pikiranku. Tapi maksudku, banyak yang hilang dari kehidupan di desa ini. Paling tidak aku rasakan selama beberapa minggu kembali ke sini.”
“Maksudmu?” Aris mengeryitkan dahi.
“Suasana guyub rukun, gotong royong. Aku tidak menemui itu di kota. Tapi di sini juga ternyata sudah tidak ada.” Aku menghembuskan nafas panjang.
“Kalo itu maksudmu, memang betul, Bambang. Aku pun merasakan. Tapi ya bagaimana, wong orang-orang di sini pada merantau. Yang masih di sini juga sibuk dengan kesibukannya masing-masing.” Aris menunduk. Entah menatap lantai suram yang semakin kusam atau menatap kakinya yang mulai kesemutan karena duduk bersila.
“Aku lihat kemarin-kemarin juga wadah-wadah jimpitan pada kosong, kata bapakku memang sudah tidak ada yang ambil.”
“Itu memang sudah lama tidak ada mbang, tidak ada yang mau ambil. Buat apa juga, semua sudah tidak butuh. Mereka sudah pada mampu.” Kekesalan nampak pada wajah Aris. “Ayo ambil wudu, sudah masuk waktu magrib.” Aku mengikuti langkah Aris menuju samping surau. Di sana, nampak bangunan surau yang semakin usang. Cat pada tembok samping surau mulai mengelupas, bahkan di beberapa bagian temboknya mulai koyak di makan waktu.
Beberapa orang mulai berdatangan ke surau ini. Dari kejauhan aku juga melihat bapak.

***

Seusai salat magrib, aku pulang dengan langkah gontai. Terkenang sosok Mbah Diman yang sudah tiada. Semasa hidupnya, Mbah Diman adalah sosok yang begitu peduli pada tetangga-tetangganya. Mbah Diman selalu mengumpulkan hasil jimpitan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, meskipun ia sendiri juga sebenarnya membutuhkan. Tapi, ia selalu mendahulukan kebutuhan orang lain.
Aku juga teringat pada sosok Mbah Darmi. Semasa hidup, tinggal sebatang kara di rumah kayu yang hampir roboh. Mbah Darmi hanya makan hanya dari uluran tangan warga, salah satunya hasil jimpitan yang dikumpulkan Mbah Diman.
Aku mempercepat langkah menuju rumah. Ingin segera sampai dan mengatakan suatu hal penting pada bapak, ibu, dan istriku.

***

Tentang Penulis:
Muharsyam Dwi Anantama
Kelahiran Banyumas, Jawa Tengah. Saat ini menjadi pengajar pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung. Tulisannya terpublikasi pada beberapa media massa. Buku kumpulan esai Membaca Sastra dan Peristiwa (2021) adalah buku pertama yang ditulisnya.

———– *** ————

Rate this article!
Jimpitan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: