“Jinakkan” Bawang Putih

Dampak berantai mewabahnya virus novel-corona di China, nyata-nyata mempengaruhi ketersediaan bawang putih. Walau persediaan sisa impor tahun 2019 masih tersedia sebanyak 133 ribu ton. Namun operasi pasar cukup manjur menurunkan harga bawang putih yang meroket sampai 325%. Diduga, disebabkan aksi borong pedagang besar bakal terjadinya kelangkaan bawang putih. Konon importir juga tidak memiliki persediaan.
Akasi borong merupakan kepanikan pasar akibat kekhawatiran kelangkaan bawang putih impor dari China. Kementerian Pertanian bersama Badan Ketahanan Pangan membuka Toko Tani Indonesia (TTI) bagai pasar dadakan. Wajar terjadi kepanikan, karena kebutuhan bawang putih sangat bergantung pada impor. Hasil panen dalam negeri hanya mampu menyediakan sebanyak 15% kebutuhan nasional. Selebihnya, impor.
Bawang putih (bernama latin Allium Sativum), di Inggris kondang dengan sebutan garlic. Sudah dikenal sebagai bumbu penyedap selama 7 ribu tahun silam, generasi manusia pertama (cucu Nabi Adam a.s.). Selama ber-abad-abad pula menjadi bumbu paling umum di se-antero Asia, Afrika, dan Eropa. Tumbuh subur pada kawasan ber-iklim sub-tropis, terutama Asia Tengah (China, khususnya di Xinjiang), Kazakhstan, Kirgizia, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Bawang putih sekaligus sebagai komoditas ekspor utama negara-negara Asia Tengah yang mayoritas berpenduduk muslim. Sehingga ekspor ke Indonesia menjadi prioritas. Harganya cukup murah (jika dibanding ekspor ke Eropa). Di pasar tradisional Indonesia biasa dijual dengan harga Rp 20 ribu per-kilogram. Tetapi saat ini harganya melonjak sampai Rp 68 ribu (di Jakarta), Rp 59 ribu di Kalimantan Timur, dan sekitar Rp 58 ribu diJawa Timur.
Impor bawang putih tercatat dari China. Walau sebenarnya, di China hanya sebagai pengumpul (collecting). Padahal sesungguhnya bawang putih dikumpulkan dari negara-negara sebelah barat China. Sebagian merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet. Kepanikan terhadap bawang putih seiring mewabahnya virus novel-corona. Hampir seluruh komoditas ekspor (dan impor) ditangguhkan, sampai dinyatakan aman terhadap wabah.
Indonesia juga me-moratorium sementara impor komoditas bahan pangan dari China. Tetapi larangan impor hanya terbatas pada hewan hidup (live animal). Sedangkan impor berupa hortikultura tetap terbuka. Termasuk impor bawang putih tetap berlaku. Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), impor bawang putih tahun 2019 mencapai 465 ribu ton, senilai US$ 529,96 juta. Seluruhnya di-collect dari China.
Kebutuhan bawang putih nasional sebanyak 600 ribu ton per-tahun. Sedangkan hasil panen dalam negeri pada sentra bawang putih di Jawa Tengah hanya mencapai 1.020 ton. Selebihnya, areal bawang putih juga terdapat di beberapa daerah. Antara lain di Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Barat, dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat). Tetapi hasilnya kurang memadai, karena faktor iklim.
Olah tanam dalam negeri biasanya menghasilkan bawang putih ber-umbi kecil, kurang dari separuh ukuran impor. Biasa pula dikenal (di Jawa) sebagai “bawang lanang.” Harganya cukup mahal, karena dipercaya sebagai obat herbal meningkatkan imunitas. Maka tidak mudah ber-swasembada bawang putih. Dengan hasil panen 10 ton per-hektar, dibutuhkan areal tanam seluas 60 ribu hektar. Saat ini terdapat sekitar 2.350 hektar, tersebar di 11 propinsi.
Kementerian Pertanian coba menggagas swasembada bawang putih. Melalui Kepmentan tentang Lokasi Kawasan Pertanian, ditetapkan 101 kabupaten (di 18 propinsi) sebagai sentra tanaman bawang putih. Sembari menunggu realisasi panen dalam negeri, stok bawang putih hanya cukup sebulan (sampai Maret). Pada bulan yang sama cuaca Asia Tengah (dan China) mulai hangat, virus corona terusir matahari.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: