“Jinakkan” Terorisme dengan Amnesty

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Pulau Jawa masih menjadi daerah penetasan calon teroris paling banyak. Beberapa waktu lalu tim BNPT menangkap seorang terduga, dengan kelengkapan senjata api (pistol)di Magetan, Jawa Timur. Karena itu diperlukan metode lebih sistemik penanggulangan terorisme. Termasuk menjejaki akar sosial ekstremisme, diantaranya indeks gini rasio (kesenjangan kaya – miskin), serta mempertebal karakter kebangsaan.
“Menjinakkan” potensi ekstremisme (dan terorisme), tidak selalu dengan mengokang senjata. Karena tindakan makar maupun terorisme berakar dari ke-kecewa-an terhadap situasi sosial (dan politik). Serta tambahan pengaruh iming-iming ideologis dari pihak ketiga. Sehingga menangani makar dan terorisme juga harus membenahi “akar” penyebabnya. Yakni, meng-lipur kekecewaan sosial, disertai pencucian balik ideologis.
Hukuman yang berupa vonis penjara beberapa tahun, sampai hukuman maksimal (mati) pun terbukti tidak menyurutkan tindakan makar. Seperti terjadi di Indonesia sejak zaman penjajahan, kelompok makar selalu tumbuh berganti. Bagai pepatah, patah satu tumbuh seribu. Misalnya, setelah Bung Karno dipenjara (pada dekade 1930-an), tak lama Bung Hatta pun menyusul. Begitu pula Nelson Mandela di Afrika Selatan, menjadikan penjara sebagai “kampus” mematangkan diri. Menjadi kunci sukses.
Seluruh pelaku makar lazim dianggap sebagai teroris oleh rezim yang berkuasa. Namun istilah “rezim” maupun “teroris” dapat bergantian. Semula rezim bisa berganti menjadi teroris. Begitu pula sebaliknya. Hal itu terjadi, antaralain pada kelompok Thaliban di Afgahanistan. Pernah menjadi teroris (saat melawan rezim yang bersekutu dengan Soviet). Lalu menjadi rezim ketika menang. Dan menjadi teroris lagi (setelah tidak berkuasa).
Karena itu diperlukan inovasi hukum. Agar kelompok makar maupun terorisme, tidak semakin meluas menggerogoti keamanan nasional. Agar kehidupan sosial (masyarakat) dapat berjalan tanpa situasi mencekam. Bahkan hukuman mati bisa dianggap sebagai “kemenangan” kelompok teroris. Beberapa “mantan” kelompok radikal, juga memilih menjalani kehidupan wajar. Antaralain Nasir Abbas, kini menjadi pengamat teroris.
Kelompok yang dianggap teroris, ternyata juga dapat membantu meredakan aksi terorisme kelompok lain (yang se-idoelogis). Misalnya yang dilakukan oleh Nur Misuari, pucuk pimpinan MNLF (kelompok pembebasan nasional Moro). Nur Misuari pada tahun 2013, menjadi orang yang paling dicari Filipina. Kelompoknya, MNLF dianggap sebagai pelaku penyerangan dan penyanderaan di Zamboanga. MNLF dianggap makar sekaligus melakukan aksi teror.
Amnesty Terorisme
Jajaran intelijen Indonesia telah mengenal Nur Misuari. Namun kelompok MNLF telah terpecah. Sebagiannya memilih perundingan dengan pemerintah Filipina. Sedangkan sebagian yang lain masih bergerilya di hutan-hutan. Di antara pecahan MNLF, adalah kelompok Abu Sayyaf, yang melakukan empat kali penyanderaan WNI. Karena itu Misuari diminta “meluluhkan” teroris kelompok Abu Sayyaf. Nur Misuari membantu aparat Indonesia (dan Filipina) melobi Abu Sayyaf.
Begitu pula dengan Ali Fauzi, adik Amrozi dan Ali Imron (keduanya pelaku bom Bali). Ali Fauzi, juga pernah belajar membuat bom di Mindanao (Filipina Selatan). Sekaligus menjadi bagian dari MILF. Tahun 2004 ia tertangkap oleh polisi Filipina. Dipulangkan ke Indonesia tahun 2006, langsung dirawat di rumahsakit. Selama dirawat (dibawah pengawasan Mabes Polri), Ali Fauzi merasa “di-manusia-kan.” Perlakuan itulah yang menyebabkannya insaf.
Ali Fauzi, berkesempatan menyelesaikan kuliah pasca-sarjana (S-2) di UMS (Universitas Muhammadiyah Surabaya) atas beasiswa Polri. Ia juga aktif membantu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Bahkan sejak tahun 2015 menjadi aktifis perdamaian bersama Google Ideas SAVE. Selain menjadi pengamat teroris, ia sekaligus aktif berceramah tentang penanggulangan terorisme. Termasuk di dalamnya psikologi sosial personel teroris, serta kawasan rawan terorisme.
Tetapi ekstremisme (dan radikalisme) di Indonesia tidak akan memperoleh tempat di masyarakat. Beberapa hari setelah aksi “konser” terorisme (ecek-ecek) di Jakarta, masyarakat bangkit melawan. Melaui berbagai poster, di-deklarasi-kan kebulatan tekad, tidak takut melawan terorisme. Berarti, masyarakat dengan perangkat sosial-nya telah siaga. Siap melawan terorisme ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ini warning kepada setiap teroris, agar segera pergi dari perkampungan.
Patut dikhawatirkan, lokasi-lokasi ter-aman dan terindah di dunia akan menjadi sasaran terorisme, seperti luluh-lantaknya kota seribu satu malam (Baghdad, Irak). Begitu pula kota Lebanon, yang dulu sebagai kota pendidikan, kini telah berubah menjadi kawasan perang. Kota-kota damai dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menjadi incaran utama terorirsme brutal. Terutama di kawasan timur tengah, dan Asia Timur (Pakistan dan Afghanistan).
Bahkan teroris, sudah menyasar mendekati dua tempat paling disucikan umat Islam (al-haramain), Makkah dan Madinah. Dua ledakan terjadi pada hari Senin, 29 Ramadhan. Ledakan pertama pagi hari terjadi di kota Jedah, dekat Makkah. Yang kedua di parkiran kompleks masjid Nabawi di Madinah, jelang buka puasa. Salahsatu kelompok teroris paling brutal saat ini, ISIS, meng-klaim sebagai pelaku. Ini warning untuk negara Arab Saudi, agar memaksimalkan sistem keamanan.
Raja Arab Saudi (sekaligus sebagai Kepala Negara), secara resmi memiliki gelar fungsional sebagai khadamul haramain (penjaga dua tempat suci). Dengan gelar itu, Raja Arab Saudi memiliki kewajiban utama untuk melindungi Ka’bah di kompleks masjid al-Haram, di Makkah. Juga melindungi masjid al-Nabawi di kota Madinah. Dua tempat yang paling disucikan itu wajib diamankan melebihi istana negara di ibukota (Riyadh).
Sumbu Radikalisme
Nyata-nyata teroris mengincar al-haramain. Seperti dinyatakan oleh anggota senior ISIS, Abu Turab al-Muqaddasi, dalam Twitter-nya. “Jika Allah menghendaki, kami akan membunuh mereka yang menyembah batu di Mekah dan menghancurkan Kabah. Orang-orang pergi ke Mekah untuk menyentuh batu, bukan untuk Allah,” Kicauan Abu Turab itu disebarkan oleh laman siar Khaama Press. Sehingga muslim di seluruh dunia yakin, bahwa ISIS bukan muslim, melainkan musuh utama umat Islam seluruh dunia.
Diperlukan paduan gerakan bangsa-bangsa seluruh dunia memerangi terorisme. Tidak sekadar mem-bumi hanguskan sarang teroris. Karena biasanya teroris memilih bergerilya, membaur di tengah masyarakat. Maka memberantas terorisme, mestilah memahami “sumbu ledak-nya.” Diperlukan penelitian dan pemetaan dengan melibatkan peneliti independen. Termasuk pensiunan perwira militer yang pernah terlibat perang terhadap terorisme.
Berdasar alasan yang dipapar oleh kelompok teroris, terdapat dua “sumbu ledak” penyebab terorisme. Yakni, politik, dan ekonomi. Altar politik (luar negeri) negara-negara Eropa dan Amerika, serta indeks gini di timur tengah, harus menjadi pertimbangan utama penghentian terorisme. Terutama berbagai paradigma tentang “perang salib” harus diakhiri. Dunia juga harus segera menegakkan keadilan politik dan mengukuhkan HAM untuk setiap bangsa. Penjajahan (penghisapan ekonomi) terhadap bangsa lain wajib dihapuskan.
Indonesia dapat menjadi contoh penghentian terorisme dengan cara lebih “damai.” Yakni, mengampuni, sepanjang bersedia menyerahkan diri (dan senjata) serta bekerjasama dengan pemerintah. Hal itu sudah dilakukan untuk kelompok sempalan GAM, Din Wimimi, di Aceh. Din Wimimi (beserta 70 pasukan) telah turun gunung, dan meletakkan senjata. Hal yang sama diharapkan terhadap kelompok Santoso di Poso.
Meski berhasil “menjinakkan” teroris dan gerakan makar, pemerintah seyogianya tetap waspada. Terutama terhadap gerakan radikal non-combatan (tidak bersenjata). Gerakan ini tergolong ekstrem kiri maupun kanan, memanfaatkan isu demokrasi, dan menyebarkan ajaran. Sangat berpotensi menyulut kegaduhan sosial. Diperlukan partisipasi masyarakat (terutama tokoh agama) untuk memupus gerakan radikalisme (ekstrem kanan).
Ekstrem kiri, agaknya perlu lebih diwaspadai bersama. Sebab biasanya di-propagandakan melalui berbagai cara, terutama dengan intimidasi psikologis politis. Memanfaatkan isu demokrasi dan HAM. Syukur, masyarakat selalu melawan dengan gerakan serupa. Tidak memberi ruang gerak pada ekstrem kiri.

                                                                                                             ———- *** ———–

Tags: