Jiwa Pembebas dan Kepeloporan RA Kartini

Andi Sitti MaryamOleh :
Andi Sitti Maryam
Penggiat komunitas sekolah ibu dan sahabat putri

Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat, dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama. Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bisa dikatakan saya, dalam pikiran dan perasaan, melampaui zaman Hindia Belanda ini…
Surat Kartini kepada Nn E.H. Zeehandelaar, tanggal 25 Mei 1899)
Cita-cita dan semangat Kartini tampak jelas dalam semua surat yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya dalam sebuah buku kumpulan surat Kartini berjudul Habis gelap, terbitlah terang. Cita-cita itu bukan hanya soal keinginan-keinginan tentang dirinya sendiri, tapi juga cita-citanya tentang masyarakat yang maju dan bermartabat. Ia berkeinginan menjadi guru dan membuat sekolah khusus perempuan. Meskipun untuk itu ia harus berhadapan dengan adat dan orang-orang yang tidak mendukung idenya. Dalam suratnya kepada Marie di awal tahun 1990 Kartini menulis “Kami akan menggoncangnya, ibu sayang, dengan segala kekuatan walaupun yang akan runtuh hanya satu butir batu saja, maka kami akan merasa bahwa hidup kami tidak sia-sia.”
Hal yang luar biasa bagi seorang gadis di masa itu, bahkan meskipun ia hidup di masa 100 tahun sesudahnya. Pikiran dan perasaannya, melampaui zaman Hindia Belanda kala itu dimana kondisi kebanyakan masyarakat pada waktu itu, terutama kaum perempuannya, hidup sekedar menerima saja pada apa yang menimpa dirinya. Melaksanakan apa saja yang menjadi adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hidup terjajah bukan saja secara fisik, tapi juga mental.
“Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah, saya harus masuk kotak, terkurung di rumah, terasing dari dunia luar..Saya harus memasuki penjara saya. Empat tahun yang berlangsung sangat lama itu saya habiskan di antara empat dinding tebal, tanpa pernah melihat apapun dari dunia luar.”
Cerita Kartini tentang ‘penjara’ mengerikan yang harus diterimanya sejak hari terakhir ia boleh bersekolah di ELS (Europese Lagere School) cukup memberikan gambaran kepada kita betapa nestapanya hari-hari Kartini dalam menjalani masa pingitan. Membaca kembali kumpulan surat Kartini selalu menimbulkan kepedihan buat saya, sekaligus kekaguman.
Bagaimana mungkin dengan kondisi zaman yang tidak menguntungkan saat itu dapat tumbuh pada diri Kartini karakter perempuan pembebas dan pelopor perubahan bagi masyarakat di sekitarnya?
Pertama, Kartini banyak membaca dan berdiskusi. Secara fisik ia terkurung, tapi tidak dengan pikiran dan jiwanya. Ia berkelana dan berguru pada buku-buku yang dibacanya. Kartini banyak membaca beragam buku bermutu. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Kartini sangat menggemari tulisan-tulisan Multatuli, seorang Belanda yang berpihak pada kepentingan Hinda Belanda (Indonesia). Kartini belajar arti “penindasan” darinya.
Buku-buku lain yang tidak luput dibaca Kartini adalah De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, kemudian karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang berjudul Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) karangan Berta Von Suttner. Selain itu juga buku tema gerakan feminisme dan sosialis seperti de Gids dan Armsterdammer.  Ia juga membaca dan ingin tahu jalannya politik balas budi Belanda melalui buku-buku pemberian ayahnya seperti Kerja Kemasyarakatan di India.
Kartini amat mencintai buku. Dalam suratnya kepada Prof.G.K Anton ia bercerita bahwa dari pukul tujuh sampai pukul tiga dini hari, ia terus menerus membaca. Kartini kadang mengulas buku yang dibacanya kepada sahabat penanya. Ia bercerita pernah berdebat dengan seseorang tentang manfaat buku. Kartini percaya, buku dan kegemaran membaca akan membawa banyak perubahan bagi bangsanya.
Selain digunakan untuk membaca, kemampuan berbahasa Belanda yang ia peroleh di masa bersekolah di ELS digunakan untuk berkorespondensi dengan kawan-kawannya di Belanda. Ia banyak menuliskan perasaan dan pemikirannya tentang kondisi sosial masa itu terutama kondisi perempuan pribumi dalam surat-suratnya tersebut. Dengan menulis, ide dan pemikiran Kartini abadi dalam ruang dan waktu. Melewati dinding-dinding rumahnya hingga ke tempat yang jauh dan kita nikmati pula hingga hari ini.
Kedua, pendidikan keluarga yang mendukung terutama peran ayah. Faktor lingkungan yang ikut mewarnai karakter Kartini tentu saja bukan satu-satunya. Ada sebuah faktor lain yang justru lebih dahulu dan lebih utama, yaitu faktor keluarga. Ia berasal dari keluarga yang peduli terhadap pendidikan. Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak yang terkenal di abad ke-19  yang menyekolahkan seluruh anak-anaknya termasuk ayah Kartini. Meskipun sang ayah belum dapat memberikan kebebasan sepenuhnya pada Kartini dalam hal pendidikan di sekolah formal karena tekanan adat istiadat yang berlaku bagi anak-anak perempuan. Namun beliau cukup memberikan kesempatan bersekolah bagi Kartini melebihi para bangsawan Jawa lain pada umumnya, yaitu hingga usia 12 tahun. Selanjutnya, ketika Kartini menjalani masa pingitan di rumah, sang ayah adalah penyedia utama berbagai macam buku bermutu yang dibaca oleh Kartini.
Mengenai ayahnya, Kartini bercerita bahwa beliau sangat dekat dengan anak-anaknya. Meskipun beliau sangat sibuk dan jarang berada di rumah. Ayahnya adalah orang yang paling memahami perasaan dan pikiran anak-anaknya. Inilah kiranya prasyarat utama yang mesti dimiliki orang tua sebelum mendidik anak-anaknya, yaitu membangun kedekatan jiwa tanpa batas dengan buah hatinya.
“Ayah kami tercinta. Beliau mengetahui semuanya apa yang terkandung dalam hati kami. Sekali-sekali ayah menceritakan apa-apa tentang kami kepada orang lain, tepat seperti apa yang ada dalam pikiran kami yang tidak pernah kami katakan kepada siapapun. Kami menganggapnya, tentulah ayah mencintai kami dan begitu pula sebaliknya. Barangkali itulah yang disebut dengan hubungan jiwa.”
(Surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 6 November 1899)
Di suratnya yang lain yang ditujukan kepada R.M. Abendanon, Agustus 1900, Kartini mengungkapkan perlakuan ayahnya yang lebih mesra lagi:
“Memang benar, ayahnya tidak dapat memenuhi harapannya yang termesra dan termanis yaitu kebebasan. Beliau tidak dapat memuaskan keinginannya yang meluap-luap terhadap pengetahuan. Tetapi ayah tercintanya sangat mengasihi anak perempuannya sendiri yang bodoh. Beliau memandangnya dengan mesra sekali. Sementara tangannya yang halus membelai pipinya, kemudian membelai rambutnya dengan lemah lembut. Pun tangannya yang kuat dapat memeluk leher dan bahunya dengan hangat dan nyaman.”
Keluarga bagaimanapun adalah sekolah yang pertama dan utama bagi pendidikan seorang anak. Pengetahuan dapat ia peroleh dari mana saja. Tapi karakter, kemauan yang kuat dan kehalusan budi, dibentuk dalam sebuah tempat dimana hubungan antar pribadi menemukan jarak terdekatnya. Tempat itu bernama keluarga.
Membaca kembali surat-surat yang ditulis Kartini, seyogyanya menjadi referensi bagi kita para orang tua dan para pendidik untuk mencetak Kartini-Kartini baru yang senantiasa dibutuhkan kiprahnya sebagai pembebas dan pelopor perubahan bagi kemajuan rakyat dan bangsanya. Selamat hari Kartini.

                                                                                                          ———- *** ———-

Tags: