Jiwa Wani Arek Surabaya sebagai Refleksi Cucu Pahlawan

oleh :
Lia Istifhama
Pengurus PW Pagar Nusa Jatim, Ketua III STAI Taruna Surabaya

Pertempuran 10 Nopember 1945 menjadi momen heroik dan mengejutkan dunia setelah perang dunia kedua berakhir. Pertempuran yang terjadi di kota Surabaya, sebuah kota di tepi laut Jawa, melawan Inggris yang membonceng Belanda sebagai sekutu saat itu, merupakan bukti bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak bisa dibatalkan oleh penjajah.
Bagaimana 10 Nopember bermula?
Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu tepatnya 15 September 1945, tentara sekutu Inggris (NICA) mendarat di Jakarta dan kemudian mendarat di Surabaya. Alasan kedatangan mereka bukan hanya melucuti pasukan Jepang, namun juga ingin mengembalikan Indonesia di bawah administrasi pemerintahan Belanda. Tentu hal ini sama halnya dengan memupus makna kemerdekaan Indonesia. Gejolak inilah yang kemudian memunculkan fatwa Jihad atau yang juga disebut sebagai resolusi Jihad. Resolusi tersebut diserukan oleh pendiri Nahdlatul “Ulama, KH. Hasyim Ashari. “Fardhu a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilometer dari kota Surabaya untuk membela kota Surabaya” demikian salah satu bunyi dalam resolusi jihad yang diserukan melalui musholla-musholla dan masjid-masjid. Resolusi tersebut berhasil menggerakkan warga NU sehingga melahirkan pergerakan perjuangan laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk melawan sekutu sebagai bentuk jihad hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Pertempuran besar pun terjadi selama empat hari di Surabaya sejak tanggal 26 Oktober 1945. Tentara Inggris yang awalnya ditolak untuk masuk ke Surabaya pada tanggal 26 Oktober, namun pada sore harinya mereka berhasil masuk bahkan membangun pos-pos pertahanan yang lengkap dengan persenjataannya. Hal ini sangat tidak diterima oleh rakyat Surabaya dan menjadikan pertempuran besar dimulai tanggal tersebut.
Pertempuran berakhir pada tanggal 29 Oktober 1945 karena Inggris telah menunjukkan kekalahannya menghadapi perlawanan arek-arek Suroboyo. Presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta kemudian datang pada tanggal 30 Oktober 1945 untuk membuat kesepakatan damai. Namun rupanya para pemuda dan juga santri-santri tidak percaya dengan komitmen tentara sekutu sehingga pertempuran tetap terjadi hingga menewaskan Brigadir Jendral Mallaby di Jembatan Merah Surabaya.
Hal ini memicu kemarahan pihak Inggris. Keluarlah maklumat yang berisi “Kalau sampai dengan 09 November 1945 jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan rakyat Surabaya tidak menyerahkan persenjataan kepada tentara Inggris, maka pada tanggal 10 Nopember jam 6 pagi, Surabaya akan dibombardir”.
Bukannya menyerah, arek-arek Suroboyo justru mengerahkan semua kekuatan diri untuk maju berperang. Ribuan korban berjatuhan, Surabaya banjir darah, namun bekal bambu runcing dan jiwa wani (berani) arek-arek Suroboyo menjadikan para syuhada’ (pejuang) berhasil mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran saat itu tak lepas dari pengaruh Bung Tomo yang mengobarkan semangat : merdeka atau mati.
Berdasarkan fakta sejarah inilah, Surabaya mendapatkan gelar sebagai kota pahlawan, arek-arek Suroboyo yang lahir dan besar di kota ini mewarisi jiwa-jiwa wani para leluhur yang berperang melawan penjajahan. Karakter warga Suroboyo yang cenderung tegas, ceplas-ceplos dan opo onok e (apa adanya) mencerminkan semangat wani pada kehidupan sehari-hari.
Di era digitalisasi ini tentunya kota Surabaya juga mengalami kemajuan pesat dan tumbuh menjadi kota metropolis kedua setelah Jakarta di Indonesia. Sebagai kota modern dan juga pusat industri, penduduk Surabaya yang sejak dulu adalah percampuran dari berbagai golongan, suku, ras dan agama tetap dapat mempertahankan ciri khas yang telah melekat pada kehidupan warganya.
Diantara ciri khas arek Suroboyo adalah rembukan, seduluran, grapyak, teges dan wani. Teges adalah ketegasan. Seperti ketegasan KH. Hasyim Ashari dalam mengeluarkan fatwa Jihad sebagai bentuk respon cepat sebelum tentara Sekutu menyerbu Surabaya. Arek-arek Suroboyo pun mewarisi sifat tegas tersebut, terutama dalam pengambilan keputusan yang mana tidak suka lelet (lambat), melainkan cekatan dan lugas. Menariknya, istilah lugas sering diplesetkan dengan “tunjek poin”, yang semula dari kata to the point.
Arek Suroboyo pun bukan masyarakat perkotaan yang memiliki individualisme tinggi, melainkan masyarakat komunal, memiliki ikatan kuat dalam semangat membangun seduluran (persaudaraan), gotong royong (kerjasama), dan grapyak (akrab satu sama lain). Ini menunjukkan hablum minannas dan modal sosial arek Suroboyo sangat kuat.
Budaya lokal berikutnya adalah wani (berani), rembukan (musyawarah), dan bonek ( bondho nekat). Ketiga karakter yang sangat melekat pada arek Suroboyo. Wani merupakan jiwa petarung sekaligus pemberani menghadapi persoalan meskipun tergolong bonek ( bondho nekat, yaitu tekat tinggi). Arek Suroboyo asli tentu terbiasa menghadapi sesuatu hal dan menyelesaikan resiko yang dihadapi sesuai berjalannya waktu, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dilakoni lan pikir keri. Meski arek Suroboyo pantang mundur bila merasa benar, dan berani memperjuangkan apa yang diyakininya benar, namun arek Suroboyo juga memiliki karakter rasional menerima perbedaan melalui jargon rembukan. Segala sesuatu permasalahan akan lebih mudah diselesaikan dengan duduk bersama bermusyawarah.
Rembukan ini bisa kita lihat dengan banyaknya tempat-tempat komunitas pemuda Surabaya untuk berkumpul, seperti di Balai Pemuda, Gedung Cak Durasim atau taman Bungkul yang paling sering digunakan sebagai ajang berkumpul untuk rembukan atau sekedar duduk bersama menikmati car free day di hari minggu pagi.
Karakter wani meruapakan salah satu karakter dalam penjelasan Plato (429 SM). Plato menjelaskan tiga hasrat yang menjiwai manusia, yaitu epithumia (nafsu memenuhi kebutuhan yang menjadi keinginan manusia), thumos (keberanian dan semangat pantang menyerah), dan nous (logika atau pemikiran rasional. Ketiganya merupakan pengejawantahan tubuh manusia. Epithumia terletak pada perut hingga ke bawah. Thumos terletak pada dada hingga leher, dan nous pada kepala. Yang menarik adalah thumos , yaitu keberanian, sebuah agresivitas tinggi yang memberi kekuatan pantang menyerah. Keberanian memang kadang bersifat irasional, mengenai bagaimana bambu runcing bisa melawan senjata canggih penjajah. Maka tak heran, thumos ala Suroboyo sering disebut dengan bonek ( bondho nekat). Dan jiwa bonek ternyata mampu membuat keberanian ( wani) menjadi kekuatan yang sebelumnya dipandang sebelah mata, tapi kemudian menjadi ancaman bagi lawan yang hanya mengutamakan nafsu ( epithumia) menjajah sekalipun dengan segala kemampuan yang seharusnya secara logika ( nous ), merem aja menang. Fakta heroik Surabaya menjadikan bukti bahwa kemenangan Surabaya melawan sekutu bukan sebatas modal dhengkul yang bisa diremehkan, tapi memang modal wani bisa dengan nyata mewujudkan kemenangan. Bahkan wani-nya arek Suroboyo harus diakui sangat membantu Indonesia secara keseluruhan untuk tetap terjaga proklamasi kemerdekaanya. Mengutip sekali lagi kobaran semangat Bung Tomo: Merdeka atau Mati. Semangat Bung Tomo (Sutomo), warga asli Blauran Surabaya itulah yang harus terpatri sebagai wujud kuatnya rasa memiliki ( sense of belonging) tanah kelahiran.
Mengapa harus Surabaya yang menjadi identitas heroik?
Wallahu a’lam, mungkin saja ada misteri kekuatan Kerajaan Majapahit yang membekas di Surabaya. Hal ini bukan mustahil, meski tidak bisa diterima secara rasional oleh banyak orang. Namun surabaya memang dulunya merupakan gerbang utama kerajaan majapahit. Surabaya menjadi saksi pertempuran sengit antara Raden Wijaya melawan pasukan mongol Kubilai Khan di tahun 1293, tepatnya di tanggal 31 Mei yang sekarang diperingati sebagai tanggal berdiri kota Surabaya. Selain peristiwa tersebut, Surabaya memang saksi begitu banyak peristiwa heroik sejak dulu, diantaranya penyerbuan Senopati di tahun 1598, pertempuran antara Trunojoyo dengan VOC di tahun 1675, dan sebagainya.
Surabaya seakan memang digariskan sebagai wiayah yang melegenda, bahkan Surabaya (yang konon di tahun 1270, namanya Ujung Galuh) pada abad 14 pernah menjadi pelabuhan penting di dunia.
Suroboyo adalah Surabaya
Surabaya, sura (ikan sura adalah ikan hiu, yaitu ikan yang dilambangkan berani, wani) dan baya (baya adalah buaya yaitu hewan yang dianggap mendatangkan bahaya). Dengan begitu, surabaya adalah lambang keberanian, wani, menghadapi bahaya dan ancaman. Cucu pahlawan (yang terlahir di Surabaya), memang harus bisa mewarisi sikap kepahlawanan dan keberanian.

,——————^^^ ——————–

Tags: