Jokowi dan Gubernur BI Tak Akur, Paket Kebijakan Jadi Sia-sia

Presiden Joko Widodo

Presiden Joko Widodo

Jakarta, Bhirawa
Direktur Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan mengatakan paket kebijakan ekonomi yang sedang digagas pemerintah akan gagal. Hal ini diakibatkan dalam anggota tubuh pemerintahannya tidak ada keharmonisan atau kecocokan.
Hal tersebut, tercermin ketika Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk kembali mengevaluasi wacana menurunkan BBM jenis premium.
“Paket ini sudah gagal karena ada stakeholder yang tidak sejalan, satu Jokowi satu Agus Marto. Itu mereka berdua sudah tidak bekerjasama dengan baik. Apalagi ketika Agus mencurigai jokowi mencari popularitas dengan wacana menurunkan BBM, itu sudah nggak beres,” tuturnya di Cikini,  Minggu (4/10).
Menurutnya, jika antara Jokowi dan Gubernur BI tidak ada keharmonisan, dalam waktu singkat akan membuat salah satunya menjadi tumbang. “Ini bahaya. Jadi mesti ada kecocokan atau tumbang salah satu,”ujarnya.
Menurutnya, dari dulu sesuai Undang-Undang, Bank Indonesia mengatur kebijakan moneter dan Presiden kebijakan fiskalnya. Sehingga keduanya bisa menggabungkan. “Kalo kita bikin paket itu, Undang-Undangnya, BI ngatur moneter policy dan Presiden fiskal policy, itu mestinya kawin. Nggak bisa saling bertentangan. Karena dua-duanya sama penting,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menilai perhitungan yang transparan membuat masyarakat mengetahui penyesuaian harga BBM mencerminkan kondisi perekonomian dengan maksud penurunan harga BBM jangan jadi ajang popularitas tapi harus benar accountability.
Sementara itu mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier menilai kebijakan pemerintah dalam membuat suatu paket kebijakan ekonomi di tengah kondisi ekonomi yang lesu menjadi bentuk kefrustrasian. Paket tersebut dinilai hanyalah sebagai kambing hitam atas kegagalan perekonomian Indonesia aat ini.
Fuad Bawazier mengatakan, di saat perlambatan ekonomi dunia dan nilai tukar rupiah yang terus melemah pada dollar Amerika Serikat (AS) dijadikan faktor utama perlambatan ekonomi nasional, hal tersebut membuat pemerintah terlihat frustrasi dan mengkambing hitamkan paket kebijakan tersebut.
“Badai (faktor ekonomi global dan nilai tukar rupiah) pasti berlalu. Artinya, pemerintah tidur dan tidak bekerja juga badai pasti berlalu. Tapi kan kondisi ekonomi dalam negeri dan masyarakat semakin berbahaya. Kemudian selalu mengatakan kita rumuskan paket artinya sudah frustrasi. Karena paket itu kan fondasi jangka panjang,” tutur Fuad.
Fuad menegaskan, pemerintah sudah tidak ada cara untuk mencari alasan-alasan untuk membuat kebijakan yang lebih efektif. “Jadi pikirkan kebijakan apa saja yang langsung efektif didapat masyarakat,” harapnya.
Pemerintahan kabinet kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi September. Adapun dalam paket tersebut ada dua tahap, tahap pertama diterbitkan pada 9 September 2015 dan tahap II diterbitkan 29 September 2015. Dalam paket kebijakan ekonomi tahap II fokus pemerintah lebih ke arah investasi untuk meningkatkan daya saing industri.
Fuad Bawazier menilai apa yang telah dikeluarkan pemerintah belum mendapatkan respons dari masyarakat. Oleh sebab itu, dalam paket yang diwujudkan pemerintah seolah-olah pertumbuhan ekonomi hanya bisa dibantu dengan mendatangkan para investor-investor baru.
“Pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi dibantu dengan mendatangkan investor-investor besar. Paket ini memiliki asumsi yang tersirat atau terkandung seolah-olah perlambatan ekonomi bisa diselamatkan oleh para kapitalis yaitu para investor,” tutur Fuad.
Intinya, lanjutnya, pemerintah keliru karena mengandalkan untuk merespons perlambatan ekonomi yang terjadi. Padahal, ekonomi sudah terlanjur lesu. “Jadi paket itu sendiri memang tidak begitu menggigit dan kurang greget. Seperti paket yang nggak ikhlas dan ragu supaya menjadi bahan konsumsi publik saja,” tambahnya. [okz,ins]

Tags: