Jokowi Jangan Jumawa dengan Hasil Berbagai Lembaga Survei

Aji Andika Mufti

Jakarta, Bhirawa
Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April mendatang, sejumlah lembaga survei telah merilis hasil survei tentang elektabilitas dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada pilpres 2019. Dari hasil survey itu elektabilitas pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin lebih diunggulkan ketimbang pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.
Meski begitu, hasil survei terakhir dari Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas beberapa waktu lalu memberi kabar yang cukup mengagetkan bagi Tim Kampanye Nasional (TKN). Hasil survei itu menyebut, elektabilitas Pasangan Calon (Paslon) 01 kini berada di angka 49,2 persen. Angka itu turun 3,4 persen dari rilis survei Kompas sebelumnya pada Oktober 2018, yakni, 52,6 persen. Sebaliknya, hasil survei Kompas justru menaikkan elektabilitas pasangan nomor urut 02 dari sebelumnya 32,7 persen menjadi 37,4 persen. Artinya, selisih antara kedua pasangan kini hanya 11,8 persen dari semula 19,9 persen.
Menanggapi hasil survei Kompas tersebut, kepada media Jokowi mengatakan, hasil itu akan menjadi bahan evaluasi dan koreksi agar kinerja TKN lebih baik lagi. Selama ini, hasil survei Kompas memang dikenal cukup kredibel. Maka, wajar jika hasil survei mereka yang terakhir menjadi wake up call (meminjam bahasa Denny Siregar) bagi TKN. Sebaliknya, di kubu 02, Sandi mengatakan hasil survei itu membuat dirinya semakin optimis dan masih memiliki peluang.
Selain Kompas, empat lembaga survei lain juga merilis hasil survei mereka tentang elektabilitas kedua paslon capres-cawapres kurang dari sebulan menjelang waktu pemilihan. Hasilnya, Paslon nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf mengungguli Paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandi di total empat lembaga yang melakukan survei selama kurun waktu Februari-Maret.
Lembaga survei Indo Barometer misalnya, pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul di angka 50,2 persen, sementara Prabowo-Sandi 28,9 persen, dengan selisih 21,3 persen. Konsepindo, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan selisih 21,8 persen, yakni 55 persen untuk Paslon 01, dan 33,2 persen untuk paslon 02. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Jokowi juga unggul pada angka 57,6 persen dan Prabowo-Sandi 31,8 persen dengan selisih 25,8 persen.
Sementara itu, persentase paling tinggi dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dengan keunggulan pasangan Jokowi-Ma’ruf pada angka 58,7 persen, sedangkan Prabowo-Sandi 30,9 persen. Dengan selisih suara 27,8 persen.
Meski unggul di semua lembaga survei di atas, hasil survei Kompas yang rilis pada 20 Maret lalu cukup mengagetkan banyak pihak, khususnya TKN. Sebab, elektabilitas Jokowi—Ma’ruf kini sudah berada di bawah 50 persen.
Apa artinya?
Jika merujuk pada pemilihan sebelumnya, tepatnya dalam dua kali pilpres yang memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden, angka di atas 50 persen merupakan angka paling aman sebagai modal untuk memenangi kontestasi sebenarnya dalam pilpres. Dengan angka di atas 50 persen, ia bisa dibilang begitu mudah merangsek ke kursi Republik Indonesia (RI) 1 dalam dua pilpres yang ia ikuti.
Kala itu, di survei yang dikeluarkan LSI pada 2009 misalnya, SBY yang berpasangan dengan Boediono mendapat persentase di angka 71 persen. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk seorang petahana dan barangkali cukup sulit untuk disamai hingga beberapa tahun ke depan oleh pasangan capres-cawapres.
Angka itu memang sempat mengalami penurunan dalam survei-survei berikutnya, tetapi angkanya masih jauh di atas normal. Dalam dua survei LSI berikutnya, elektabilitas SBY berada di angka 67 persen dan 63 persen.
Hasilnya, SBY menang di angka 60,80 persen dalam rilis resmi yang dikelurkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres 2009. Angka ini tentu saja membawanya untuk menduduki kursi presiden untuk kedua kalinya tanpa harus melalui putara kedua.
Kasus SBY tentu saja menjadi gambaran bahwa unggul dalam hasil survei yang dikeluarkan lembaga survei tak akan menjamin pasangan capres cawapres akan dengan mudah memenangi kontestasi sesungguhnya dalam pilpres. Artinya, bukan hanya unggul, sebab elektabilitas yang ditunjukkan dengan hasil survey harus berada di atas angka 50 persen.
Hal ini diamini oleh pengamat politik Amerika, Michael S. Lewis-Beck, Tom W. Rice. Menurut mereka, perolehan suara di atas 50 persen akan dapat dengan mudah membawa kandidat petahana untuk terpilih kembali.
TKN tentu saja harus mengevaluasi hasil kinerjanya atas survei yang dirilis Kompas. Sebab, lembaga yang dikenal kredibel ini juga sekaligus menjadi satu-satunya lembaga yang memberikan angka di bawah 50 persen kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Bagi yang mengerti atau pelaku politik elektoral, penurunan angka 3,4 persen adalah selisih yang cukup besar. Sebab, umumnya, elektabilitas petahana akan terus meningkat atau paling tidak stagnan mendekati hari pemilihan. Namun, tren yang terjadi justru sebaliknya.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf juga perlu memperhatikan undecided voters yang angkanya masih relatif tinggi, yakni 14,7 persen. Dengan terjadinya situasi ini, berarti ada yang salah dengan mesin politik yang dimiliki pasangan Jokowi-Ma’ruf, sehingga hal ini berimbas pada naiknya elektabalitas pasangan nomor urut 02.
Selain itu, TKN mestinya juga memperhatikan tingginya kecenderungan pemilih dari generasi Z kepada pasangan nomor urut 02. Dalam rilisnya, Kompas juga mengklasifikasikan kecenderungan pemilih dari setiap generasi.
Mulai dari silent gen (usia 71+), baby boomers (53-71), millenials, hingga gen Z.
Dari beberapa klasifikasi generasi tersebut, Jokowi-Ma’ruf kalah di pemilih gen Z, yakni  47 persen berbanding 42,2 persen.
Kita tahu, bahwa pemilih di rata usia 22 (millenials dan gen Z), memiliki otonomi pada aktifitas virtual dunia maya, sehingga perilaku mereka sebagai pemilih aktif di internet akan sangat berpengaruh pada elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.
Puthut dalam Mojok.co menyinggung TKN dalam beberapa kali kampanye masih menggunakan cara-cara lama, misalnya dengan menyerang pasangan nomor urut 02 secara pribadi.
Bagi pemilih rasional seperti gen Z dan millenials cara-cara kampanye seperti itu sudah dianggap kuno dan tidak menunjukkan kualitas sebenarnya dari seorang calon dan wakil presiden.
Cara berkampanye seperti itu sangat tidak disukai oleh pemilih dari gen Z dan millenials yang notabene sebagai pemilih rasional. Walhasil, tentu saja imbasnya ke perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf. Belum lagi dengan menguatnya sentimen politik identitas.
Alih-alih memperbaiki hubungannya dengan pemilih dari kalangan Islam atau kelompok Islam kanan, model kampanye yang diterapkan dengan cara-cara menyerang lawan politik secara pribadi, akan semakin memperkeruh peroleh suara Jokowi-Ma’ruf.
Bagaimanapun, TKN mestinya kembali meracik strategi agar sasaran kampanye mereka bisa membidik dengan tepat sasaran. Bukan pada pertimbangan suka atau tidak sukanya juru kampanye. “Juru racik kampanye boleh saja tidak suka kopi, tapi di masyarakat yang suka kopi, mereka harus bicara kopi dan mengaitkan pentingnya kopi dengan calon yang didukung. Karena itu, juru racik kampanye mensyaratkan kepala dingin”.
Persoalan lain yang patut mendapat perhatian TKN adalah kelompok Golongan Putih (Golput). Siapa yang menduga tulisan Frans Magnis Suseno di harian Kompas beberapa waktu lalu, mendapat respons negatif. Sekalipun itu ditulis oleh seorang Guru Besar, golput bukanlah kelompok yang bisa dengan mudah beralih keputusan.
Mereka, umumnya adalah orang-orang dengan sikap rasional, yang sensitif, kritis, dan skeptis dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.  Mereka adalah kelompok yang paling sering bersuara memberikan kritik. Boleh jadi tulisan Frans Magnis adalah blunder. Dan yang terjadi adalah hasil dari rilis yang dikeluarkan Kompas 22 Februari lalu.
Belajarlah pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah Keistimewaan Ibukota (DKI), Jawa Barat (Jabar), dan Jawa Tengah (Jateng). Kita tahu, Pilgub DKI tahun lalu telah memberi hasil yang sangat di luar dugaan dengan meloloskan Anis-Sandi ke putaran kedua, dan meninggalkan kandidat terkuat Agus-Sylvi.
Beberapa lembaga survei menjelang pemilihan putaran pertama, seperti  LSI, Indikator Politik, Poltracking Indonesia, hingga Alvara Research Center menempatkan pasangan Anis-Sandi sebagai pasangan Cagub Cawagub dengan elektabilitas paling rendah di antara ketiganya.
Namun apa yang terjadi, meski berada di peringkat kedua dari hasil rekapitulasi yang dikeluarkan KPU, Anis-Sandi menang dengan selisih yang cukup jauh meninggalkan Agus-Sylvi dan bahkan hanya selisih 3 persen dari Ahok-Djarot.
Dan dengan kemenangannya di putaran kedua, membuktikan bagaimana model kampanye yang diterapkan oleh tim pemenangan mereka telah tepat sasaran sesuai psikologis pemilih di DKI.
Sementara di Jabar, kasus serupa juga terjadi. Pasangan Sudrajat-Syaikhu yang diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) telah melampaui survei yang dirilis lima lembaga survei.
Hingga menempatkan mereka di bawah pasangan Ridwan-UU yang diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasional Demokrat (Nasdem), dan Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sedangkan pasangan Deddy-Dedi diusung Demokrat dan Golongan Karya (Golkar) yang masing-masing menjadi kandidat terkuat satu dan dua.
Bahkan Indo Barometer memprediksi Sudrajat-Syaikhu hanya memperoleh 6 persen suara dari hasil survei yang mereka keluarkan. Jauh di atas Ridwan-UU dengan 36,9 persen dan Deddy-Dedi 30,1. Sudrajat-Syaikhu hanya satu persen lebih baik dari pasangan TB Hasanuddin-Anton dengan 5 persen.
Tak jauh berbeda dengan keempat lembaga survei lain yang hampir semuanya memprediksi suara pasangan Sudrajat-Syaikhu tak akan lebih dari 10 persen. SMRC, lewat survei yang mereka keluarkan memprediksi Sudrajat-Syaikhu hanya dapat 7,9 persen. Lagi-lagi hanya satu persen di atas TB Hasanuddin-Anton dengan 6,5 persen.
Lalu apa hasilnya? Hasil rekapitulasi resmi KPU menempatkan Sudrajat-Syaikhu di posisi kedua terbanyak dengan 6.317.465 suara dengan persentase 28,74. Ridwan-UU hanya menang dengan selisih 4,14 persen atau 908.789 suara.
Tentu hasil itu jauh di atas prediksi dari beberapa rilis yang dikeluarkan lembaga survei. Dengan menempatkan Sudrajat-Syaikhu di posisi kedua, kini tentu saja Jawa Barat menjadi salah satu daerah yang perlu mendapat perhatian TKN.
Perolehan suara pasangan yang diusung Partai Gerindara, PKS, dan PAN itu sekaligus untuk kedua kalinya menang di luar prediksi banyak lembaga survei.
Di Jateng, dalam beberapa kali survei yang dikeluarkan menjelang hari H, pasangan Ganjar-Taj Yasin bahkan disebut tak terbendung.
Lingkarang Survei Kebijakan Publik (LSKP) LSI dalam dua kali rilis yang mereka keluarkan, elektabilitas Ganjar-Taj Yasin mencapai angka 54 persen. Angka itu jauh di atas Sudirman Said-Ida Fauziyah yang hanya 13 persen.
Bahkan Charta Politika merilis angka popularitas Ganjar-Taj Yasin berada di angka 70,5 persen. Jauh di atas elektabilitas Said-Ida yang hanya 13,6 persen. Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politik menyebut ada kejomplangan pada elektabilitas kedua paslon cagub cawagub di Jateng.
Namun, lagi-lagi rilis kedua lembaga survei itu tak sepenuhnya benar dari hasil rekapitulasi yang dikeluarkan KPU usai pemilihan. Sudirman-Ida memang kalah, tapi perolehan suaranya jauh melebihi dari prediksi dua lembaga survei yang memprediksi pasangan itu yang tak beranjak dari angka 13 persen.
Rekapitulasi resmi KPU, mencatat perolehan Said-Ida hingga mencapai angka 41,22 persen atau 7.267.993 suara. Jauh dari angka survei mereka yang hanya 13 persen. Melihat beberapa kasus di atas, hasil survei tak selalu berbanding lurus dengan hasil rekapitulasi sebagai kontestasi pemilu di beberapa daerah.
Di Jateng, kita bahkan bisa melihat angka fantastis dari elektabilitas pasangan Ganjar-Taj Yasin, bahkan hanya selisih tak lebih dari 10 persen. Padahal sebelumnya, hasil survei Charta Politik menyebut elektabilitas Ganjar-Taj Yasin berada di angka 70 persen.
Di DKI, Anis-Sandi yang sebelumnya sama sekali tak dijagokan, bahkan hingga melampaui perolehan suara Ahok-Djarot pada putaran kedua. Sebaliknya elektabilitas Agus-Sylvi yang digadang-gadang sebagai calon kejutan turun jauh dari elektabilitas yang mereka peroleh dari hasil survei.
Begitu pula di Jabar, pasangan Sudrajat-Syaikhu yang angka elektabilitasnya tak beranjak dari angka 7 persen, melesat begitu jauh hingga kalah tipis dengan Ridwan-Uu.
Begitu pula dengan Jokowi-Ma’ruf kini. Meski semua lembaga survei, menyatakan bahwa elektabilitas mereka unggul atas pasangan Prabowo-Sandi, bukan tidak mungkin mereka akan terjerembab dan masuk dalam daftar kejutan berikutnya dari politik elektoral kita.
Bola panas masih bergulir. Tentu hasil survei Kompas terakhir harus menjadi evaluasi jika kasus serupa tak mau terjadi. Kurang dari sebulan ke depan, strategi kampanye yang dibuat TKN akan sangat menentukan hasil 17 April nanti. [iib.ira]

Tags: