Jombang Dinilai Alami Krisis Penulisan Narasi

Sastrawan Binhad Nurrohmat

Jombang, Bhirawa
Kabupaten Jombang sebagai wilayah kultural yang memiliki sejarah panjang dan dekat dengan wilayah kerajaan terbesar Nusantara yakni Kerajaan Majapahit, memiliki dampak berbeda dengan daerah lain yang jauh dari pusat kekuasaan Majapahit.
Namun kini, Jombang dinilai mengalami krisis penulisan narasi. Menurut Sastrawan Binhad Nurrohmat, narasi tentang Jombang sudah banyak, namun hal ini belum tertuliskan dengan baik.
Kedekatan dengan pusat Kerajaan Majapahit ini, kata Binhad Nurrohmat, membuat Kabupaten Jombang memiliki karakter dan kecendurangan budaya yang pasti terpengaruh dengan goegrafisnya.
“Makanya saya tidak heran di Jombang itu banyak tokoh besar yang lahir di sini. Karena Jombang ini menurut saya, secara kebudayaan di masa lalu bagian dari titik pusat peradaban,” ujar Binhad saat ditemui Bhirawa di kediamannya di Kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, Kamis pagi (13/2).
Maka semua lini kebudayaan Kabupaten Jombang pada era modern, selalu melahirkan tokoh-tokoh seperti dalam dunia musik ada penyanyi Gombloh, pada sisi politik ada tokoh Sema’un, serta di segi agama ada para kiai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga dalam dunia politik, tokoh-tokoh asal Jombang pun menjadi Founding Father’s.
“Nah itu saya kira menjadi satu bukti pengetahuan bahwa Jombang itu bagian dari peradaban besar di masa lalu yang jejak – jejaknya belum hilang, masih terwariskan sampai sekarang,” tambah Binhad Nurrohmat.
Dikatakannya, sejarah nasional juga mencatat tentang ketokohan – ketokohan para tokoh yang dilahirkan dari Kabupaten Jombang. Meski begitu perlu adanya penulisan sejarah lokal tentang Kabupaten Jombang, sehingga detailnya lebih terasa.
“Kemudian yang kedua, jangan – jangan banyak narasi (tentang Jombang) yang terlewat. Jadi Jombang itu banyak diketahui orang Jombang melalui kacamata nasional. Bukan melalui kacamata lokal,” sambungnya.
Yang belum terjadi saat ini yakni, bagaimana orang Jombang ‘melihat dirinya sendiri’ dengan ‘matanya sendiri’, dalam arti, orang Jombang melihat Jombang dari dalam bukan dari luar.
“Nah itu yang belum terjadi sekarang,” tandas dia.
Pada konteks ini, dicontohkannya, ketokohan Mbah Wahab (KH Wahab Hasbullah), tidak ada orang Jombang yang menulisnya. Selain itu, tulisan tentang Mbah Hasyim (KH Hasyim Asy’ari), juga ditulis bukan oleh orang Jombang namun dari internal Ponpes Tebu Ireng sendiri. Soal ketokohan secara intelektual/ keulamaan terdapat banyak sekali di Jombang dan banyak diterbitkan dalam buku-buku pada masa lalu, namun tidak ada ada penerbitan di Jombang.
“Saya kasih contoh perbandingan umpamanya, Mbah Bisri Mustofa Rembang, dia menulis Tafsir Al-Ibris, lho dia nyetak sendiri kok itu. Artinya, Rembang yang kota kecil, mempunyai upaya untuk itu. Masak kita yang orang Jombang kalah dengan orang Rembang,” katanya dengan nada tanya.
Jadi, menurut Binhad, warisan – warisan dari masa lalu itu, tidak direspon dengan optimal di Jombang, sehingga perjalanannnya menjadi ‘mogok’. Sehingga yang dikenal publik tentang Jombang yakni, narasi – narasi besar dari narasi – narasi lama, sementara narasi – narasi baru hampir tidak muncul. ”Wong narasi lama juga diekspos tidak optimal,” tegasnya.
Kata Binhad, salah satu langkah untuk meminimalisir krisis penulisan narasi tentang Kabupaten Jombang yakni dengan penulisan – penulisan buku tentang Jombang. ”Jadi ada banyak penerbitan, entah media massa atau penerbitan buku, itu salah satu penopang,” pungkas dia. [rif]

Tags: