Jurang Kesenjangan Menyempit

kesenjanganPemerintah merilis indeks gini makin menyempit. Artinya, perbedaan antara golongan kaya dengan yang miskin tidak nampak mencolok. Walau keadaan ekstrem berdasar penghasilan masih terjadi. Gubuk reot masih banyak, terutama di pedesaan. Sebaliknya di perkotaan juga sangat banyak gedung bertingkat menjulang, berlomba ketinggian. Indeks gini rasio perlu dikelola oleh Negara, agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
Pedesaan, profesi buruh tani dan nelayan, masih menjadi simbol kemiskinan. Karena itu pemerintah berbagai rezim (sejak zaman Pak Harto) berupaya mengentas kemiskinan. Ada program yang dilakukan secara sistemik, didukung payung hukum perundang-undangan. Ada pula yang sekadar retorika pencitraan politik. Bahkan UU (undang-undang) yang bersifat karitatif sosial dianggap pemborosan keuangan Negara.
Jaminan sosial memang hak warga negara, sebagaimana diamanatkan UUD pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lalu terbit pula UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas), bahwa keluarga miskin berhak memperoleh layanan kesehatan secara gratis, layak dan profesional serta tanpa diskriminasi.
Berdasar UU Jamsosnas, seharusnya bukan hanya jaminan kesehatan, melainkan juga memperoleh tunjangan hidup. Yakni berupa pembayaran biaya hidup, semacam pensiunan. Pada rezim saat ini, Jamsosnas meliputi KIP (Kartu Indonesia pintar), KIS (Kartu Indonesia Sehat) serta KKS (Kartu Keluarga Sejahtera). Namun di berbagai daerah, pelaksanaan berbagai jaminan sosial masih mengalami kendala.
Realisasi jamsosnas seolah bersamaan dengan permasalahan, sejak di hulu hingga hilir. Pada tahap hulu, pendataan jamsosnas disusupi nepotisme, meng-utamakan keluarga pengurus kampung. Sedangkan di hilirnya, pencairan dana melalui kantor pos masih sering mampet. Begitu pula bantuan raskin (beras untuk keluarga miskin) masih sering menjadi “permainan” birokrasi. Terutama pada kawasan perdesaan.
Hingga kini kawasan perdesaan bagai “lumbung” yang menyimpan keluarga miskin paling banyak. Juga tingkat keparahan kemiskinan lebih mendalam. Tragedi putus sekolah masih banyak, dengan rata-rata tingkat kependidikan hanya 7 tahun. Itu sebabnya, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia masih pada peringkat ke-6 di ASEAN.
Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, merilis indeks gini (sampai bulan Oktober) dinyatakan menurun, pada angka 0,39. Tren-nya akan semakin menurun, pada tahun 2017 diharapkan menjadi 0,38. Serta di ujung pemerintahan presiden Jokowi (2019) akan menjadi 0,35. Pada awal pemerintahan Jokowi – JK (2014), indeks gini masih pada posisi 0,41. Diantara indikator menyempitnya indeks gini adalah derajat kesehatan dan partisipasi kependidikan yang makin baik.
Indikator lainnya, adalah UMK (Upah Minimum Kabupaten dan Kota) yang makin baik pula. Sehingga buruh pabrik memiliki daya beli lebih tinggi, dan memiliki tabungan. Tetapi buruh tani dan nelayan, masih memerlukan program karitatif lain. Indeks NTP (Nilai Tukar petani) dan nelayan masih dibawah angka 120. Seharusnya sudah mencapai 140-an. Maka ke-pertani-an yang diusahakan oleh petani tidak cukup feseable.
Maka wajar manakala petani menjual ladangnya untuk dijadikan modal kerja non-kepertanian. Akibatnya, semakin banyak lahan berubah fungsi menjadi kawasan permukiman. Kecukupan pangan nasional terancam, bergantung pada impor, sekaligus mendesak usaha kepertanian. Perekonomian perdesaan makin terhimpit. Jurang kemiskinan (indeks gini) di perdesaan, bukan sekadar mengancam kecukupan pangan. Melainkan juga bisa memicu masalah lainnya, antaralain ekstremisme.
Radikalisme, kiri maupun kanan dapat tumbuh subur. Terbukti, iming-iming gaji setara UMK, plus bonus “jihad” menjadi modus rekrutmen terorisme ISIS. Padahal, munculnya ISIS di Irak maupun Suriah, dipicu oleh indeks gini rasio yang sangat lebar, mencapai 0,45.

                                                                                                                            ——— 000 ———

Rate this article!
Tags: