Kab.Situbondo Sosialisasi UUAdministrasiPemerintah

Pembicara dari Kajati, PTUN Jatim, Polda Jatim dan Biro Hukum Pemprov Jatim dalam sosialisasi UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di pendopo, kemarin. [sawawi/bhirawa].

Pembicara dari Kajati, PTUN Jatim, Polda Jatim dan Biro Hukum Pemprov Jatim dalam sosialisasi UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di pendopo, kemarin. [sawawi/bhirawa].

Situbondo, Bhirawa
Pemkab Situbondo, melalui Bagian Hukum menggelar sosialisasi UU Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, dipendopo Kabupaten, kemarin. Hadir di antaranya, para pejabat teras Pemkab Situbondo dan sejumlah pimpinan SKPD serta para Kepala Bagian di lingkungan Setdakab Situbondo. Sejumlah pembicara dari Polda Jatim, Kejaksaan Tinggi Jatim, PTUN Jatim dan Biro Hukum Pemprov Jatim, tampil dalam acara sosialisasi paska terbitnya UU nomor 30 tahun 2014 tersebut.
Dr Himawan pembicara dari Biro Hukum Setdaprov Jatim, mengakui akan pentingnya sosialisasi UU nomor 30 tahun 2014 tersebut, terutama kepada jajaran SKPD, jajaran bagian di lingkungan Pemkab Situbondo serta jajaran terkait lainnya.
Pasalnya, kata dia, UU tersebut memiliki sisi postif bagi penyelenggaraan administrasi yang tertib, memiliki kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan wewenang serta dapat menjamin akuntabilitas pemerintahan.  “Ini (sosialisasi) dapat memberikan perlindungan hukum untuk warga dan aparatur pemerintah. Selain itu dapat memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat,” terang Himawan.
Sementara itu AKBP Dr. Adang Oktori, S.H., M.H, dari Mapolda Jatim banyak mengupas soal penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata Adang, Pasal 2 ini memiliki unsur utama ‘memperkaya diri, orang lain atau golongan’ serta menimbulkan kerugian pada keuangan dan perekonomian negara. “Sedangkan Pasal 3 memiliki unsur utama “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” serta menimbulkan kerugian keuangan dan perekonomian Negara,” ujar Adang.
Penerapan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tidak sulit, ungkap Adang, karena bisa diterapkan kepada siapa saja, baik pejabat pemerintahan atau penyelenggara Negara maupun bukan. Sedangkan penerapan Pasal 3 pada dasarnya, lanjutnya, hanya bisa diterapkan kepada pejabat pemerintahan dan penyelenggara saja.
Ini karena, terang Adang, selain menyangkut penyalahgunaan wewenang, yang dimaksud dengan jabatan atau kedudukan adalah jabatan atau kedudukan dalam lingkup publik (pemerintahan). “Lebih konkrit lagi subyek delik penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi adalah pejabat atau pegawai negeri. Sebab subyek itulah (pejabat atau pegawai negeri) sebagai addresat dari kedudukan atau jabatan publik,” urai Adang.
Adang sempat mengutip pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa setiap tindakan pemerintahan dipersyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu, tegas Adang, diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Kewenangan atribusi, tutur Adang, lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan Negara oleh undang-undang dasar. “Sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan-pelimpahan,” papar Adang.
Disisi lain, narasumber dari Kajati, Adi Prasetyo SH, mengupas soal penegasan adanya penyalahgunaan kewenangan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan hanya menimbulkan dua kewenangan yang sebenarnya berjalan sendiri-sendiri.
Ada satu hal yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kata dia, yakni tentang tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagai perbuatan kesewenang-wenangan.  Akibat hukum tidak dilaluinya persyaratan dalam diskresi sebagaimana dalam pasal 24, terangnya, secara otomatis dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan pada persyaratan dalam pasal 24 adalah berdampak bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan tindak pidana. [awi]

Tags: