Kabar Gembira dari UU Desa

Ani-Sri-RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Sejak Indonesia merdeka, desa hanya dianggap sasaran target pembangunan oleh kabupaten/kota, provinsi ataupun pusat. Tidak jarang program yang dilaksanakan terkesan pemaksaan kehendak, sehingga tidak cocok di desa tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya data riil dari tiap desa. Ingat, prinsip top-down. Misalnya, satu desa butuh perbaikan jalan, tapi ternyata  yang dibangun malah bak sampah.
Oleh karenanya, dengan hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan turunannya berupa Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, sudah sepatutnya warga desa bergembira menyambutnya, sebab dengan UU ini kini desa memiliki legalitas hukum dan berhak menentukan hal apa saja yang akan dilakukan, khususnya soal pembangunan. Desa tidak lagi menjadi subjek tetapi objek mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.
Pada bab II tentang kedudukan dan jenis desa, pasal 6, serta bab III tentang penataan desa, pasal 9, 10, 11 dan 12, dimuat ketentuan setiap desa dihadapkan kepada empat pilihan. Pertama, menjadi desa administratif (pemerintahan desa yang dibentuk sesuai peraturan administratif). Kedua, menjadi desa adat. Ketiga, tidak menjadi desa melainkan kelurahan, dan keempat, kelurahan diubah menjadi desa. Semua keputusan itu harus diambil melalui musyawarah desa paling lambat satu tahun setelah UU No. 6 Tahun 2014 diundangkan atau tepatnya 15 Januari 2015, dilanjutkan oleh pemerintah kabupaten/kota melakukan inventarisasi aset desa hingga Januari 2016.
Untuk menentukan pilihan, terlebih dahulu dilakukan pembacaan tentang arti desa, sehingga ada pemahaman warga tentang desa. Desa atau desa administratif adalah suatu wilayah yang luas administrasinya ditentukan pemerintah, dipimpin seorang kepala desa beserta perangkatnya, dan badan permusyawaratan desa (BPD) atau dengan sebutan lain sebagai penyalur aspirasi masyarakat, dengan keputusan tertinggi berada di musyawarah desa atau biasa disebut musrembangdes (musyawarah rencana pembangunan desa). Dua desa pun bisa digabung jadi satu atau sebaliknya satu desa dimekarkan jadi dua desa. Atau desa diubah status menjadi kelurahan.
Sedangkan pada bab XIII tentang ketentuan khusus desa adat, disebutkan desa adat ialah suatu wilayah yang luas batasannya ditentukan berdasarkan keputusan adat yang “sudah ada sejak dahulu”, dibuktikan dengan tempat, tata perilaku social, serta upacara adat sebagai hak tradisional yang masih dijalankan dipimpin oleh ketua adat, sepanjang semua keputusan adat tidak melanggar undang-undang.
Untuk menentukan/menetapkan keberadaan desa adat, ada potensi munculnya konflik dengan desa tetangganya terkait luas wilayah. Biasanya batas wilayah adat berbeda luasnya dari wilayah desa administratif. Tak jarang wilayah adat mencakup lebih dari satu desa administratif atau ada sebagian wilayah dari desa adat masuk dalam desa administratif. Misalnya, jika ingin menetapkan Desa Adat A, luasan wilayahnya mencakup Desa Administratif B dan C, serta setengah dari D. Apabila Desa B, C, dan D sepakat menjadi Desa Adat A maka tidak masalah. Tetapi bagaimana kalau D sebagai desa administratif tidak mau melepas setengah wilayahnya? Itu yang patut dipikirkan melalui musyawarah antardesa.
Lain halnya tidak menjadi desa administratif dan desa adat atau menjadi kelurahan. Konsekuensinya segala aset milik desa beralih menjadi milik kabupaten/kota. Pun segala pembangunannya akan langsung masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten/kota.
Setelah memilih antara desa administratif atau desa adat, pendekatan yang harus digunakan dalam perencanaan pembangunan adalah desa membangun dan membangun desa. Desa membangun berarti kepala desa/adat beserta perangkatnya berperan aktif membina masyarakatnya, sedangkan membangun desa memiliki makna masyarakat desa bersikap aktif serta kritis terhadap desanya. Kedua pendekatan tersebut harus tertanam, terintegrasi dan bersama (sinkron) dilakukan masyarakat dan pemerintah desa.
Terkait pembuatan rencana pembangunan kawasan pedesaan sebagai desa membangun, pemerintahan desa perlu melihat rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) kabupaten/kota serta provinsi sebelum membuat rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Des) untuk jangka waktu enam tahun dan rencana pembangunan tahunan desa atau disebut rencana kerja pemerintah desa (RKP Des), yang merupakan penjabaran RPJM Des untuk jangka waktu satu tahun. Hal ini dimaksudkan agar secara maksimal, efektif dan efisien berdasarkan kondisi sumber daya desa bisa menyerap APB yang digelontorkan pemerintah.
Dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Penyusunan RKP Des dan RPJM Des, disebutkan harus melalui musyawarah desa yang dimulai sejak Juni, sehingga pada bulan selanjutnya draft RKP Des sudah mulai dirancang. Hingga akhir September, RKP Des ini disahkan apabila sudah ditetapkan melalui peraturan desa (perdes) sebagai dasar penetapan APB desa.
Pada Oktober, kepala desa beserta BPD menyepakati rancangan peraturan desa tentang APB desa. Paling lambat tiga hari setelah kesepakatan disampaikan ke bupati untuk dilaksanakan evaluasi. Setelah ada kesepakatan, Desember akhir APB desa sudah bisa ditetapkan. Kepala desa kemudian menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB desa kepada bupati/walikota setiap semester tahun berjalan. Laporan sebagaimana semester pertama disampaikan paling lambat akhir Juli tahun berjalan, serta semester kedua disampaikan paling lambat akhir Januari tahun berikutnya.
Selain penganggaran yang digelontorkan, dalam pendanaan desa juga berhak mendirikan/memiliki badan usaha milik desa (BUM Des) agar bisa mengelola potensi yang ada di desa tersebut. BUM Des tidak bisa disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas (PT), CV atau koperasi. BUM Des merupakan badan usaha bercirikan desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan desa, juga berfungsi meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dijelaskan dalam bab I ketentuan umum, pasal 1, pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan prioritas kebutuhan.
Lantas, bagaimana peran masyarakat desa membangun desanya? Sebagai warga desa, tentu setiap individu mempunyai hak dan kewajiban berpartisipasi, memperoleh pelayanan yang adil, menyampaikan pendapat baik lisan atau tertulis yang bisa di pertanggungjawabkan, meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa, serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan kemasyarakatan. Hal ini sudah diatur di dalam bab VI yang mengatur tentang hak dan kewajiban, desa dan masyarakat desa. Hanya saja, sudahkah pemerintah melakukan sosialisasi UU Desa ke setiap desa?

                                                                                    ————————- *** —————————-

Rate this article!
Tags: