Kabupaten Tuban Belum Aman untuk Anak

Nunuk-FauziyahTuban, Bhirawa
Sepertinya Kabupaten Tuban dengan braind-nya ‘Tuban Bumi Wali’ belum layak menyandang sebagai kota layak anak meski sudah ada peraturan daerah (Perda) yang saat ini masih di kaji oleh Tim Hukum Pemerintah Propinsi (Pemprov) Jawa Timur. Kenapa demikian?
Dari data yang dapat dihimpun Bhirawa dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban yang selam ini intens melakukan pendampingan pada ibu dan anak, kalau di Kabupaten Tuban dalam satu bulannya terdapat 6 (enam) kekerasan pada anak di bawah umur yang ditemukan.
Seperti yang disampikan oleh Ketua LSM KPR Nunuk Fauziyah, jumlah kasus kerasan terhadap anak dibawah umur hingga bulan Mei tahun ini, yang telah masuk dalam data KPR mencapai 30 kasus dengan korban seluruhnya adalah gadis dibawah umur dengan dirincian jumlah kasus perbulan mulai Januari, ada 9 kasus, Februari 2 kasus, Maret 5 kasus, April 10 kasus dan Mei 4 kasus. “Kalau kita ambil rata-rata ada enam kasus setiap bulanya, ini sangat menghawatirkan karena seluruh korbanya adalah anak dibawah umur,” kata Nunuk.
Mantan Aktifis Pergerakan Mahasiswa Isnlam Indonesia (PMII) ini juga menjelaskan, 30 kasus kekerasan yang menimpa anak-anak tersebut, sebenarnya bukan lah jumlah real (Sesungguhnya). Karena, kata Dia masih banyak kasus yang tidak terekspose (publikasi) maupun dilaporkan oleh korban dan keluarga korban, dengan berbagai alasan, salah satunya adalah malu jika hal tersebut sampai diketahui masyarakat ummum.
“Tentu yang tidak melapor dan meminta pendampingan kami jauh lebih banyak. Hal itu terjadi karena korban maupun keluarga korban mengaanggap, melapor justru akan membuka aib itu kepada masyarakat umum, makanya mereka enggan lapor ke polisi, mereka lebih suka menyelesaikan dengan kekelaurgaan.” jelas Nunuk.
Istri dari Sulamul Hadi (Ketua Panwaskab Tuban) ini juga menjelaskan, sebagian masyarakat masih beranggapan, jika dilaporkan ke polisi bukan penyelesaian, selain akan terpublikasi, korban juga akan  menjadi korban yang kedua (malu). “Secara Psikologis akan menakutkan karena mereka jadi ingat dengan kejadian itu, selain itu juga masyarakat awam dengan proses hukum, dan tidak mengetahui bagaimana cara melaporkanya,” lanjut Nunuk.
30 kasus yang ditangani KPR dan dilakukan pendampingan tahun ini, setengahnya bersedia melaporkan ke polisi, meski sebelumnya keluarga dan korban enggan. “Sebagian bersedia melaporkan ke polisi namun sebagian lagi masih enggan dengan berbagai alasan itu,” katanya.
Masih banyaknya kasus kekerasan terhadap anak dan keketrasan seksual dibawah umur disebabkan minimnya pengawasan orangtua maupun keluarga. Disamping itu, adanya tempat atau lokasi yang ditengarai sebagai tempat tumbuhnya kedekatan antara laki-laki dan perempuan diluar kewajaran, yang akhirnya memicu terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
“Banyak faktor, bisa pengawasan orang tua, pergaulan bebas (salah pergaulan), maupun tempat (Lokasi sepi) yang memicu terjadinya kekerasan itu sendiri, selain itu Kota/kabupaten layak anak  itu jika tidak ada kekerasan pada anak, anak jalanan (Anjal)dll, ” pungkas Nunuk Faiziyah. [hud]

Keterangan Foto: Nunuk Fauziyah

Rate this article!
Tags: