“Kaca Benghala” Pilkada

Plong, usai coblosan Pilkada serentak 2017. Namun eksesnya masih akan berkepanjangan. Sebab biasanya, pilkada bukan selesai pada hasil perhitungan suara (manual) oleh KPU propinsi maupun KPUD. Melainkan menunggu amar penetapan MK (Mahkamah Konstitusi). Tetapi ironis, hanya satu (dari 101) pilkada yang menjadi sorotan publik. Sampai menjadi pemberitaan internasional. Sekaligus menjadi awal maraknya hoax (berita bohong) pada media sosial.
Hoax, telah menguras energi sosial hingga menyasar keagamaan. Serta menistakan tokoh-tokoh senior berdedikasi (diakui sedunia). Antaralaian, KH Ma’ruf Amin, Prof Dr. KH Said Agil Siraj, Prof. Dr. Syafii Ma’arif, serta KH Mustofa Bisri (gus Mus). Tokoh nasional (yunior) yang juga dinistakan dalam hoax, adalah Jenderal Tito Karnavian. Mirisnya, hoax juga dijadikan media pencitraan (narsis) paslon (pasangan calon).
Pengalaman pilkada DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, patut menjadi “kaca benghala” nasional. Wajar, Jakarta sebagai ibukota negara menjadi perhatian. Lebih lagi kekuatan APBD-nya (sekitar Rp 78 trilyun), merupakan yang terbesar se- Indonesia. Tetapi ekses psiko-sosial pilkada Jakarta, menunjukkan tren krisis kepemimpinan makin kuat. Nyaris tidak ditemukan lagi sosok “negarawan” pada ranah politik Indonesia.
Seluruh energi (dan kapita) seolah-olah dicurahkan untuk pilkada. Seluruh kader parpol (Ketua Umum tingkat pusat sampai tingkat kelurahan) diwajibkan berperan aktif. Tak terkecuali melibatkan kader parpol yang memiliki jabatan publik. Sehingga pilkada, bukan hanya kontestansi paslon. Tetapi telah menjadi ajang “aduan” kelompok parpol. Niscaya, berpotensi ajang tarung sosial secara diametral. Setidaknya, hal itu telah terjadi di media sosial.
Berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) bertebaran di media sosial. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Berbagai penyiaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai penghalang. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial. Bisa mengancam persatuan dan ketahanan nasional.
Seolah-olah Indonesia tidak memiliki undang-undang ke-arif-an ber-media sosial. UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Larangan penistaan dan menimbulkan rasa kebencian disertai dengan hukuman memadai. Tercantum dalam pasal 45 ayat (2), hukumannya berupa pidana penjara selama 6 tahun ditambah denda. Pemerintah seolah-olah juga baru tergugah untuk mengamankan (dan menyamankan) media sosial. Baru dibentuk Badan Siber Nasional, untuk keamanan negara dari ancaman dan gangguan melalui dunia maya. Itu setelah terbit posting buku melalui medsos, yang menistakan presiden.
Pilkada serentak 2017, telah digelar (15 Pebruari) yang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ke-serentak-an pilkada terjadi di tujuh propinsi (memilih gubernur baru), 76 kabupaten dan 18 kota. Yang paling riuh terjadi di Aceh. Karena selain memilih gubernur baru, juga diikuti 20 pilkada kabupaten dan kota. Disusul Jawa Tengah (7 pilkada kabupaten dan kota). Serta di Jawa Barat (3 kabupaten dan kota). Sedangkan yang paling “sepi” akan terjadi di Jawa Timur, karena hanya menggelar pilkada di Kota Batu (dengan tiga kecamatan pula).
Pilkada, mestilah dihindarkan dari potensi perpecahan daerah, disesuaikan dengan UU Pilkada Nomor 8 tahun 2015. Urusan pilkada, seharusnya “selesai” di tingkat daerah. Tanpa melibatkan pejabat vertikal maupun “teman” dari daerah lain. Agaknya, masih diperlukan revisi (keempat) terhadap UU Pilkada, agar lebih mewadahi kearifan lokal.

                                                                                                                 ——— 000 ———

Rate this article!
Tags: