Kalang Kabut Asap

Oryz-SetiawanOleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Bencana kabut asap yang kian melanda di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan hingga kini masih belum sepenuhnya tertangani, meski telah membawa kerugian besar terhadap aktivitas masyarakat, perekonomian dan terganggunya sistem transportasi terutama jalur udara. Bahkan akibat kian meluasnya areal hutan yang terbakar ‘kiriman’ kabut asap merambah ke negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapura yang kini tengah menjadi isu regional antar negara. Bencana asap kali ini adalah terbesar kedua setelah tahun 1997 bertepatan dengan perubahan iklim dan cuaca akibat El Nino. Pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu menangani masalah kabut asap yang (sebenarnya) menjadi urusan internal negara yang bersangkutan. Meski faktor alam (cuaca) yang sangat tinggi hingga mencapai 39 derajat celsius yang mempermudah lahan gambut terbakar, namun tragedi lingkungan tersebut lebih disebabkan oleh sepak terjang manusia (man made) yang mengabaikan terhadap aspek ekologis baik yang dilakukan secara korporat-modern maupun personal-tradisional. Seperti yang diberitakan bahwa faktor-faktor penyebab kabut asap adalah adanya pembukaan lahan dengan membakar hutan dengan sengaja (illegal land clearance) oleh para perusahaan perkebunan dan budaya masyarakat lokal yang membuka lahan baru. Sebaran kabut asap juga dipicu oleh karakteristik lahan yang kering dan mudah terbakar, musim kemarau serta kecepatan arah angin.
Secara de facto proses peralihan fungsi hutan fungsi lahan gambut oleh kalangan pengusaha hutan yang telah memperoleh Hak Pengusaha Hutan (HPH) sudah berlangsung sejak lama namun upaya diversifikasi fungsi lahan hingga kini belum dapat dioptimalkan bahkan cenderung secara perlahan fungsi hutan berubah menjadi sarana untuk mengkomersilkan hak guna hutan dengan mengeksploitasi secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologis. Saat ini dengan aktivitas pembakaran hutan yang semakin meluas di luar Pulau Jawa tampaknya lahan kritis juga mengancam hutan di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Padahal kedua provinsi tersebut, selain Papua adalah salah satu paru-paru dunia dalam rangka mempertahankan suhu bumi dari ancaman sinar radiasi ultarviolet yang dapat merusak kualitas ozon di lapisan traposfer serta mempercepat pencairan gunung es di kutub. Oleh karena itu tindakan eksploitasi hutan secara tak langsung dalam jangka panjang akan berakibat pada kerusakan ekosistem skala luas di muka bumi.
Dampak Lingkungan
Akibat kabut asap yang terjadi berbagai wilayah tanah air terutama Sumatera dan Kalimantan, sangat berdampak pada memburuknya kualitas udara yang berbahaya bagi kesehatan yakni prevalensi gangguan kesehatan saluran pernapasan (ISPA) meningkat tajam, iritasi kulit dan gangguan pada penglihatan. Berdasarkan hasil pantauan National Environment Agency Singapura diperoleh titik api (hot spot) sebanyak 708 yang tersebar areal hutan dan lahan di wilayah Palangkaraya, Pontianak, Jambi, Riau dan Palembang sehingga mengakibatkan kondisi pencemaran gas ozon (O3) sebagai lapisan pelindung radiasi sinar ultraviolet dari matahari kian mengkawatirkan. Selain meningkatkan suhu bumi, eksistensi ozon juga merupakan parameter kualitas udara di atmosfer. Standar kandungan ozon yang masih dalam batas aman rata-rata adalah 20 ppbv, padahal kini kondisi kandungan ozon di kota-kota diatas rata-rata telah mencapai 50 ppbv, ini artinya masuk katagori berbahaya bagi kesehatan manusia.
Jika keadaan tersebut berlangsung secara terus-menerus maka akan meningkat temperatur global sehingga mengakibatkan terjadinya pasang air laut di seluruh dunia akibat melelehnya gunung es di kutub, dalam skala lokal akan terjadi efek gas rumah kaca dimana gas karbondoaksida atau CO2 terperangkap dalam ruangan-ruangan sehingga mengakibatkan wilayah itu akan lebih terasa panas yang berimplikasi pada perubahan pola cuaca dan musim secara tak beraturan. Perubahan kualitas lingkungan, penurunan kekebalan tubuh atas penyakit yang timbul adalah faktor-faktor determinan dari perubahan staus kesehatan masyarakat pada umumnya. Realitas tersebut seakan menjustifkasi prediksi WHO terhadap perubahan iklim akibat dampak negatif pemanasan global yakni berupa semakin hangatnya temperatur udara dan intensitas curah hujan sehingga dapat memicu timbulnya berbagai penyakit yang bersifat endemik misalnya demam berdarah terutama pada wilayah-wilayah yang berisiko tinggi terkena ekses perubahan iklim. Efek pemanasan global tidak semata-mata memperparah masalah lingkungan tetapi juga menyangkut problem kesehatan kekinian yang sangat serius seperti penyebaran virus flu burung. Sebagai negara tropis, Indonesia memang termasuk wilayah geografis yang tergolong rawan berbagai penyakit yang memiliki faktor resiko dan perilaku pemajanan. Tingginya potensi endemik dan pandemik penyakit skala luas harus diantisipasi dengan penggunaan desain epidemiologikal dan peta endemisitas yang mempelajari kejadian dan persebaran kesehatan berbasis lingkungan dalam perspektif global.

                                                                                                   ———————– *** ————————

Rate this article!
Kalang Kabut Asap,5 / 5 ( 1votes )
Tags: