Kalkulasi Dagang Pilkada Serentak 2020

Oleh :
Sutawi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

Pertarungan merebut jabatan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 telah melewati masa pendaftaran pasangan calon pada 4-6 September lalu, yang akan dilanjutkan masa kampanye pada 26 September hingga 5 Desember, dan pemungutan suara pada 9 Desember 2020 mendatang. Terdapat sebanyak 270 daerah di Indonesia yang akan melaksanakan pilkada serentak dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Di Jawa Timur, pilkada serentak akan digelar di 19 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sumenep, Trenggalek, Banyuwangi, Blitar, Malang, Ngawi, Mojokerto, Tuban, Lamongan, Ponorogo, Pacitan, Sidoarjo, Jember, Situbondo, Gresik, Kediri, Kota Surabaya, Kota Blitar, dan Kota Pasuruan. Dalam tiga bulan mendatang Provinsi Jawa Timur akan gegap gempita oleh pesta demokrasi mulai konvoi, rapat akbar, blusukan, debat kandidat, pencoblosan, sampai pesta kemenangan bupati/walikota terpilih.

Secara umum tugas bupati/walikota selaku kepada daerah adalah melaksanakan pembangunan di daerah untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu, sebelum menentukan pilihan calon walikota mana yang diharapkan mampu menyejahterakan rakyat, ada baiknya masyarakat memahami dahulu makna sejahtera itu sendiri. Kesejahteraan banyak dipahami secara sempit sebagai persoalan ekonomi yang hanya diukur dengan indikator-indikator yang bersifat materialistis. Kesejahteraan sering dibuktikan dengan angka-angka statistik yang bisa direkayasa, seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, atau Indeks Pembangunan Manusia. Kesejahteraan juga ditunjukkan oleh banyaknya mall yang menggeser pasar tradisional, menjamurnya minimart yang melibas usaha rakyat, ruko-ruko dan rumah-rumah mewah yang menggusur sawah, trotoar yang penuh PKL, jalan-jalan yang semakin macet, banjir jalanan karena gorong-gorong mampet, atau gunungan-gunungan sampah, sebagai bukti besarnya aktivitas perekonomian. Padahal, kesejahteraan bukan sekedar masalah kuantitas ketersediaan material, tetapi juga menyangkut keterjangkauan dan kemanfaatannya. Dengan bahasa sederhana, kesejahteraan adalah suatu keadaan di mana rakyat bisa memperoleh atau terpenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pangan, pakaian, perumahan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, peribadahan, angkutan, hiburan, sumber energi, keamanan, dan pelayanan publik, secara mudah dan murah. Jika hal-hal tersebut dijadikan ukuran kesejahteraan, mampukah seorang bupati/walikota menyejahterakan rakyatnya ?

Pilkada bukanlah aktivitas politik untuk merebut kekuasaan demi kesejahteraan rakyat semata. Pilkada adalah aktivitas dagang yang bisa dikalkulasi keuntungan dan kerugiannya. Untuk bisa maju dalam pilkada, calon bupati/walikota harus menyiapkan dana puluhan miliar rupiah. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengungkapkan, pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya minimal Rp 25-30 miliar sampai ratusan miliar untuk pemilihan bupati/walikota, sedangkan pemilihan gubernur bisa sampai triliunan. Dana sebesar itu digunakan antara lain untuk promosi diri, membeli tiket dukungan parpol, membuat atribut sosialisasi dan kampanye, operasional tim sukses, “serangan fajar”, saksi di TPS, pengamanan suara, dan biaya tak terduga lainnya. Meski dana tidak menjamin kemenangan, namun kecukupan modal politik menjadi syarat keharusan (necessary conditions) dalam pilkada.

Hasil riset Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Universitas Brawijaya pada Pilkada Kota Malang tahun 2012 mengungkapkan bahwa uang yang dihabiskan untuk pengenalan bakal calon walikota melalui pemasangan iklan, reklame, dan kegiatan kemasyarakatan antara Rp 119 juta – 4,9 miliar. Selanjutnya, untuk mendapatkan tiket dari partai politik, para kandidat harus mengeluarkan uang miliaran rupiah. Bukan rahasia lagi, pasaran satu kursi parpol di DPRD berharga antara Rp 500 juta – Rp 1 miliar. Jika satu parpol memiliki dua atau lima kursi, maka pasangan kandidat harus membeli dengan harga Rp 1 – 5 miliar. Lewat jalur independen juga tidak murah, karena pernyataan dukungan dan fotocopy puluhan ribu KTP tidak diperoleh secara cuma-cuma. Jika dukungan satu orang dihargai Rp 20.000, maka untuk mendapatkan fotocopy 40.000 KTP diperlukan biaya Rp 800 juta. Pada saat kampanye, pasangan kandidat juga harus menyiapkan anggaran miliaran rupiah untuk pembuatan ribuan baliho, bendera, baju, kaos, iklan di media cetak dan elektronik, panggung hiburan, dan sebagainya. Pada saat pencoblosan, pasangan kandidat harus menyiapkan uang untuk ratusan saksi di TPS-TPS minimal Rp 200 ribu per orang. Biaya cukup besar juga harus disediakan jika kandidat merencanakan “serangan fajar”. Jika ingin memenangi pilkada, para kandidat diperkirakan harus menyiapkan dana minimal antara Rp 30 miliar. Modal sebesar itu akan membengkak jika pilkada terpaksa diulang. Dengan modal politik sebesar itu, maka tidak mengherankan jika beberapa calon kepala daerah yang kalah kemudian mengalami stroke, bangkrut, terjerat hutang, miskin, gila, bahkan bunuh diri.

Bagi calon yang menang, langkah awal yang dilakukan setelah dilantik bukanlah menyusun program pembangunan untuk menyejahterakan rakyat sesuai janji kampanye, melainkan bagaimana mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan, baik modal sendiri maupun pinjaman. Tentu akan rugi jika bupati/walikota mengandalkan gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan resmi lainnya. Sebagai contoh, pada 7 Oktober 2019 slip gaji Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono sempat viral di media sosial lantaran besaran gaji bulanan yang diterima hanya Rp 5.961.200. Perinciannya gaji pokok Rp 2,1 juta, tunjangan istri Rp 210.000, tunjangan jabatan Rp 3.780.000, tunjangan beras Rp 217.260, serta tunjangan lain dengan total Rp 6.114.100. Dengan adanya potongan Dana Taspen, pajak dan BPJS, serta potongan zakat Rp 152.900, gaji bersih yang diterimanya Rp 5.961.200. Sebagai tambahan, Bupati Budhi mendapat dana operasional per hari sebesar Rp 1 juta yang dipakai untuk keperluan ke lapangan. Potensi penghasilan terbesar bupati/walikota adalah biaya penunjang operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai PP 109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan PP 109/2000 tersebut, biaya penunjang operasional kepala daerah besarnya minimal Rp 125 – 600 juta. Dengan perkiraan penghasilan bupati/walikota pada kisaran Rp 200 – 400 juta sebulan, maka selama lima tahun menjabat kepala daerah hanya terkumpul penghasilan sebesar Rp 12 – 24 miliar, jauh di bawah biaya politik yang telah dikeluarkan. Namun, di negara yang terkenal korup ini terdapat seribu satu cara bagi kepala daerah untuk mengembalikan modal politiknya, sekaligus mempersiapkan modal untuk pilkada periode berikutnya. Terbukti semakin banyak kepala daerah yang diseret ke dalam penjara, baik ketika sedang berkuasa maupun setelah lengser dari jabatannya.

———— *** —————

Tags: