Kalkulasi Sosial Presidential Threshold

Oleh :
Yunus Supanto
Penggiat Dakwah Sosial Politik 

Pemilu legislatif (pileg) akan dilaksanakan bersamaan dengan pilihan presiden (pilpres). Begitu amanat UU (undang-undang) yang baru disahkan oleh DPR. Sejatinya, hal itu merupakan pelaksanaan pesta demokrasi yang tertunda. Seharusnya telah dilakukan sejak tahun 2014 lalu, disebabkan problem “presidential threshold.” Selain itu ke-serentak-an pileg, juga memerlukan persiapan lebih rumit. Terutama sosialisasi kepada masyarakat.
Saat ini, UU Pemilu serentak, pileg dan pilpres, telah disahkan DPR. Tidak melalui permufakatan, melainkan voting fraksi. Terdapat empat fraksi (parpol) yang tidak setuju. Yakni Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN. Besar kemungkinan, keempat fraksi akan melakukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama terhadap ketentuan presidential threshold. Persyaratan pencalonan presiden masih persis dengan UU Pilpres yang lama (nomor 42 tahun 2008).
Dengan persyaratan itu bakal calon presiden harus memiliki dukungan sebanyak 20% kursi parlemen. Atau 25% suara pileg. Syarat ini memang cukup berat, sehingga pilpres 2019, hanya diikuti (maksimal) tiga calon. Seperti pilpres lalu, satu bakal calon berhasil meraih mayoritas tunggal (lebih dari 50%) melalui koalisi parpol. Banyak pula koalisi gagal memperoleh suara 25%, walau menyertakan parpol gurem.
Ironisnya, pada pileg 2014 lalu tiada parpol yang bisa meraih 20% kursi di DPR. Lebih lagi tiada yang bisa memperoleh 25% suara pemilu legislatif (pileg). Penghapusan presidential threshold, niscaya, memperbanyak bakal calon presiden. Termasuk parpol gurem. Walau sebenarnya, bakal calon presiden kurang memiliki legitimasi. Namun masyarakat memiliki banyak pilihan.
Maka uji materi ke MK, menjadi cara satu-satunya untuk mengubah UU yang baru disahkan. Jika (judicial review) dilakukan secepatnya, (dan segera di-sidangkan oleh MK) dapat memberi waktu lebih longgar. Andai judicial review dikabulkan, maka persyaratan presidential threshold bisa dihapus. Dalam UUD, tiada persyaratan presidential threshold.
Tetapi terdapat klausul, yang seolah-olah untuk memenuhi persyaratan presidential threshold. UUD pasal 6A ayat (2), menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Frasa kata “gabungan partai politik,” niscaya untuk memperoleh dukungan lebih luas, lebih banyak. Agar memenuhi persyaratan ambang minimal dukungan.
Berhulu di MK
Konstitusi terasa juga memberi kewenangan terhadap UU (undnag-undang). Klausul tersebut tercantum dalam UUD pasal 6A ayat (5). Dinyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” Sehingga UU tentang Pilpres memiliki kewenangan mengatur persyaratan tatacara pilpres, termasuk batas ambang minimal dukungan.
Tetapi, persyaratan PT (20% dan 25%) pernah dii-uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi), tahun 2013. Namun terjadi kisruh, karena bersamaan dengan penangkapan Ketua MK oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sehingga pembacaan putusan MK nyaris kedaluwarsa. tragedi itu bisa menjadi pemikiran, apakah penetapan MK mutlak berlaku sejak ditetapkan, atau sejak dibacakan?
Berdasarkan UUD pasal 24C ayat (1) putusan MK bersifat final. Amanat UUD ini menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar….” Berdasarkan berita acara permohonan uji materi terhadap UU Nomor 28 tahun 2008, keputusan majelis hakim konstitusi telah dibuat pada 26 Maret 2013.
Namun pembacaan putusan baru dilakukan pada 23 Januari 2014 (berselang 10 bulan). Keputusan majelis hakim MK dimaksud, berdasarkan permohonan judicial review oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Uji materi sudah selesai diputuskan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) pada 26 Maret 2013. Isinya, majelis MK mengabulkan gugatan untuk menyatukan pemilihan umum legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden (pilpres). T
Karena pembacaan keputusannya baru dilakukan pada 10 bulan berselang, menyebabkan timbulnya pemikiran, bahwa pelaksanaannya akan sangat merepotkan. Sehingga  dikhawatirkan mengganggu jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka timbul dugaan adanya pesanan, atau setidaknya siapa menunda pembacaan putusan MK?
Konon hakim konstitusi yang ditinggal pensiun oleh Mahfud MD berjanji akan membacakannya pada bulan April 2013. Namun terjadi beberapa keanehan. Misalnya, ketika menjawab surat pemohon judicil review, panitera MK melalui surat tanggal 30 Mei 2013, menyatakan bahwa permohonan tersebut dalam proses aquo. Masih dalam proses rapat hakim yang bersifat tertutup.
Tanpa Presidential Threshold
Kini baru diketahui, bahwa jawaban (surat) panitera MK tidak sesuai dengan fakta hukum. Bahwa sebenarnya sidang judicial review terhadap UU 42 tahun 2008 tentang Pilpres, telah selesai digelar dan memiliki keputusan hukum per-26 Maret 2013. Tetapi terdapat fakta lain bahwa putusan tersebut baru dibacakan pada Kamis, 23 Januari 2014.
Tentang substansi materi judicial review (penyelenggaraan pemilu legistaif, dan pemilihan presiden), digabung atau tidak digabung, sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Tidak ada perintah dalam UUD untuk menggabungkan pileg dan pilpres dalam satu paket pemilihan umum. Begitu pula keduanya diatur dalam UUD, pada pasal yang berbeda. Amanat tentang pilpres langsung diatur pada pasal 6A (dengan 5 ayat), sedangkan pileg diatur pada pasal 19.
Bedanya, pasal tentang pilpres diperbaiki pada amandemen ketiga (10 November 2001). Sedangkan pileg lebih tua (hasil amandemen kedua, 18 Agustus 2000). Karena putusan MK baru dibacakan pada 23 Januari 2014, terdapat alasan permisif untuk menunda pelaksanaan putusan sampai pileg dan pilpres pada tahun 2019. Boleh jadi, andai dibacakan pada saat diputuskan (26 Maret 2013 lalu), putusannya bisa dilaksanakan. Pileg dan pilpres bisa bersamaan.
Judicial review yang diajukan adalah pasal 3 ayat (5) UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres. Pasal induk ini ber-akselerasi dengan pasal 9 (tentang presidential threshold), pasal 12 ayat (1) tentang parpol pengusung, serta pasal 112 (tentang waktu pilpres). Dengan dikabulkannya gugatan (pilpres dan pileg bersamaan), maka beberapa pasal dalam UU 42 tahun 2008  menjadi tidak relevan. Antaralain pasal 9 tentang presidential threshold.
Seharusnya, presidential threshold (berdasar UU 42 tahun 2008 tentang Pilpres), telah dihapus. Dus, pilpres 2019 tanpa persyaratan presidential threshold. Namun, UU pilpres telah diperbarui, menjadi UU tahun 2017. UU baru itulah yang harus diajukan juducial review. Boleh jadi, amar putusan MK akan berbeda dengan putusan terdahulu (Maret 2013 silam).
Boleh jadi pula, MK akan melirik UUD pasal 6A ayat (2), terutama frasa kata “gabungan partai politik.” Serta koneksitasnya dengan UUD pasal 6A ayat (5), tentang kewenangan UU Pilpres. Namun masing-masing klausul, dengan presidential threshold, maupun menghapusnya, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Presidential threshold, dapat dianggap sebagai upaya awal penjaringan bakal calon presiden (dan wakil presiden) yang lebih memperoleh legitimasi. Tidak sembarang tokoh bisa dicalonkan sebagai presiden maupun wakil presiden. Sedangkan tanpa presidential threshold, artinya, seluruh parpol peserta pemilu, masing-masing boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Rakyat memiliki banyak pilihan calon pemimpin negara.

                                                                                                                   ———   000   ———

Tags: